Dalam dunia kesusastraan Indonesia, nama Anak Agung Pandji Tisna mungkin tidak sepopuler beberapa pengarang besar lainnya. Namun, kisah hidupnya dan warisan karyanya telah menempatkannya di antara deretan sastrawan penting dalam sejarah sastra Indonesia. Bayangkan seorang penulis yang di hari-hari terakhir hidupnya masih merayakan keberhasilan penerbitan karya sastra. Itulah yang terjadi pada Anak Agung Pandji Tisna, seorang novelis yang dikenal karena kontribusinya dalam menggambarkan kehidupan dan budaya Bali melalui tulisannya.
Anak Agung Nyoman Pandji Tisna lahir pada 11 Februari 1908 di Buleleng, Singaraja, Bali. Sejak usia muda, ia telah menunjukkan minat yang mendalam terhadap bahasa dan sastra. Pendidikan formalnya dimulai di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sebuah sekolah menengah pertama yang menggunakan kurikulum Belanda. Namun, perjalanan pendidikannya terhenti pada tahun 1925 ketika ia dipanggil pulang ke Singaraja untuk menikah dengan kemenakannya, Anak Agung Byang Manik. Pernikahan ini mengubah hidupnya, baik secara pribadi maupun akademis, karena ia kemudian tidak menyelesaikan pendidikannya.
Meskipun tidak melanjutkan pendidikan formalnya, Pandji Tisna tidak pernah berhenti belajar. Ia justru semakin mendalami bahasa asing, termasuk Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, dan Sanskerta. Kemampuannya dalam menguasai berbagai bahasa ini menjadi aset berharga dalam pengembaraan intelektualnya, terutama ketika ia mempelajari sejarah dan budaya Bali dari literatur-literatur asing.
Pada dekade 1930-an, Pandji Tisna mulai dikenal sebagai salah satu novelis angkatan Pujangga Baru, sebuah kelompok sastrawan yang mengusung pembaruan dalam sastra Indonesia. Beberapa karyanya yang paling terkenal antara lain Ni Rawit, Ceti Penjual Orang (1935), Sukreni Gadis Bali (1936), dan I Swasta Setahun di Bedahulu (1938). Karya-karya ini tidak hanya populer di kalangan pembaca, tetapi juga dianggap penting karena berhasil membawa pembaca ke dalam kehidupan sosial dan budaya Bali yang kaya dan kompleks.
Novel Sukreni Gadis Bali adalah salah satu karyanya yang paling terkenal dan menjadi titik balik dalam karier kesusastraannya. Novel ini menggambarkan kisah kehidupan seorang gadis Bali yang terjebak dalam intrik sosial dan budaya, serta mencerminkan permasalahan hukum karma dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat Bali pada masa itu. Gaya bahasa yang digunakan oleh Pandji Tisna dalam karyanya sering kali berbeda dengan gaya para pengarang dari Sumatra, yang juga banyak menulis roman adat pada masa itu. Tokoh-tokoh dalam novel-novel Pandji Tisna digambarkan dengan karakter yang kuat dan, sering kali, dengan sifat yang keras dan kejam, menjadikan karyanya memiliki daya tarik tersendiri di mata para pembaca.
Selain menulis novel, Pandji Tisna juga aktif menulis puisi dan artikel budaya yang dimuat di berbagai majalah sastra, seperti Djatajoe (Singaraja), Poedjangga Baroe (Batavia), dan Terang Boelan (Surabaya). Meskipun demikian, ia sendiri tidak pernah merasa nyaman dengan sebutan “pengarang”. Dalam novel I Made Widiadi Kembali kepada Tuhan, ia menulis bahwa dirinya hanya menulis ketika ada alasan yang jelas, dan tanpa sebab yang kuat, ia akan sulit untuk mengarang.
Kehidupan pribadi Pandji Tisna penuh dengan dinamika. Ia menikah empat kali dan memiliki sejumlah anak dari pernikahannya tersebut. Pandji Tisna juga dikenal karena keputusan beraninya untuk berpindah agama dari Hindu ke Kristen pada ulang tahunnya yang ke-38, yaitu pada 11 Februari 1946. Perpindahan agama ini dilakukan di bawah pohon beringin di Desa Seraya dan dipimpin oleh beberapa pendeta. Keputusan ini membawa konsekuensi besar dalam hidupnya, termasuk kehilangan haknya sebagai ahli waris dan jabatannya sebagai raja di Bali.
Keputusannya untuk meninggalkan jabatan sebagai Kepala Swapraja Buleleng pada tahun 1950 dan anggota DPR RIS pada tahun 1951 juga mencerminkan semangatnya untuk terus mencari dan memperdalam pemahaman spiritual, yang membawanya kembali ke India untuk melanjutkan perjalanannya.
Dalam dunia sastra, Pandji Tisna tidak hanya dikenang sebagai seorang novelis, tetapi juga sebagai penulis prosa, puisi, dan drama. Beberapa karyanya yang penting termasuk Dewi Karuna: Salah Sebuah Jalan Pengembaraan Dunia (1941) dan Jiwa Seragam, sebuah naskah drama yang diterbitkan pada tahun 1954. Puisinya seperti “O, Putri!”, “Antara”, “Air Mata”, dan “Arti Berlapis” memperlihatkan kedalaman emosional dan refleksi spiritual yang menjadi ciri khas tulisannya.
Pandji Tisna juga dikenal karena perhatiannya terhadap masalah sosial dan budaya, terutama yang berkaitan dengan Bali. Dalam karyanya, ia sering membahas isu-isu hukum karma dan bagaimana masyarakat Bali menghadapi permasalahan sosial mereka. Menurut Ajip Rosidi, roman-roman Pandji Tisna menonjol di tengah banjir roman adat dari para pengarang Sumatra karena gaya bahasanya yang unik dan karena tokoh-tokohnya yang lebih keras dan lebih kompleks.
Pada 2 Juni 1978, Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia di Buleleng, Singaraja, Bali. Dua hari sebelum kematiannya, ia masih sempat menerima cetakan kedua novelnya, I Made Widiadi Kembali kepada Tuhan, dari penerbit Satya Wacana. Novel tersebut kemudian diletakkan di sisi jasadnya saat persemayaman terakhir, sebagai simbol bahwa penulis meninggalkan karya sebagai warisan abadi bagi dunia.
Anak Agung Pandji Tisna meninggalkan warisan yang kaya dalam bentuk karya-karya sastra yang tidak hanya mencerminkan kehidupan dan budaya Bali, tetapi juga menggambarkan pergulatan spiritual dan sosial yang dihadapinya sepanjang hidup. Karyanya tetap menjadi bagian penting dari khazanah sastra Indonesia dan terus dikenang sebagai salah satu sastrawan besar dari Bali.