afterlife

Kematian bukan lawan dari kehidupan, kematian itu bagian dari kehidupan. Ada apa setelah kematian? Surgakah, atau Neraka?. Yunani mengenal dunia bawah adalah dunia kematian. Hades mengatur segala perangkat kehidupan setelah kematian. Nordik mengenal Valhalla, tempat setelah kematian, ketika manusia bisa bertemu Thor dan bertarung dengannya. Budhis tidak membentuk itu, mereka tidak membentuk akan kemana, atau ruangan seperti apa yang akan dijumpai setelah mati. Budhis hanya mengenal, kematian, akhirnya menjadi bagian dari kehidupan, yang menghilangkan seluruh derita manusia di bumi. Dalam tradisi Jepang, Budhis membentuk kisah aliran Zen. Imajinasi afterlife.

Rasanya, ini yang diangkat oleh Hirokazu Koreeda dalam filmnya After Life. Kisah berlatar ruamg perkumpulan. Semacam bilik rumah tradisi Jepang, tetapi hanya berkisar di dalam ruang. Di luar ruang, hanya ada cahaya ketutup gelap, dan cercah yang pecah. Ada satu orang yang membelakangi kamera, duduk menghadap ke luar halaman, dan mewawancarai orang-orang yang berkumpul di situ. Tema wawancara, “pilih kenangan terbaik selama hidup, pilih salah satu, waktunya 3 hari!” sebelum mereka mati.

Ruang itu boleh jadi, Barzakh, seperti dalam tradisi Islam. Atau, ruang itu boleh jadi dunia-sebelum-akhirat, seperti dalam kisah-kisah penyucian (purgatory). Apa saja boleh dibentuk, karena ruang ini, seolah dibuat mudah tafsir. Bukan hanya itu, kita barangkali bebas menduga siapa si investigator itu sebetulnya. Apakah ia, seorang pencatat dosa-pahala, atau sekedar konsultan. Probkemnya adalah, dunia After Life dalam film Hirokazu Koreeda dibuat nyata. Seperti daerah terpencil, di atas bukit, jauh dari pemukiman dan keramaian. Barangkali kita juga bisa menerka, bahwa tempat itu adalah sekedar tempat konsultasi pemulihan ingatan.

After Life dilempar kepada penonton. Tentang apa yang ada setelah mati, bukan langkah untuk menuju, melainkan untuk berdiri di tempat, mengingat yang lampu, dan mungkin menerka yang akan datang. Satu per satu narasumber, diwawancarai, diminta agar mengisahkan kisahnya pada masa lampau, tetapi dalam waktu yang singkat. Waktu, tempo, dan frame kamera menjadi penting sebagai alat konstruksi waktu. Waktu yang ada di dalam film, dibuat seolah waktu yang bergerak natural – ada orang yang merekam cerita orang (dokumenter). Tapi ini bukan frame baku. Waktu dalam film ini pada akhirnya penuh kesementaraan dan mudah lupa dari ingatan. Ruang, angle kamera, cerita, dan tempo transisi yang membuat momen kehidupan tokoh yang terasa kekal, tapi terasa sementara dalam ruangan itu. Lagi, After Life itu bukan langkah menuju, tapi perulangan kembali dan terus-menerus (singular).

Setelah kehidupan, bukan kematian yang menjadi penutup, melainkan memori pilihan terakhir kita pada kenangan yang lampau. Kimiko Tatara, yang meninggal satu hari sebelum masuk ruangan wawancara misalnya, diminta memilih salah satu memorinya pada usia 20-an, sementara ia meninggal pada usia 78. Ia memilih kenangan, selintas pada sahabat bermainnya dulu, yang sebagian penuh luka. Memori ini direkam oleh si pewawancara, dimasukkan ke dalam scene cerita, lalu berubah menjadi nyata, sebagai bagian dari afterlife-nya Kimiko.

Film ini meraih banyak penghargaan, tetapi bukan penghargaan yang jadi sorotan utama. Pertama, agaknya kematian, yang selalu kaya ketika diangkat dalam naskah cerita itu memiliki ciri khas. Pada tahun yang sama, kanon film di barat, sedang banyak menikmati munculnya Afterlife dalam nuanasa utopia teknologi, atau distopia. Waktu dikonstruk dalam bentuk sains popular. Tema-tema, perjalanan waktu, keanangan tidak diperlakukan sebagaimana adanya dia ada, melainkan dibaca dari sudut pandang seorang Sineas. Berbeda dengan Koroeda, dan barangkali banyak sutradara film lain. Ada kerinduan, romantisme, tetapi bukan terhadap romantisme melankolis galau sesama manusia. Kerinduan ini, adalah nilai kehidupan yang sementara, yang barangkali berasal dari akar tradisi mereka.

Say I choose a memory, from when I was eight or ten years old. Then I’ll only remember how I felt back then? I’ll be able to forget everything else? Really? You can forget? Well, then that really is heaven. (Kenji Yamamoto)

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here