Ada kebiasaan aneh di desaku. Tetangga bernama Paijo yang baru dua bulan kukenal. Aku memiliki kebiasaan untuk bangun jam 3 pagi, alasannya sederhana, di sepertiga malam, pikiran seseorang kosong. Meski temanku bilang, dua detik setelah seseorang bangun dari tidurnya, kabel-kabel sensorik dalam otak manusia langsung tersambung. Pikiran manusia takkan mungkin dalam kondisi kosong. Namun aku percaya, Tuhan menciptakan waktu agar manusia dapat memahaminya, meski akhirnya mereka kalah telak. Di sepertiga malam, waktu paling baik untuk membaca buku, sambil mengamati Paijo telanjang dada, menghisap sebatang rokok kretek, dan menimbulkan gelagat aneh.

Di jam-jam ini, desaku sunyi. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Berbeda dengan rumahku dua bulan lalu di Jakarta, rasanya antara waktu tidur dan bekerja tak ada bedanya. Selalu ada bising kendaraan lewat. Tetapi di Desa ini, aku bisa lebih hidup. Antara jam 3 sampai jam 4 kugunakan waktu untuk membaca buku sejak hari pertama pindah. Di sela-sela waktu itu juga, aku ditemani Paijo. Kadang jam 3.16, Paijo tiba-tiba berteriak meniru suara macan. Kedua alisnya diangkat 45 derajat, dengan posisi meniru macan dan sesekali ia meloncat dan mengaum.

“Orang tua itu sinting, kamu sebagai penghuni baru desa, hati-hati di jam-jam malam sepertiga. Biasanya dia sering bertingkah seperti hewan buas,” Kata Nuril, yang jarak rumahnya denganku hanya dipisah 5 deret rumah.

“Sekarang aku sudah terbiasa, dulu waktu pertama dia tiba-tiba menjadi monyet, aku baru pulang kerja dari pabrik dan melihat paijo duduk di depan rumahnya dengan suara uu aa, meloncat-loncat persis seperti Curious George, tontonan anakku”

“Kata orang-orang yang tahu masalah Paijo, ini akibat ngelmu. Gak kuat akhirnya gila,”

Paijo berubah menjadi macan, sudah satu minggu lebih sepertinya. Aku tak pernah memutuskan untuk berbicara padanya. Masih berusaha membaca pola, kapan Paijo berubah, akan berubah apakah dia, dan berapa lama durasi perubahan itu. Dua bulan, polanya selalu acak. Baik perubahan apa, kapan berubahnya dan berapa lama masih selalu beda. Bahkan minggu ini, antara hari Rabu dan kamis perbedaan perubahan Paijo hanya satu detik. Aku ingin mendekatinya, berbicara, dan bertukar pikiran, tapi aku takut karena belum mengenal pola itu. Bayangkan jika niat baikku sampai ketika ia berubah jadi macan yang lapar, aku berdiri di hadapannya, dan tiba-tiba ia menerkamku. Aku tak ingin seperti itu.

Sejujurnya aku tak mempercayai Nuril. Di Jakarta, mitos orang ngelmu lalu gila sebab konon tak kuat menampung ilmunya sama seperti cerita kewajiban seseorang yang habis melayat pemakaman adalah mandi, membersihkan mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku, tak terkecuali sela-sela penis. Kisah itu ada yang percaya, ada juga yang tidak. Aku di kelompok yang tidak. Sebenarnya jelas, mereka yang percaya dan tidak sebenarnya sama-sama bekerja di waktu pagi dan pulang di waktu sore. Hanya saja itu tak menutup kemungkinan aku tetap berbicara dengan mereka. Aku menganggapnya itu bagian dari kisah kehidupan yang bahkan seorang ilmuwan sekaliber Einstein pun pasti mendengarnya.

…………

Hari Jum’at di waktu pagi, alarmku menunjukkan jam waktu solat subuh, aku pergi menuju masjid berniat solat. Karena hari itu, tak ada Paijo, jadi tak ada sesuatu yang akan kuamati. Sambil tersenyum sungging, aku berkata dalam hati, azanlah sesekali, mencetak sejarah. Kupikir Paijo sudah tidur di rumahnya dan pola perubahannya berganti sehingga memaksa ia tidur lebih cepat. Jarak antara Masjid dengan rumah Paijo dengan Masjid hanya 13 langkah. Meskipun sebetulnya, saat pemerintah desa sensus penduduk ke tiap penduduk aku baru mengetahui jika Paijo beragama Hindu. Tapi tak apalah, barangkali suara azanku bisa membuatnya tidur lebih tenang.

 

Pintu masjid kubuka. Tampaknya belum ada siapa-siapa. Hanya lampu tembak berwarna kuning menyorot teras yang ada. Lampu sudut masjid belum nyala. Kelihatannya marbot masjid pun belum datang. Saklar lampu berada di samping mimbar, aku melangkah menuju tempat imam. Di depan mimbar, ada seseorang, iya jelas itu manusia, berpakaian hitam dan celana pendek, siapa dia dan apa gerangan yang ia lakukan di sini. Kubaringkan tubuhnya dengan maksud membangunkannya dalam kondisi gelap, agar ia tidak malu ketika bangun. Maka kutunda terlebih dulu menyalakan lampu.

Saat kugeser agar tubuh orang itu telentang, kulihat bukan wajah yang asing. Astaga benar, alis dan bibir ini, adalah alis yang sering kulihat. Tidak salah lagi, ini Paijo. Matanya terbuka, tidak tertutup sama sekali, namun berwarna putih. Dari mulutnya keluar cairan putih, sama sekali berbeda dengan air liur. Saat kuperiksa denyut nadinya berhenti, tak salah lagi Paijo meninggal, innalillahi, motif apa yang membuat dia harus pergi ke dalam masjid, tidur di depan mimbar dan meninggal?. Di sela-sela tubuhnya, terdapat kertas, biar kuambil dulu, nanti kubaca setelah mayat ini dikubur, entah mengapa di hadapan mayat Paijo aku percaya Pamali.

Azan Subuh kutunda. Kuputuskan lebih dulu menghubungi Nuril. Di jam 4.08 aku yakin Nuril sudah bangun, seluruh penduduk desa pun tahu jika urusan solat Nuril lah nomor satunya. Di depan rumah Nuril dengan pintu tralis aku memanggil-manggil Nuril memukul-mukul gemboknya dan mengucap salam. Nuril keluar dengan pakaian putih dan sarung coklat. Kuceritakan kejadian yang kualami secara runtut. Setelah tanya jawab selesai, aku diperkenankan agar solat di rumahnya dan membiarkan Paijo agar tetap pada posisinya dulu. Sementara aku solat, Nuril menghubungi bagian kesehatan desa. Dengan begitu desa ramai seketika, meski aku tahu seharusnya orang di desa ini baru keluar bekerja jam 6 pagi. 

……………

Kini kejadian itu sudah berlalu satu tahun. Hari senin kemarin, tetua desa mengusulkan agar melakukan haul untuk Paijo, meskipun rumahnya kosong plong. Saat upacara peringatan satu tahun kematian, ya orang desa menyebutnya haul, aku datang. Ada seorang asing ikut acara itu. Wajahnya berwarna coklat, dengan alis tebal mengangkat dan tubuh gempal. Bila ditaksir usia anak ini kira-kira 22 tahunan. Umur pertama kali aku mengenal lagu The Man Who Sold The World.

“Namaku, Arman, tak perlu heran, sejak aku lahir takdir telah memaksaku untuk hadir hari ini dan di tempat ini. Dalam kata lain, meskipun aku tak mengenal Paijo secara langsung, aku tetap akan bertemu, meski hanya hari kematiannya. Terkadang beberapa adegan kehidupan, harus memaksamu mematuhi takdir, meski usahamu besar,” Kata Arman sambil mengulurkan tangan.

“Hm, kamu dari pihak kepolisian? Atau kerabat dekat Paijo barangkali? “ Tanyaku keheranan.

“Kapan terakhir kamu bertanya pada keluargamu, Ayah, kakek, atau buyutmu?” Tanyanya balik. Jujur aku heran. Tetapi pertanyaan ini menarik. Kali terakhir aku bertemu kakek, 26 tahun lalu, tahun 97 di Tambak Bayan. Dua blok dari rumah kakekku, kampung pecinaan, Ong Haw Ciaw salah seorang sahabat Kakekku kabur ke Kalimantan. Hari itu gelap. Banyak Peranakan diperkosa dan dibantai. Setidaknya itu memoar catatan kakekku.

“26 Tahun lalu” Jawabku, “Lalu apa kaitannya dengan Paijo? Maksudku, apakah Kakekku seseorang yang memiliki hubungan khusus dengannya? Atau ayahku? Atau bahkan buyutku?,” Tanyaku semakin heran.

“Begini, seberapa hebatnya kau menolak sejarah hidupmu, keluargamu dan masa lalu, waktu berpihak adil, meski manusia tidak. Orang menyebut ini karma. Percayalah masa lalu tetap akan menemuimu di masa depan dengan beragam cara.“ Katanya.

Arman adalah generasi keempat dari marga Silalahi. Nambe Silalahi buyutnya meninggal di tahun 86. Mantan Kolonel Distrik ke 18 Konfrontasi Borneo. Satu pasukan kompinya berjumlah 18 anggota pasukan. Saat itu Soekarno sedang gila-gilanya menentang Imperialisme. Bahkan anaknya yang menyukai Beatles dianggap babi. Lagu Ngak Ngik Ngok katanya. Malaysia yang seolah, “dimerdekakan oleh Inggris,” bagi Soekarno hanyalah Negara pelindung kepentingan Imperialisme di Asia Tenggara. Nambe Silalahi gerilya ke dalam hutan di Serawak.

Salah satu anggotanya berasal dari Malang. Seorang prajurit tangguh. Julukannya sang Tupai. Seringkali si Tupai diperintah untuk melacak keberadaan Tentara Inggris diujung teritorial Indonesia-Malaysia yang diakui De Facto oleh Mesir. Suatu hari hujan turun sangat lebat, seperti jarum, butiran airnya menusuk, sakit meskipun tidak sampai menyebabkan luka pendarahan. Saat itu si Tupai sedang mengintai di pohon Aren setinggi 20 meter. Tiba-tiba saja kakinya keram, lalu ia terpeleset jatuh ke bawah. Si Tupai sendirian. Ia pingsan di atas tanah.

Saat siuman, si Tupai sadar ia sudah berada di luar jangkauan pasukan. Nambe Silalahi, si Cheetah, sedang berada di pos pemberhentian. Berteduh di bawah tenda. Saat makan malam, ia baru sadar bahwa si Tupai hilang. Tupai berada di luar Kawasan Serawak. Dia berada di rumah penduduk desa. Almina, anak dari penghuni rumah itu, seorang perempuan berkuning langsat yang menolongnya. Dalam kurun tiga hari, sebelum Tupai ditemukan, antara Almina dan si Tupai jatuh cinta.

Malam hari itu, ia sadar, sudah tiga hari Tupai meninggalkan kompi. Ia harus kembali. Sampai di tenda, ia melihat Kolonel Cheetah panik mencarinya. Ia menyapanya dan menegaskan sepenuhnya dalam kondisi prima. Almina merasa kehilangan cinta 3 malamnya itu, di atas ranjang, ia temukan secarik kertas yang ditinggalkan si tupai, ”Tunggu daku, setelah perang usai,”. Namun takdir tak berpihak.

Suatu hari, di bawah langit mendung, Cheetah menjadi penentu titik buta pelemparan granat pasukan Cheetah. Di atas pohon aren, ia mohon agar pasukan siaga untuk melempar ke titik yang telah ditentukan. Titik buta itu berada 200 meter dari jarak rumah Almina. Dalam hatinya ia berkata tegas, setelah perang berakhir, sebentar lagi, akan kupinang kau dan kubawa menuju Jawa. Sayang takdir berkata lain, bom yang dilempar Badrus meleset dan jatuh tepat di atas genting rumah Almina. Sambil menyaksikan bom perlahan turun, Tupai menutup mata.

Tiba-tiba ia loncat, mengambil belati di kantongnya dan menyayat leher Badrus. Cheetah keheranan. Konsentrasi pasukan kacau. Beruntung tidak ada serangan balik. Cheetah langsung memukul mundur pasukannya sambil menyekap si Tupai dengan temali tampar di tangan belakangnya. Cheetah melihat kepala Tupai merah, marah dan penuh ledakan. Ada sesuatu sejak Tupai menghilang tiga hari katanya lamat-lamat. Ia harus menuntaskannya. Komandan harus bertanggung jawab pada pasukan.

Sayang tiga hari setelahnya, Cheetah diperintahkan untuk kembali. September tahun 65, tiba-tiba saja pasukan mereka dituntut agar segera kembali ke pusat pertahanan Negara. Ada kejadian genting. Pasukan tetap pasukan, seberat apapun medan di lapangan saat instruksi turun dari yang lebih tinggi pangkatnya maka ia harus patuh. Dengan langkah terburu-buru tanpa peduli Tupai, Cheetah mengerahkan pasukannya menuju mobil. Tupai diperintahkan agar segera ikut, namun ia menolak dan pingsan.

Di tengah kondisi pingsannya, Tupai di bawa paksa ke dalam mobil komando. Saat siuman, tiba-tiba Tupai yang dikenal bukan lagi Tupai. Satu jam menjelma singa, satu jam menjelma tupai sungguhan, satu jam lagi menjelma burung. Tupai bukan lagi manusia, segala gelagatnya tiba-tiba berubah seperti hewan liar di Hutan Serawak. Bagi sebagian pasukan, Tupai dianggap kerasukan setan Hutan. Satu-satunya cara menyembuhkan harus dikembalikan ke hutan dan memohon maaf pada penunggu hutan. Namun Cheetah merasa ada yang tertinggal, Tupai anti kesurupan.

Sampai di Jakarta, Cheetah kaget, di sudut kota, mayat lebih banyak dari perang yang mereka lalui. Tak pernah ada informasi lanjutan setelah telegram terakhir. Maka ia putuskan dengan dana tersisa agar masing-masing pasukan kembali ke rumahnya. Tupai menerimanya dengan diam, ada misteri di dalam tubuhnya. Sejak kepulangan dan perpisahan mereka, Cheetah dan Tupai memutus komunikasi. Hingga tiba akhirnya hari ini, sebuah pesan wasiat turun temurun sampai ke tangan Arman. Ialah Tupai, si Paijo.

“Begitulah caraku datang kemari, kelak kau akan merasakan hal yang sama dalam adegan yang berbeda,” Kata Arman padaku.

Setelah itu, secarik kertas wasiat dari sang buyut diserahkan kepadaku. Paijo sudah mati. Mungkin ada kesalahan yang tak termaafkan. Hanya saja, kata Arman, ia berusaha menjaga cerita ini. Ia titipkan surat wasiat itu padaku. Tepat setahun yang lalu, Paijo pergi di depan mimbar. Hari ini ia mengetahui mengapa mimbar.

 

Kepada Almina

 

Adakah Tuhan memahami peperangan?

Kepada Almina di Surga,

Kepada Tragedi Manusia,

Kupersembahkan Jasadku,

 

Sejak rumahmu meledak berkeping di bawah lidahku.

 

Rohku melayang menuju Surga,

Dan menggantung di atas langit,

 

Aku berada di ruang antara

 

(Malang-1966)

Dari Paijo yang sudah mati.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here