Monopoli bioskop, perseteruan dengan para aktor kawakan, sampai jaringan nepotisme adalah isu-isu yang terus menjangkit kehidupan Aditya Chopra. Monopoli bioskop membawanya perang bisu dengan Kajol dan Ajay Devgan, sementara perbedaan pendapat antara dirinya dengan Abishek, Kareena, Saif Ali, dan lainnya, membuka gua kesinisan masyarakat semakin melebar. Ia bukan lagi seniman komersil Bollywood itu. Ia bukan lagi pemuda itu; yang berambisi membikin film yang dicintai masyarakat. Ia bukan lagi pemuda itu; yang pertama kali melihat kekuatan magis dari seorang Shah Rukh. Ia bukan lagi pemuda itu; yang menyisir kebun bunga sambil memikirkan segala kekroposan proses penggarapan DDLJ. Dan ia bukan lagi pemuda itu; yang berpegang teguh pada naskah skenario tanpa pernah mengandalkan improvisasi lapangan.

Aditya Chopra tak lagi diperhitungkan sebagai orang yang memberi peluang. Isu bahwa ia datang dari permainan nepotisme pun, membawa pandangan dan pengecaman sangat buruk oleh orang-orang di luar sana—yang mana mereka tak pernah dapat memahami dan mengerti bahwa perjuangannya untuk keluar dari payung nama besar sang ayah, juga sangatlah melelahkan.

Aditya Chopra berasal dari kelurga yang telah menyandang nama di Bollywood. Ia lahir di Mumbai, India, pada tanggal 21 Mei 1971, semasa atmosfer film Waqt masih menyelimuti langit India. Adalah Yash Chopra, ayahnya, si empunya sekaligus orang paling dipandang di kemudian tahun. Melalui Yash Raj Films, kedudukan sinema paling komersil dan produksi besar-besaran lahir di India pada dekade akhir 1970-an. Aditya Chopra ada di sana, bertumbuh di dalamnya, di riuh gemuruh nama besar ayahnya.

Maka bukan dugaan yang meleset bila ia merupakan hasil dari jaringan nepotisme itu sendiri. Yash Chopra, ayahnya, memang sejak dulu memanfaatkan tangan-tangan keluarga, kerabat, dan lingkungan di sekitarnya untuk menjadi seperti yang sekarang. Yashji ajimumpung kepada kakaknya, itu benar. Sementara Adi ajimumpung kepada ayahnya, itu pun benar. Namun apakah itu menjadikannya lebih buruk? Belum tentu. Aditya Chopra mencintai film sejak kecil. Ia melihat dapur film, kamera vidio, cahaya putih, kecantikan Sridevi, keperkasaan Amitabh Bachchan, dan segala macam lewat mata kepalanya sendiri. Setiap menghadiri premier hasil kerja Yash Raj Films, Adi selalu datang sambil membawa catatan dan menilai film itu dengan insting liarnya sendiri—sebuah marjinalia yang menjadi tempat belajarnya. Bahkan ketika debut sebagai sutradara, Adi melarang ayahnya untuk menengok dan ikut campur. Artinya, Adi tak secara langsung menginjak singgasana besar ayahnya. Ia ingin merangkaki kesulitan, dan berperang dengan kreativitasnya sendiri tanpa ada intervensi yang krusial dari pihak luar. Filmnya, adalah pikirannya, kemauannya, jiwanya sendiri.

Fakta bahwa Aditya Chopra adalah anak sineas besar di India tidaklah bisa ditangkis. Fakta bahwa ia hasil dari jaringan nepotisme pun tidak bisa disangkal. Namun ada satu hal lagi; fakta bahwa ia merupakan sutradara yang sangat terampil juga tidak bisa dikhianati begitu saja. Se-nepotisme apapun industri Mumbai, Adi tetaplah sutradara berbakat. Ia memang orang film sedari rahim. Ia jeli melihat peluang yang datang. Ia mengetahui dunia yang bagaimana yang sedang dihadapinya jika berlindung dari nama ayahnya. Tanpa pikir panjang, ditangkapnya kesempatan langka itu. Ia jadi sutradara, dan berusaha mati-matian menemukan sinematiknya sendiri untuk keluar dari bayang-bayang nama besar ayahnya.

Dan itu terbukti berhasil. Adi membuktikannya melalui rentetan filmnya yang tak pernah jatuh baik kritik maupun pendapatan. Ia kreatif, paham pasar, paham mutu. Tak banyak sutradara komersil macam dirinya di dunia ini, khususnya yang tekun dengan kisah romansa. Filmnya adalah seni komersial yang menjungkirbalikkan keyakinan Thedore Adorno. Bahwa komersil tak selamanya jadi lahan lelucon dan cari cuan, tak selalu serampangan dan menghilangkan esensial sinema. Adi percaya di balik komersial dan keinginan pasar itu, masih ada sekelumit mimpi yang dapat dikupas, keindahan yang menghilang yang masih dapat ditemukan. Untuk itu, maka ia sodorkan Dilwale Dulhania Le Jayange, Mohabbatein, Veer Zara, dan Rab Ne Bana Di Jodi. Empat film yang memberi kosmos bagi masyarakat untuk mencintai dan bahagia.

Saya tak hidup dengan karya Satyajit Ray, Mrinal Sen, dan Ritwik Ghatak, yang penuh realita hidup masyarakat Hindustan. Atau Shakti Samanta, Sanjay Leela Banshali, Mira Nair, Anurag Kashyap, apalagi Mani Ratnam. Saya hidup dengan alam khayal Aditya Chopra. Tempat imajinasi ditanam dan mimpi dituai. Tempat utopia ditempa. Tempat yang fana jadi nyata. Tempat tarian dan musikal jadi cinta dan kasih sayang. Tempat kisah romansa yang muluk dapat dijadikan pegangan hidup. Tempat di mana segala titik penghabisan selalu berbuah dan berbiji. Kadang kita butuh habitat yang demikian. Dan Adi telah menjadi yang paling kanonik untuk itu.

Debutnya ditandai dengan pendapatan yang fantastis dan penghargaan yang gemilang di Filmfare Bollywood tahun 1996. Dilwale Dulhania Le Jayenge adalah kesuksesan komersial pertama Adi. Film tersebut mengisahkan 2 sejoli India yang memiliki sikap berbeda 180 derajat yang bertemu di sebuah perjalanan menuju Zurich. Keduanya memutuskan untuk memulai perjalanan bersama, sampai pada waktu perpisahan untuk kembali ke kepulangan masing-masing, keduanya menyadari bahwa ada perasaan yang timbul. Film ini fantastis karena cerita cintanya yang kompleks, rumit, lucu, dan greget. Kehidupan konservatif pada latar belakang mereka memang merupakan formula yang terus diulang-ulang dalam sinema Bollywood. Namun apa yang membuat Dilwale Dulhania Le Jayenge menarik, sehingga masih ditayangkan pada lebih 100 pekan perilisan pertamanya?

Jawabannya adalah daya hipnosis dari seorang Shah Rukh Khan dan Kajol. Benar, ketika para masyarakat India menonton film ini, para laki-laki di seluruh mata angin India ingin jadi Raj, dan para perempuan ingin jadi Simran. Ini awal mula kepopuleran Shah Rukh Khan sebagai “the men who knows love”. Inilah yang menjadikannya sebesar sekarang. Hubungan yang jadi obrolan masif masyarakat itu kemudian dilanjutkan lagi oleh kerabat Adi, Karan Johar, dalam Kuch Kuch Hota Hai.

Inilah sense Adi—ilmu yang didapati dari marjinalianya sendiri. Shah Rukh Khan awalnya idealis pada peran laga, ia tak pernah ingin menyentuh peran-peran yang cengeng, sampai datang paksaan dari Adi. Sebab Adi melihat bahwa Shah Rukh tidaklah mencolok pada peran laga. Ia adalah good boy, lelaki yang siap mencintai dan menangis—dan sosok yang dinanti-nanti kedatangannya oleh para Parvati-Parvati di luar sana. Kedekatan mereka pun menjadi kerjasama jangka panjang—yang lebih erat dari kolaborasi sutradara-aktor di Hollywood.

Bagi saya sendiri, kemagisan karya Aditya Chopra telah sedikit banyak melampaui sinema konvensional Bollywood pada masanya. Ia menghasilkan apa yang tak terdengar—sebuah suara dari suara yang lain. Ada integrasi ragam pendekatan yang sedang bekerja di dalam; antara yang kontemporer dan tradisional yang bertahan. Keduanya, tidaklah sedang bertempur, melainkan mengisi kekosongan satu sama lain. Sebut saja musikal dan narasi yang saling berjalin-kelindan. Gubahan itulah yang mematangkan karya-karya Adiya Chopra. Oleh sebab itu, tak heran bila kita merasa hidup ketika melihat Raj dan Simran bertukar pandang dalam DDLJ. Kita merasa yakin ada yang hilang ketika Raj dan Megha tak pernah berada di satu ruang konkret yang sama dalam Mohabbatein. Dan kita merasa ikut menderita akan kerinduan yang dipikul Veer dalam Veer Zara.

Musikal, dari pandangan Adi adalah aspek paling kultus dalam sinema India. Bukan hanya menempelnya sebagai identitas, melainkan sebagai penggerak narasi. Musikal tak semerta terus-menerus dianggap remeh, sebagaimana yang dilakukan ayahnya dan sutradara lain di tahun-tahun dahulu. Justru karena musikal dipandang remeh, kebanyakan film komersial Bollywood jatuh ke jurang kegagalan. Adi adalah sineas yang sangat memperhatikan kekuatan dari aspek musikal itu—bagaimana ia bekerja dan bagaimana ia memikat penonton.

Itu sudah tampak di Dilwale Dulhania Le Jayenge. Tetapi puncaknya ada pada Mohabbatein. Dalam film tersebut, tampak terang bahwa Adi sangat menyempurnakan aspek musikal, mulai dari montasenya sekaligus kemerduan musik itu sendiri. Pada musikal, ada fenomena yang tak bisa begitu saja dianggap angin lalu. Musikal-musikal pada Mohabbatein memang mesti dirasakan dan disaksikan secara seksama—sebab ada fenomena-fenomena yang mendukung keberartian makna pada klimaksnya nanti. Pun, ikatan para karakter dalam film kerap lebih padat tercipta pada musikal-musikal yang dihadirkan dalam film tersebut.

Bukankah demikian juga yang terjadi pada Veer Zara dan Rab Ne Bana Di Jodi? Dalam Veer Zara Adi adalah otak kedua. Ia tak menjadi sutradara memang, melainkan pengarangnya. Musikal dalam Veer Zara sarat akan kerapuhan diri dan kerinduan mendalam. Kesedihan lebih banyak diutarakan lewat lagu-lagu yang berkeliaran, seperti Dol Pal, Tere Liye, dan Main Yahaan Hoon. Sementara Rab Ne Bana Di Jodi, selain ceritanya yang unik, asik, dan segar, aspek musikal adalah ruh sekunder yang paling utama dalam film ini. Salah satunya yang melegenda adalah lagu Tujh Mein Rab Dikhta Hai.

Kepekaan ini yang tak dimiliki Yash Chopra dan sutradara lainnya. Kenapa masyarakat masih dapat mengenang tangisan Raj dan kerinduan seorang Veer? Itu karena aspek musikal yang bekerja di dalamnya—menarik nostalgia kita dan mengkonstruksi beberapa adegan itu lagi. Menonton film-film Aditya Chopra adalah melihat kebahagiaan berjalan melewati deretan kesengsaraan. Tangis dan tawa dalam film-filmnya mengkristal begitu saja dalam diri. Memang agak lebay, dan lambat-laun kita semakin mengenalnya karena kesan yang hadir terlalu klise. Tapi pernahkah karya-karyanya beranjak dari jagat ingatan kita? Saya rasa tidak.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here