Tak banyak dalam perbincangan sastra Indonesia membahas sosok Sutan Takdir Alisjahbana. Malahan, kala berdiskusi dengan sekelompok mahasiswa sastra, mereka pun tak mengenali sosoknya. Rerata mengira nama itu sama dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri Indonesia pertama pada masa Orde Lama. Orang-orang lebih familier dengan nama Sutan Sjahrir, bahkan ada yang menganggap Sutan Takdir itu adalah Sutan Sjahrir. Kedua nama itu memang mirip, tapi keduanya jelas orang yang berbeda.Meniadakan salah satunya tentu sebuah kekeliruan besar.
Siapakah Sutan Takdir sehingga penting diketahui dan dipelajari-diteladani buah pikir dan sosoknya? Takdir (bukan Sjahrir) ialah Bapak Bahasa Indonesia, penulis, sastrawan, dan budayawan. Ia orang pertama yang menyusun Tata Bahasa Indonesia dan mengusung pembaruan kebudayaan. Kiprahnya yang cukup mentereng itu nyata-nyatanya tidak seiring dengan pengenalan generasi kini akan sosoknya. Karena minimnya pengenalan terhadap Sutan Takdir itulah menjadi alasan penting menulis kiprahnya agar kita dapat mempelajari teladan bapak bahasa Sutan Takdir Alihjahbana.
Takdir Muda
Sutan Takdir Alisjahbana lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara bagian selatan. Tak hanya namanya yang mirip dengan Sutan Sjahrir, asalnya pun berdekatan dengan asal Sjahrir dari Padang Panjang, Sumatera Barat bagian utara. Rupanya, Takdir dengan Sjahrir mempunyai hubungan kekerabatan dari ibunya. Wajar bila nama keduanya punya kemiripan, kemungkinan karena marga atau faktor pemberi nama dari budaya yang sama (Kompas.com, 2021).
Itu satu hal soal nama Sutan Takdir dan Sutan Sjahrir. Biar tidak tertukar, atau lebih parahnya menganggap keduanya sama saja. Meniadakan salah satunya tentu jadi pelanggaran sejarah. Sebab keduanya sama-sama sosok penting di “medan”-nya masing-masing, yang perlu kita dipelajari.
Kembali kepada sosok Sutan Takdir. Pendidikan pertamanya ditempuh di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Bengkulu pada 1921. Setamat dari HIS, ia lanjut studi di Kweekschool di Bukittinggi. Kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah guru tingkat atas, Hogere Kweekschoool di Bandung pada 1928. Takdir pernah bekerja di Palembang pada rentang waktu 1928-1929, dilakoninya sembari masa studi.
Pujangga Baru
Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia memutuskan merantau ke Jakarta. Pada saat di Jakarta itulah, Takdir menemukan takdirnya; ia bekerja sebagai redaktur kepala Penerbit Balai Pustaka sejak 1930. Di samping itu, Takdir juga memimpin majalah Panji Poestaka sejak 1930 sampai 1942. Sembari bekerja itu, Takdir lanjut menempuh pendidikan tinggi pada 1937 di Rechtshogeschool, sekolah hukum tinggi Jakarta.
Setamat dari kuliahnya dan berakhirnya masa kepemimpinanya di majalah Pandji Poestaka, Takdir kemudian bertugas sebagai penulis ahli dan anggota Komisi Bahasa Indonesia pada 1942-1945. Tak dapat dipungkiri kalau dari pekerjaan Takdir itu kemudian ia berjodoh dengan bahasa Indonesia. Setiap hari pekerjaannya menyoal literasi yang mengantarkannya menjadi seorang ahli bahasa Indonesia di kemudian hari.
Tiga tahun berselang, ia dipercaya sebagai Ketua Komisi Bahasa Indonesia terhitung 1945 hingga 1950. Ia dipercayai memimpin Komisi Bahasa Indonesia bukan tanpa sebab. Takdir telah menunjukkan kecintaan dan karyanya saat bekerja di Balai Pustaka dan Majalah Pandji Pustaka. Salah satu karyanya yaitu menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia yang digunakan sampai sekarang. Ia juga membuat kamus istilah bahasa Indonesia yang pada zaman pra dan pasca-kemerdekaan sangat dibutuhkan sebagai medium pemersatu (Kompas.com, 2021).
Pada saat bekerja di Balai Poestaka, tepatnya pada 1929, Alisjahbana bersama teman-temannya mendirikan majalah sastra bernama Pujangga Baru, yang bertujuan untuk memperkenalkan gerakan modernisasi dalam sastra Indonesia. Majalah ini menjadi platform penting bagi penulis-penulis muda saat itu untuk mengekspresikan ide-ide dan karya-karya mereka. Alisjahbana sendiri menjadi salah satu kontributor utama dan pengarang terkenal dalam majalah ini.
Bapak Bahasa
Selama perjalanan hidupnya, Alisjahbana aktif dalam berbagai kegiatan intelektual dan budaya. Ia terlibat dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 1949 dan diangkat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, Alisjahbana juga menjadi profesor sastra Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan pada 1957, ia mendirikan majalah sastra dan budaya “Horison”, yang terus berfungsi hingga sekarang.
Sutan Takdir Alisjahbana secara luas diakui sebagai Bapak Sastra Indonesia karena peran pentingnya dalam mengembangkan dan memajukan sastra Indonesia modern. Dia adalah salah satu tokoh sentral dalam gerakan Pujangga Baru (Penyair Baru) yang mengguncang dunia sastra Indonesia pada 1930-an.
Gerakan Pujangga Baru bertujuan untuk merevolusi sastra Indonesia dari tradisional ke modern, dengan mengadopsi gaya dan konvensi sastra Barat serta mengeksplorasi tema-tema yang lebih universal dan kontemporer. Alisjahbana, sebagai salah satu pendiri majalah Pudjangga Baru, berperan penting dalam merumuskan dan mengartikulasikan pandangan dan ide-ide gerakan ini.
Kebudayaan Progresif
Dari sisi kebudayaan, Sutan Takdir Alisjahbana berkiblat ke Barat karena dinilai kebudayaan Barat lebih progresif dan mengedepankan gerakan humanisme. Dalam konsep kebudayaan Takdir, manusia diposisikan sentral yang mengutamakan pada proses budi manusia. Menurutnya, dengan budi, manusia melahirkan budidaya dan kebudayaan, dan seterusnya dengan kebudayaan manusia membentuk alam agar lebih manusiawi. Nilai itulah yang paling dikedepankan dalam mewujudkan kebudayaan dengan penuh tanggung jawab. Sementara kebudayaan tradisional pada masa itu, menurut Takdir, cenderung ekspresif. Namun, pandangan Takdir itu juga mendapat kritik karena dianggap dapat menghilangkan karakter luhur bangsa (Rusmiati dan Meliono, 2003).
Dalam tulisan-tulisannya, Alisjahbana menyoroti pentingnya menggunakan bahasa Indonesia dengan gaya dan kualitas tinggi, serta menyuarakan nilai-nilai dan aspirasi kebangsaan. Ia berpendapat bahwa sastra Indonesia harus mencerminkan realitas sosial, politik, dan budaya Indonesia, dan menawarkan sudut pandang yang orisinal dan kritis terhadap masyarakatnya.
Gubahan
Sutan Takdir dikenang sebagai Bapak Sastra Indonesia karena mempelopori tata bahasa baru Indonesia. Dari ketertarikannya terhadap bahasa, Takdir berhasil menulis beberapa novel, antara lain Tak Putus Dirundung Malang(1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1937), dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941). Ia juga menulis Takdir menerbitkan buku puisi Tebaran Mega (1935) dan menerjemahkan buku bahasa asing Nelayan di Laut Utara karya Pierre Lotti. Di samping menulis karya, Takdir juga menjadi editor buku di Balaipustaka dan Majalah Pandji Pustaka (Naviri Magazine.org, 2019).
Secara filosofis, Sutan Takdir menilai bahwa bahasa sebagai penjelmaan pikiran. Dengan bahasa, menurut Takdir, akan lahir gagasan dan peradaban. Atas dasar itulah Takdir memperjuangkan agar bahasa Indonesia memiliki tatanan yang baik dan punya identitas sehingga terbuka jalan menuju peradaban impian. Tersebab itu, Takdir menulis Tata Bahasa Indonesia yang belum pernah ditulis sebelumnya. Kendati merintis tata bahasa Indonesia, namun Takdir tak luput dari kritik karena dianggap menghilangkan kosakata etnik. Sungguh pun begitu, konteks urgensi identitas bahasa pada masa itu sebagai bahasa nasional tak dapat dipungkiri dibutuhkan.
Membaca konteks penting bagi kita dalam membaca sejarah. Bila tidak demikian maka kita hanya akan membaca sejarah secara parsial. Padahal, tiada sesuatu pun yang tidak saling berkaitan dengan yang lainnya. Dalam istilah Romo Mangun, perlu berpikir ngiwar, yaitu melihat satu hal dari keseluruhannya. Karena itu, melihat upaya Takdir menyusun Tata Bahasa Indonesia tersebut pun mesti dipandang dari konteks zaman dengan segala faktor yang memengaruhinya.
Di satu sisi, bukan berarti pula melenyapkan kritik yang ditujukan pada Sutan Takdir. Itu sah-sah saja, dan memang dibutuhkan agar tetap hidup dalam dialektika sehingga dari waktu ke waktu semakin murni. Tapi harus adil, biar sejarah tidak semakin samar dalam kesimpulannya.
Takdir juga dikritik karena dinilai konservatif dan kurang bisa mengapresiasi dan menghargai hal-hal baru dalam sebuah karya. Salah satu contohnya saat ketika Takdir memandang bahwa The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway terlampau pesimistis. Saling kritik antarsastrawan itu perlu dipandang sebagai suatu yang positif dalam wujud dialektika keilmuan. Karena itu, hal semacam itu justru diperlukan agar sastra terus bergerak dinamis selaras zamannya.
Teladan Sutan
Rupa-rupanya, teladan Sutan Takdir tidak hanya dapat ditemui pada kiprahnya di dunia kebahasaan, ia juga melibatkan diri dalam pergerakan menjelang kemerdekaan Indonesia dan setelahnya. Sejak usia 14 tahun, Sutan Takdir bergabung dengan Jong Sumatra hingga usianya 22 tahun (memoribuku, 2021).
Pada 1964, Alisjahbana diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Federal Jerman, dan ia melayani sebagai diplomat hingga 1978. Meskipun terlibat dalam diplomasi, Alisjahbana tetap berkomitmen pada dunia sastra dan budaya. Ia terus menulis dan menerbitkan karya-karya sastra, esai, dan buku-buku tentang kebudayaan Indonesia.
Karya dan kontribusi Alisjahbana dalam bahasa dan budaya Indonesia telah mengilhami banyak penulis dan intelektual muda, membantu membentuk identitas sastra Indonesia modern, dan membuka jalan bagi perkembangan dan eksplorasi lebih lanjut dalam dunia sastra. Sebagai Bapak Bahasa Indonesia, Alisjahbana dikenang atas dedikasinya memajukan dan mempromosikan sastra Indonesia.
Sutan Takdir Alisjahbana meninggal dunia pada 17 Juli 1994 di Jakarta, dengan warisan penting dalam dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya berharga dalam dunia sastra dan intelektual Indonesia, menginspirasi generasi selanjutnya. Perjalanan hidupnya berdedikasi untuk mengembangkan dan memperjuangkan bahasa dan budaya Indonesia.
Daftar Pustaka
Adryamarthanino dan Nailufar. Kompas.com. 2021. Sutan Takdir Alisjahbana, Ahli Tata Bahasa Indonesia. https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/12/120000879/sutan-takdir-alisjahbana-ahli-tata-bahasa-indonesia?page=all diakses pada 15 September 2023.
Memoribuku.com. 2021. Biografi Sutan Takdir Alisjahbana dan Perjalanan Membawa Pujangga Baru. Diakses dari https://memoribuku.com/biografi-sutan-takdir-alisjahbana/ pada 10 September 2023.
Naviri Magazine. 2019. Daftar Lengkap Karya-Karya Sutan Takdir Alisjahbana. Diakses dari https://www.naviri.org/2019/10/daftar-lengkap-karya-karya-sutan-takdir.html pada 15 September 2023.
Rusmiati, Elis Teti, dan Meliono, Irmayanti. 2003. Humanisme dalam Pemikiran Kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana: Suatu Kajian Filosofis. Universitas Indonesia. Diakses dari https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=73375 pada 15 September 2023.