Ihwal cerita sebuah perjalanan, tualang. Pertama dari sejarah Holland America Line yaitu sejumlah crew dipindah dari satu kapal ke kapal lain dengan menggunakan transportasi darat. Biasanya pemindahan crew dari kapal satu ke kapal yang lain menggunakan pesawat.
Kapal Noordam Holland America Line tidak jadi di-carter untuk Piala Dunia 2010 di Cape Town Africa. Hanya beberapa hari saja kapal Noordam membawa sekitar tujuh ratusan orang untuk menyaksikan piala dunia.
Di tengah perjalanan penumpang tersebut dipindahkan ke kapal Westerdam untuk melanjutkan tujuannya ke Afrika. Kapal Noordam lalu bersandar di Vigo Spanyol untuk beberapa hari kedepan.
Menghadapi masa kekosongan tamu, beberapa minggu ke depan akhirnya kapal Noordam diputuskan untuk menjalani pembenahan fisik atau yang sering disebut dengan istilah Dry Dock.
Crew seperti mendapatkan libur dadakan sebab tidak ada acara formal untuk melayani tamu kapal. Saya sendiri sudah harus bersiap diri untuk pindah ke kapal, yang sebenarnya jadwal pindahan tersebut diketahui dua bulan sebelumnya.
Saya dipindahkan ke kapal baru yang masih dalam tahap pengerjaan terakhir di Kota Ficantieres Italy. Nieuw Amsterdam secara resmi berlayar pada tanggal 4 Juli 2010. Total crew yang dikirim via bus itu kurang lebih 43 orang yang berasal dari departemen yang berbeda-beda.
“Ha ..! gila bener, 30 jam perjalanan memakai bus”. Itulah pernyataan yang banyak terlontar dari kami. Bisa dipastikan melelahkan dan saya katakan, ini luar biasa menarik menyusuri daratan Eropa dengan kendaraan bus.
Pagi itu kapal Noordam masih bersandar di Vigo. Saya sempat ikut berpartisipasi di acara pesta hari kemerdekaan Philipine malam sebelum keberangkatan. Pesta yang diselenggarakan di Crowsnet, yaitu salah satu bar disco di kapal. Saya bersama dengan teman dari Indonesia lainnya bergabung dalam grup band. Setelah memainkan lima lagu kita turun ke area crew untuk dangdutan dengan alat yang kita punyai bersama teman dari Indonesia lainnya.
Pagi harinya, semua crew yang akan dipindah harus berkumpul di pintu keluar kapal (gangway). Satu persatu dari kami mulai masuk ke dalam bus setelah menyelesaikan urusan administrasi dan dokumen dengan tidak lupa membawa bantal dan selimut yang telah disediakan oleh staf house keeping.
Saya memilih untuk duduk di bangku ketiga dari depan sebelah kiri. Teman sebangku bernama mas Bambang dari Temanggung yang kebetulan sering ketemu di kontrak-kontrak sebelumnya.
Sebentar kemudian bus meninggalkan kapal Noordam menyusuri pinggiran kota Vigo. Berjejer kapal-kapal jenis yacht memenuhi lokasi pinggiran pelabuhan. Bisa saya saksikan nama-nama asing kapal tersebut. Nama itu menambah memori dari jumlah daftar nama kapal lainnya.
Saya hanya bergumam diri, “Kapal sekecil itu bagaimana kalau di tengah laut, yang segede Noordam saja dapat digoyang-goyang ombak”.
Terlihat wajah-wajah yang cukup ceria di dalam bus. Mirip kondisi piknik semasa SMA dulu. Sepertinya kami lupa bahwa kami hanya pindah kapal saja.
30 jam perjalanan bus dimulai. Sesekali saya dan mas Bambang bertanya berapa jam lagi sampai Italy kepada pak sopir. Dia berbicara dalam bahasa Spanyol. Sedikit-sedikit saya bisa berkomunikasi dengan bahasa Spanyol walaupun ditambah dengan bahasa isyarat. Istilah trend-nya bahasa tarsan. Dan sopir hanya menujukkan arlojinya sebagai jawaban.
“Mas Adi, jaket yang saya kenakan ini cuma 16 Euro, cakep ya? Katanya. Pertanyaan mas Bambang di antara percakapan mengantar kami menikmati perjalanan. “Jaketnya bagus” Saya menimpali.
Motif diamon warna biru putih cocok untuk perjalanan kali itu soalnya menambah ramai suasana. Memang tidak seperti jaket kulit yang saya kenakan, yang justru lebih ribet dan tidak nyaman ketika dipakai di dalam bus yang terlalu sempit.
“Bener, mas Bambang”, jaketnya bagus, tapi bukan buatan Indonesia kan?. “Ha ..ha ..ha. kita berdua tertawa, bersamaan dengan itu rekan dari Philipine yang duduk disebelah kami ikut tersenyum padahal bisa jadi ia tidak tahu apa yang tengah kita tertawakan.
Saya dan mas Bambang menertawakan keadaan kami sendiri yang sering tertipu membeli produk sewaktu berada di luar negeri. Maksudnya kami tertipu membeli produk di luar negeri tetapi produk tersebut buatan daerah kita sendiri.
Pengalaman itu persis seperti ketika saya mengikuti crew tour Barcelona. Di stadion Barcelona kita mengunjungi setiap sudut tempat sampai ke toko yang khusus menjual merchandise khas klub sepak bola Barcelona.
Saya terpesona dengan stadion yang spektakuler. Sebenarnya sewaktu kecil saya sudah sering mendengar Barcelona yaitu dari lagu dangdut Ona Sutra. Tetapi apa yang saya saksikan kala itu langsung dengan mata kepala sendiri.
Lebih dari itu saya “maaf” kencing di sana. Mengenai kencing memang menjadi tradisi sakral saya setiap kali singgah di kota atau Negara baru. Menurut saya hal itu merupakan tanda abstrak yang mewakili prasasti penjelajahan.
Stadion Barcelona tetap saja mendatangkan aset yang banyak, meskipun tidak dipakai untuk pertandingan. Museum yang dibangun di sekitar stadion menjadi wahana tur yang menarik. Mulai dari ruang ganti pemain bola, ruang istirahat lengkap dengan jacuzi, dipan untuk relaksasi, ruang berdo’a, ruang jumpa pers, ruang piala tertata urut menuju ke pusat lapangan.
Hamparan rumput hijau sangat rapi sekali. Kala itu lapangan dijaga oleh petugas di beberapa titik mengelilingi lapangan. Terdapat pula penyekat mengelilingi lapangan yang menunjukkan larangan untuk masuk atau menginjak rumput bagi seluruh pengunjung. Kita diperbolehkan untuk duduk-duduk dikursi-kursi penonton, atau langsung menuju ke ruang yang lain yang penuh dengan ilustrasi-ilustrasi fantastik dari sejarah perkembangan bola di Barcelona.
Di penghujung ruangan sampailah kita pada toko yang menjual aneka merchandise club sepak bola (FC. Barcelona). Semakin seru dan seru untuk memilih kaos atau sepatu yang menjadi kostum sepak bola di toko tersebut. Betapa kagetnya saya ketika ternyata banyak barang-barang yang dipajang terbuat dari negara Indonesia. Ternyata produk buatan Indonesia yang di ekspor mempunyai kualitas dan desain yang bagus sekali. Membeli barang yang diproduksi dari tempat yang sama dengan harga yang jauh lebih mahal. Itu terasa lucu menurut saya.
Masih dalam perjalanan 30 jam menuju ke Ficantieres Italy, kami seisi bus menderita krisis nasi. Dasar orang Indonesia dan Philipine, belum kemasukan nasi berarti belum makan, padahal kita telah singgah beberapa kali di pemberhentian dan makan roti. Sopir beristirahat sebentar kitanya langsung menyerbu ke restoran kecil dengan jajanan roti-rotian saja.
Saya lebih tertarik untuk minuman coklat panas dan makan croissant yang berukuran lebih besar daripada yang pernah saya jumpai di kapal.
Rokok Djie Sam Soe selalu terselip di ransel menjadi teman setia perjalanan. Mulailah berdengung suara orang-orang yang tidak puas karena sepanjang perjalanan tidak menjumpai nasi. Saya lebih memilih duduk santai di sudut tempat pemberhentian sambil menikmati pemandangan alam sekitar.
Pushhh….. asap rokok Djie Sam Soe mengepul di udara Spanyol terus dan terus membumbung menuju langit seperti harapanku yang ingin terus mengejar cita-cita setinggi-tingginya.
30 jam perjalanan terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama bus menyusuri kota-kota Spanyol kedua menyusuri Kota Perancis, lalu bagian terakhir kita masuk wilayah Italy menuju ke Kota Ficantieres.
Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya saya mendengar dari headset lagu Keroncong Sewu Kutho yang dibawakan Didi Kempot. Selain mengobati rasa rindu dengan kampung halaman, satu sisi tema lagu Sewu Kutho menginspirasi untuk menikmati perjalanan senikmat-nikmatnya dengan mengambil pelajaran dari peristiwa yang didapati.
Luar biasa. 30 jam perjalanan Vigo–Ficantieres bukan seperti 30 hari mencari cinta seperti yang difilmkan yang penuh dengan gadis-gadis cantik. Tetapi berkebalikannya. Satu bis sembilan puluh sembilan persen laki-laki.
Apa yang terjadi dalam perjalanan seperti itu? Yang jelas toilet bus menjadi sangat kotor. Lalu terdengar keluhan-keluhan untuk mendapatkan udara yang bebas untuk segera merokok.
Belum lagi ada yang teriakan-teriakan tidak jelas kepada sopir agar berhenti di restoran yang menyediakan makanan Asia. Pokoknya situasi diharap memenuhi selera mereka sendiri.
Meskipun dikelilingi beberapa orang yang tak puas dengan perjalanan, saya masih melihat beberapa orang yang dengan semangat jeprat-jepret mengambil foto dari apa saja yang sempat dilewati.
Hal yang paling saya benci dalam perjalanan ketika berada di luar negeri adalah saat mau buang air besar. Konsep toilet duduk hanya dilengkapi dengan tisu. Padahal munurut tata krama dan kebersihan yang di-instal dalam diri saya sejak kecil adalah cebok harus menggunakan air.
Ternyata problem ini juga berlaku bagi teman-teman saya sewaktu mau join ke kapal. Di setiap bandara internasional toilet hanya dilengkapi dengan tisu saja. Belajar dari pengalaman, maka sebelum buang air besar saya harus membeli satu botol air mineral yang akan dipakai nantinya sewaktu habis buang air besar.
Begitulah perjalanan 30 jam dari Vigo-Italy dilengkapi pula dengan membeli air mineral dingin untuk buang hajat besar. Sudah dingin airnya, ditambah cuaca musim dingin di luar. Uhh sensasinya, ya gitulah. Segerr kebeku-bekuan.
Menyikapi hal itu saya masih belum menemukan jawaban yang cocok. Menurut saya, “mengapa negara yang maju memilih konsep toilet yang hanya dilengkapi dengan tisu saja?”. Bukankah standar seperti itu tidak bisa tercapai kebersihannya.
Bus terus melaju dengan kecepatan rata-rata 80 km per jam. Setiap kali bus melintasi pemukiman penduduk saya sangat antusias untuk mengamati bangunan-bangunan yang ada. Sangat artistik dan mempesona. Saya begitu menikmatinya.
Di penghujung perjalanan tibalah kita di Kota Ficantieres, Italy. Kapal Nieuw Amsterdam sudah kelihatan dan terlihat masih nongkrong di parkiran. Saya sudah mempersiapkan diri untuk masuk bersama yang lain setelah urusan dokumen kelar. Sesampainya di kapal, kita semua diberi waktu istirahat satu hari agar bisa memulihkan tenaga.