ajmal fajar

Hingga tetes tinta terakhir catatan harianku habis, kamu benar-benar takkan percaya bukan, sayangku? Aku bersumpah lebih dari segala keringat  harian yang keluar dari setiap kelenjar pori-porimu, demi memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, aku tidak mampu untuk keluar dari semua ini. Berkali-kali aku memutuskan, aku harus beranjak dari kasur, mencari pekerjaan lagi, seperti tahun-tahun dimana aku bisa membawamu ke tepi pantai, melihat pelayan berlayar dan menikmati turunnya matahari sore dan menyeruput es degan pelan perlahan. Tetapi yang aku dapat, aku jatuh berkali-kali, terpental masuk pintu ke pintu, keluar dari mimpi satu ke mimpi lain. Harapan ini, bukan kali yang pertama sayangku, harapan aku bisa keluar dari lingkaran setan, yang sungguh anjing ini, mungkin harapan terakhir dalam hidupku.

Aku tahu, setiap kali lembar catatan harianku selesai, sebelum akhirnya tertidur pulas, kamu selalu menyelinapkan tangan mungilmu, untuk mengambil kunci kecil di samping laci, tempat aku meletakkan buku harian. Besar keyakinanmu, jika aku tidak tahu apa yang kamu lakukan, karena kamu, selalu menganggap dalam kondisi tertidur, rasa pulasku jauh melampaui mimpi ashabul kahfi bertahun-tahun saat berada di Gua. Tentu saja aku tahu, tanpa harus kamu katakan. Kamu harus tahu, meskipun usia pernikahan kita sudah terhitung 20 tahun lamanya, buku harianku jauh lebih dekat dibandingkan kedekatanku denganmu. Bahkan jauh lebih dekat dari urat nadiku sendiri, sayangku. 

”Kita sudah 20 tahun lebih menikah, jika kamu memiliki masalah, ceritalah. Aku istrimu, kau suamiku. Sudah sepatutnya bukan, seseorang yang menjalin hubungan dan saling mencintai berbagi ceritanya masing-masing,” Katamu setiap pagi, sebelum kamu bergegas menuju kantor dan merapihkan barang-barang yang kamu siapkan di atas lemari kamar kita.

Tetapi aku tahu, sejak 4 tahun lalu, kalimat itu hampir terdengar setiap pagi, seperti absen harian guru kepada murid Sekolah Dasar. Kamu hanya berhenti mengucapkan kalimat, jika ada urusan kerja mendadak, atau tiba-tiba jatuh sakit dan tidak berangkat ke kantor. 4 tahun lalu, tahun-tahun yang berat bagiku, sehingga menulis catatan harian sebelum rebah di kasur, seperti akad kedua dari pernikahan yang lain. Menikah kedua kalinya. Menikahi catatan harianku. Bukan aku merasa, jika kehadiranmu belum mencukupi tempatku untuk berbagi. Tetapi kejadian 4 tahun lalu, sungguh-sungguh memaksaku untuk melakukan itu. Mungkin, rahasia ini, hanya berada di antara kita dan takkan diketahui sedikitpun oleh orang lain. Maksudnya antara aku dan buku catatan harianku, bukan dirimu, sayangku. 

4 tahun lalu, saat dirimu jauh dari rumah ini, memutuskan kita berpisah sementara selama satu tahun. Aku dipindahtugaskan ke Yogyakarta, meninggalkan rumah kita. Jakarta dan segala isi perabotan rumah. Sementara dirimu, jauh di sana, Inggris, Negeri yang hanya kukenal sepintas-lalu lewat surat kabar yang dijual oleh loper koran Prampatan Mampang. Membawa anak-anak kita, dan pulang tanpa mereka. Dengan alasan di sana, Pendidikan jauh lebih memadai untuk nasib masa depan anak kita. Sebab dirimu, dahulu merasakan hal sama, Pendidikan di Negeri itu, untuk meraih gelar doktor. Gelar yang lama kau impikan sejak kita mengenyam bangku kuliah. Di Yogyakarta, aku memutuskan untuk tak mengabari dirimu, barang hanya sebatas kabar baik. Apapun yang terjadi, mimpimu lebih utama dibanding rumah tangga kita. Kukira kamu mengenalku dalam hal ini, dan aku tak ingin sekalipun menyenggol urusanmu dan mimpimu. Meskipun toh, hujan di Inggris dan di Indonesia tiada beda. Sama-sama air yang turun dari langit.

Di Yogyakarta, mungkin sebab aku sering membaca koran dan beberapa kali menulis ulasan buku saat kuliah, aku memutuskan untuk menjadi seorang wartawan. Meninggalkan kerja sebagai staff marketing perusahaan cemilan. Bertaruh pada hal baru, hal itu yang kukira dapat sedikit-banyak, mengurangi rasa rinduku yang harus kutahan selama kau melanjutkan proses studimu. Setidaknya, dengan menjadi wartawan, aku bisa kembali menyentuh dunia literasi. Buku-buku, pengetahuan dan segala kompleksitas dunia. Dengan kata lain, aku kembali belajar, agar kelak, ketika kau kembali ke rumah, cerita yang kau sampaikan bisa aku dengar dengan seksama dan sebaik-baiknya. Poin tambahannya, aku bisa mengerti apa yang akan dibicarakan seorang terpelajar kelas doktor. Sebuah rencana ideal, pikirku. Tetapi nyatanya, bekerja di dunia kewartawanan, membuatku mengerti memahami ihwal suatu hal, tidak semudah kita membuang air besar, dengan hanya sekedar tahu tata cara membuka pintu, celana dan sempak kita, lalu berjongkok dan menunggu sampai beban mulas di perut kita luruh sampai ke septic-tank.

Di pekerjaanku yang baru, aku tidak bisa mengukur sesuatu menurut standar yang sudah ditetapkan. Contoh sederhananya, kelak suatu saat engkau pulang dengan gelar doktormu, orang akan menganggap bahwa dirimu adalah seorang pakar. Setidaknya jika orang mengetahui bahwa dirimu mampu membuat rumah hanya sebatas melalui digital, ia akan merasakan rumah sebenarnya dengan konstruksi yang telah kau buat dalam komputer. Tetapi bagi para wartawan, hal ini belum mungkin bersifat tetap. Terkadang untuk menguji apakah ia seorang dokter atau bukan, bukan cara itu yang ditempuh untuk menguji kepakarannya. Melainkan dengan cara, kepada siapa gelar kepakaranmu disandarkan. Ah terlalu berlibet, begini-begini, misal dirimu adalah seorang Doktor di bidang Komputer, kamu bisa saja bekerja di Dinas Penduduk Dan Pencatatan Sipil, tetapi kamu tidak tahu berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan setiap ada orang yang ingin membuat Kartu Tanda Penduduk kepada mereka. Dengan setumpuk calo bajingan di dalamnya. Ya kuharap, kamu mengerti dengan permisalan ini.

Segalanya terjadi di Bantul. Teman baikku. Syafruddin namanya. Kami satu Angkatan dalam kantor perusahaan media yang kami geluti. Meskipun aku hanya bertugas meliput kolom kesenian yang berkembang di setiap kota, memantaunya, lalu mencatatnya dalam berita harian. Sementara Udin adalah wartawan kolom politik dan hokum. Meskipun aku tahu, ia tidak sekalipun pernah mengenyam dunia perkuliahan, tetapi, soal tulisan, boleh diuji. Tidak ada detail fakta yang luput dari analisisnya selama ia meliput kasus. Mungkin itu sebabnya ia menggunakan kacamata tebal. Memang konon, menurut beberapa orang di desanya, orang tua Udin dulu adalah seorang juru tulis terkenal Desa. Wajar bila Udin tekun dalam dunia tulis-menulis dan menganalisis masalah suatu kasus melalui data. Terbiasa mendata penduduk desa, kata teman-temannya. Kami berteman baik. Biasanya, sepulang kerja, kami menyempatkan untuk meminum satu cangkir kopi di sebuah kedai dan saling berbagi. Ia akan bercerita banyak tentang semua masalah liputannya, mulai dari kisah Nenek penebang kayu bakar, yang dituduh mencuri oleh anaknya, sampai kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Resor setempat. Sementara aku akan berbagi tentang bagaimana seorang seniman lukis frustasi akibat lukisannya tidak masuk kurasi pameran oleh dewan kesenian yang politis, misalnya. Kegiatan ini rutin kami lakukan, sampai akhirnya kudengar kabar, kamu akan pulang dan aku harus berhenti dari kerja-kerja ini. Tentu saja, aku berhenti jauh sebelum dirimu kembali.

Suatu Sore, di depan kantor, jam 5 di jam pulang kerja kami, satu mobil ambulan datang ke kantor. Memanggil pimpinan perusahaan dan mengabarkan kabar duka. Udin telah mati. Jasadnya ditemukan di seberang kantor Bupati. Kaca Mata bulat tebalnya pecah. Pelipisnya bocor. Wajahnya dipenuhi warna biru dan menonjol. Setelahnya kantor gaduh. Pimpinan redaksi mulai mengambil langkah khusus meneliti masalah ini. Satu hal yang tak pernah kantor lakukan sebelumnya. Anggaplah ini merupakan kerja ekstra. Aku tergabung dalam tim ini, tim pencari fakta. 3 bulan berlalu seperti tanpa alarm. Tidak ada penanda, mana jam kerja, mana jam untuk hidup. Kami yang saling bahu-membahu mencari titik terang kejadian perkara ini, telah kehilangan batasan waktu. Hidup adalah kerja, kerja adalah hidup. Kami mulai menyadari lagi, bahwa tentang mimpi-mimpi kejatuhan Soeharto dan hilangnya penindasan pemerintah terhadap kami masih ada. Tak seindah ucapan-ucapan para dosen sejarah dan buku-buku yang ditelitinya. Mungkin perasaan itu hadir sebab kami benar merasakan kejadian itu secara langsung.

Minggu ketiga, bulan ketiga, kamis malam dengan langit gelap sedikit jingga. Hari itu, kami bersama teman-teman yang menelusuri jejak kematian Udin, memutuskan pulang lebih cepat. Kami sepakat, untuk mengambil jeda dalam seminggu demi kepentingan kesehatan mental kami. Aku memutuskan pulang ke Jakarta, beriringan dengan adanya kabar menjelang kedatanganmu bulan depan. Di rumah lantai 2, aku membuka jendela yang menghadap ke Jalan. Sepanjang jalan penghubung antara Tangerang dan Jakarta. Menengguk Anggur Merah dan melihat orang-orang yang  baru pulang kerja berlarian di gang-gang kecil becek sekitar rumah. Kepala tengadah ke atas, melihat bintang di langit, dan pergi ke bayang-bayang masa lalu. Tentang hidup yang berlalu begitu cepat dan abu-abu. Penuh dengan ketiba-tibaan. Dan benar saja, tiba-tiba tubuhku limbung. Tertidur di atas kasur.

Udin berjalan ke hadapanku, menyodorkan tangannya untuk bersalaman dan bertanya, “apa kabar?”. Aku menyalaminya, tetapi saat kugenggam tangannya, darah mengucur dari sela-sela lengan pakaiannya. Sehingga lengket bercaknya menyelimuti tanganku. Wajahnya yang semula senyum, tiba-tiba hilang separuh. Lidahnya menjulur dan memaksakan suara minta tolong keluar dari kerongkongonnya. Tetapi tidak ada suara, hanya gedebuk suara jatuh yang ada di hadapanku. Udin tergeletak di lantai. Tangannya memohon agar aku mengangkatnya berdiri, tetapi, tak sanggup. Aku keburu pingsan. Tiba-tiba aku sedang memegang buku catatan harianku, di atas meja.

Malam berikutnya, malam yang sama. Menjelang tidur, aku mulai menulis catatan harianku. Tentang hari yang telah lalu, dan kemungkinan apa yang hadir di esok hari. Tiba-tiba bantal sandaran yang kugunakan, hilang dan ada seekor kucing di hadapanku. Ia menatapku dengan tajam. Kedua alisnya sama-sama ditekuk ke atas. Di belakangnya, ada lima pemuda yang sedang berkumpul, dan kukira, mereka sedang bakaran. Aku menghampiri mereka. Saat kutengok, wajah-wajah itu bukan wajah asing. Ya, mereka adalah teman SMAku. Tetapi apa yang mereka lakukan sungguh menjijikan. Saat aku duduk dan berusaha berbasa-basi, mereka langsung menyuguhkanku daging masak hasil bakaran mereka. Kau tahu, itu daging kucing. Setelah habis memakannya, perutku bergejolak. Aku membayangkan, seolah dalam asam lambungku, ada kepala kucing yang meronta kesakitan dan mohon agar keluar dari perutku.

Hingga tetes tinta terakhir catatan harianku habis, kamu benar-benar takkan percaya bukan, sayangku?. Demi Tuhan, mimpi ini terus berlanjut dari malam ke malam. Aku benar-benar ingin membunuhnya. Setiap upaya harian yang kulakukan, mungkin terlihat tidak karuan di matamu. Tetapi aku bekerja, sayangku. Aku berusaha untuk membunuh mimpi-mimpi ini, tetapi mimpi menikamku 77 x lebih cepat, sayangku. Maafkan aku, maafkan jika aku belum bisa berbagi layaknya pertama kali kita mengikat akad. Kau boleh pergi, kapanpun kamu mau.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here