Rupanya yang tersirat dari film Battle of Surabaya ini adalah pemutusan rantai balas dendam.
Bulan November adalah bulan yang sangat bersejarah bagi masyarakat Indonesia, terlebih bagi masyarakat Surabaya. Selain dirindu karena pesona mendung dan rintik gerimisnya, bulan November juga nilai historis yang terkandung di dalamnya. Tepat pada hari ke sepuluh pada tahun 1945, terjadi pertempuran oleh Arek-Arek Suroboyo yang dipimpin oleh semangat membara Bung Tomo dan kawan-kawan. Indonesia memang sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus sebelumnya, namun kemerdekaan itu masih dihantui oleh ancaman-ancaman, sehingga rakyat Indonesia harus mati-matian mempertahankan. Di antara ancaman tersebut adalah pertempuran yang terjadi pada tanggal 10 November tersebut, yang dipicu oleh insiden pengibaran bendara Kompeni (Belanda) di pucuk Hotel Yamato (yang kini bernama Hotel Majapahit).
Peristiwa bersejarah ini nyatanya berhasil dipotret dengan menarik oleh Aryanto Yuniawan untuk mengabadikannya dalam bentuk film animasi dua dimensi yang berjudul Battle of Surabaya. Film produksi anak bangsa ini juga berhasil merajai penghargaan-penghargaan bergengsi mulai dari tingkat nasional hingga internasional. Sebut saja seperti juara pada kategori digital entertainment dalam pagelaran Indonesian ICT Award 2012 (tingkat nasional), lalu menjadi best animation dalam festival Hollywood International Motion Pictures pada tahun 2018 (tingkat internasional), dan masih banyak yang lain. Intinya, Indonesia harus berbangga dengan keberadaan film animasi ini.
Satu hal unik sekaligus menarik yang menjadi pesan utama menurut hemat saya adalah kalimat singkat-padat dalam poster filmnya yang berbunyi there is no glory in war. Agaknya film ini ingin memotret sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang masyarakat umum. Jika masyarakat umum memandang pertempuran adalah kisah tentang pihak-pihak yang berbahagia karena menang dan pihak-pihak yang menangis gegara menjadi pecundang, maka Battle of Surabaya justru memandang hal yang sebaliknya. Tak pernah ada pemenang dalam perang. Baik yang disebut kalah dan menang itu, nyatanya sama-sama merasakan pahitnya kehilangan dan derasnya air mata.
Semua Pihak Sama-Sama Menderita
Di dalam peperangan, ilusi yang tercipta adalah pihak yang menderita hanya dirasakan oleh pihak yang dianggap kalah. Sementara pihak yang dianggap menang hanya akan dinaungi kegembiraan dan suka cita. Padahal yang benar-benar terjadi adalah semua pihak sama-sama menderita. Seolah-olah Indonesia sebagai pihak yang dianggap memenangkan peperangan (dengan asumsi telah menyandang predikat merdeka sekaligus berhasil memertahankannya) telah mendapatkan kebahagiaannya, padahal dari pihak Indonesia juga harus kehilangan orang-orang tercinta. Film Battle of Surabaya berhasil menangkap dan merefleksikan pemahaman ini dengan baik lewat jalinan tokoh-tokohnya dengan menempatkan tokoh Musa sebagai pusatnya.
Dikisahkan bahwa Musa adalah seorang anak remaja yang bekerja sebagai penyemir sepatu sekaligus sebagai kurir surat & kode-kode rahasia yang perlu disampaikan kepada tentara Indonesia dan para pejuang milisi. Selama masa-masa itu, banyak korban yang berjatuhan. Baik dari pihak Jepang, Inggris, maupun Indonesia sendiri. Satu di antara perwira militer Jepang yang bernama Yoshimura harus gugur ditembak tentara kompeni pada masa-masa pertempuran itu. Bagi Musa, Yoshimura adalah pengganti sosok ayahnya yang telah berpulang. Musa sedih bukan kepalang saat tentara Kompeni menembaki Jepang dengan sorot mata tanpa belas kasihan. Yoshimura pernah berkata kepada Musa bahwa keinginannya sederhana saja, ia hanya ingin kembali ke Jepang untuk menemui putri manisnya yang bernama Kyoko; sang istri; dan gunung Fuji. Harapan sederhana dan mulia itu terpaksa harus sirna gegara kejamnya sesuatu yang bernama perang.
Setelah Yoshimura, Musa juga harus kembali berurai basah karena harus kehilangan sang ibu di depan kedua matanya. Ada suasana haru di sana pada detik-detik terakhir kehidupan sang Ibu kala ia berkata, “Ibu sangat mencintaimu, Musa. Jadilah orang yang pandai di sini (menunjuk hati). Jangan pernah menyimpan dendam, jangan pernah memihak, dan dengarkan suara hatimu.” Ibu Musa yang sedang sakit-sakitan tertimpa reruntuhan kayu rumah yang sudah terbakar. Musa meninggalkan Ibunya dengan menahan isak tangis. Lagi-lagi peperangan hanya menyisakan luka dan menghilangkan cinta.
Sebuah Penutup yang Mengharukan
Kisah berlanjut dengan perjuangan Musa dan teman-temannya yang juga memainkan emosi penikmatnya. Ada perjuangan, juga kehilangan. Ada ketulusan, juga pengkhianatan. Di ujung cerita, dihadirkan keteguhan hati Musa dalam menjalankan pesan ibunya untuk tidak memihak, karena tak ada pemenang dalam perang. Musa memilih menolong salah satu tentara Inggris yang bernama Wright. Tentara itu hanyut di aliran sungai dan membutuhkan pertolongan. Saat di tepi sungai, ia meminta tolong pada siapapun yang lewat dan secara kebetulan yang ada di sana adalah Musa. Sebelumnya, mereka pernah bertemu. Wright berniat membunuh Musa saat pertemuan sebelumnya dan kini Musa memiliki kesempatan besar untuk membalas dendam. Tapi Musa memilih untuk menolongnya dan membantunya.
Rupanya yang tersirat dari film Battle of Surabaya ini adalah pemutusan rantai balas dendam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Musa, jangan pernah berpihak kepada siapapun karena tak pernah ada kehangatan dalam balas dendam peperangan. Akhir kata, ungkapan dari Musa yang paling menyentil adalah Aku hanya ingin makan kenyang dan tidur nyenyak. Sesederhana itu kebahagiaan, tanpa perlu berdarah-darah menyambut peperangan. Bukankah kebahagiaan Musa yang ternyata sangat sederhana itu sudah bisa terwujud dengan saling berbagi, berpelukan, dan bergandeng tangan? Selamat Hari Pahlawan.