Kamis lalu, saya mengajak seorang kawan keliling Kayutangan. Hari itu, saya sedang melacak jejak sejarah orang-orang Tionghoa di Malang. Setelahnya kami berbincang, ia bertanya, kok kamu punya tekad sebesar itu untuk menelisik sesuatu. Saya kira itu wajar, bukan hal luar biasa. Saya menanggapi, bahwa itu hal yang wajar karena dunia dibentuk melalui cerita. Ada cerita yang dikesampingkan oleh sejarah, dianggap tak bernilai, atau bahkan cenderung jahat. Dalam konteks Tionghoa, salah satu yang dianggap jahat adalah isu rasial yang dibangun dalam naskah Indonesia dalam Bara, tulisan dari Tjamboek Berduri. Kawan saya menanggapi, sekali lagi, apa gunanya mengangkat isu rasial yang sudah kuno. Tidakkah lebih baik membahas isu seorang introvert yang sulit sekali bersuara di ruang publik, seperti dirinya. Saya menyangkal.
Esok harinya, saya mengajak dirinya kembali bertemu dengan komunitas etnomusik. Ia menolak. “Saya tidak kenal,” katanya. Saya katakan, tinggal kenalan apa sulitnya. Lagi-lagi, ia berkata, “Saya seorang Introvert.”
Setelah percakapan itu, tiba-tiba melintas sekilas bayangan, bagaimana jika imajinasi politik manusia dibangun di atas imajinasi orang, anggaplah, orang yang memiliki kepribadian seorang Introvert? Dalam telusuran saya di google disebutkan bahwa seorang Introvert cenderung pendiam dan memiliki amatan jeli. Saya terdecak, seolah ingin mengatakan, keren, bagaimana seandainya sampah bahasa, umpatan, dan berita bohong hari ini masuk dalam dunia sunyi?
Musykil. Tentu dunia tidak seindah yang dibayangkan. Dunia yang penuh bunga tidak ada. Dunia ala kadarnya, sudah berlaku sejak dulu seperti itu: penuh bencana. Apa yang mampu kita pelajari, adalah membaca pola.
Seorang Introvert, sebagai manusia, tak mampu hidup sendiri telungkup di depan kamar, kecuali ia memang ingin membusuk. Introvert, dalam kacamata sosial, adalah bentuk ekspresi dari seseorang yang sukar beradaptasi terhadap ruang sosial dalam lingkup luas. Dengan demikian, suaranya redam dan harus melalui ragam penyulingan. Apa yang mampu kita pelajari dari seorang seperti ini?
Dalam ruang publik, seseorang yang tidak merasa dirinya introvert harus peka melihat ruang. Ruang yang dimaksud adalah komunikasi yang setara. Dasar-dasar kaitan antara psikologi dan politik terletak pada aspek berbagi ruang yang paling dasar dari kebutuhan manusia yaitu ruang aktualisasi diri. Ruang aktualisasi berujung pada pembagian seperti partisipasi politik untuk membangun kepercayaan satu sama lain. Semua itu dibutuhkan untuk merenceanakan hidup bersama dalam satu harapan yang sama.
Dengan cara ini, ruang politik partisipasi aktif yang dibagi, mampu melihat keseluruhan utuh suara dari seorang Introvert. Jumlah massa aksi pada tahun 1998, berdasarkan catatan Gustia Budhiartie lebih dari 9000 massa. Itu belum mencapai 10 persen dari keseluruhan masyarakat Indonesia. Jika jumlah itu mencapai taksiran lebih dari 80 persen masyarakat Indonesia, katakanlah misalnya sejumlah 20.000 massa, pertanyaaannya berapa banyak dari mereka yang introvert? Mungkinkah mereka yang tidak mengikuti aksi, adalah seorang Introvert?
Melihat seorang Introvert menjadi sukarelawan politik, atau masuk ke dalam aktivitas gerakan sosial, perlu ditelisik. Apa yang menyebabkan mereka kemudian masuk ke dalam suara massa. Dengan memahami ini, barangkali nantinya kita bisa memahami sedikit tidak faktor yang dapat digunakan untuk mendalami gerakan sosial, konsolidasi, dan berikut cara-cara lain dalam melihat suara diam yang masuk ke ruang publik.