“Kalau bukan sekarang, mau sampai kapan lagi?”
Huzaefah menutup pintu. Lekas disingkapnya sejumput hordeng jendela, kepalanya menoleh kanan-kiri, memastikan tiada telinga nakal yang coba-coba mengintip. Bibir pucatnya menghela napas. Dan tak sengaja menelan bau pahit minyak zaitun yang mengerawang di segala penjuru rumahnya. Lehernya seketika tercekat.
“Kau memang tidak pernah niat untuk melakukannya!” Terkocoh-kocoh Junaidah balik badan, pandangannya tertuju pada keranjang olahraga milik Turman, anak sulungnya. Lantas ia mengambil tongkat bisbol yang terbujur kaku di sudut tembok. “Lakukan ini, atau tidak selamanya!” ancam Junaidah. Tangan kanannya meremas benda gempal tersebut.
Huzaefah memukul dadanya dengan tenang, membuang dahaknya ke dalam asbak. “Tentu bukan sekarang waktunya!” balasnya geram, namun tetap samar-samar. Kendati lehernya merasa agak sedikit ringan, Huzaefah memilih mencomot satu gelas air plastik di suguhan meja tamu lalu menenggaknya pelan-pelan.
Ia mendesah. “Perlu dua mingguan agar mantra baru itu bekerja,” jelasnya sesaat menyeka sisa bulir air di mulut. “Kita harus bersabar. Itu kuncinya. Selagi menunggu pun, aku berjanji akan secepatnya menemukan penyebab atau penangkalnya selama ini.”
Junaidah terdiam. Sorot matanya tampak berpikir sejenak. “Atau boleh jadi,” gumamnya ragu-ragu. “Tuk Sirin itu berbohong, Mas! Ia sebenarnya dukun gadungan!”
“Tidak mungkin!” Huzaefah tersedak, tapi bukan karena air yang diminumnya barusan. Ia justru tersedak akibat bebauan minyak zaitun itu kembali menyengat penciumannya. Lekas kedua lengannya menyeret Junaidah masuk ke dalam kamar. “Aku sudah tidak sanggup.” Perutnya menahan mual.
“Apalagi aku,” kata Junaidah, datar. Tongkat bisbol itu masih digenggamnya erat-erat.
“Aku mau pindah rumah,” pinta Huzaefah sembari perlahan menutup pintu kamar.
“Aku juga.”
Huzaefah mengangguk puas. “Yasudah, besok kita berangkat ke Pekalongan.”
“Ya,” jawab Junaidah kaku. Tongkat bisbol itu pun gegas dilambungkannya setinggi pinggang, lalu diarahkannya mengenai kaki Huzaefah tanpa berpikir panjang. “Bodoh! Bodoh! Bodoh!” umpatnya kesal. “Kita tidak akan pindah rumah sebelum tempat itu kita dapatkan!”
“Butuh waktu dua minggu!” Huzaifah terjinjit-jinjit menghindari pukulan istrinya. “Tak ada jalan alternatif yang lebih cepat!”
“Selalu ada!” selak Junaidah. Pukulannya sejenak terhenti. Tangannya dengan malas menyodorkan tongkat bisbol itu seperti tanda isyarat. Wajahnya merah padam. “Lakukan ini, atau tidak selamanya!”
Huzaefah menelan ludah. Sedang otak bagian depannya; lobus frontal yang bertugas untuk pemecahan masalah tidak pernah betul-betul berfungsi dalam situasi seperti begini. Mereka kehabisan ide. Keringatnya mengucur deras. Malam itu, Huzaefah tidak ada pilihan lain. Keduanya terpaksa merangkak-rangkak serupa maling di rumah sendiri. Tongkat bisbol itu perdana dimainkan di luar arena lapangan dan bersiap-siap mengambil posisi untuk memukul salah satu jenis bola yang terdapat pada tubuh manusia.
“Cepat!” bisik Junaidah mendorong bahu suaminya dari belakang. Huzaefah gelagapan. Dengan satu tarikan udara, tongkat itu mulai mengayun ke bawah.
Di saat yang sama, suara dentuman mendadak menggetarkan rumah mereka. Pasutri itu lari tunggang-langgang menuruni tangga. Junaidah mengunci pintu, tongkat bisbol itu dilemparkannya bodoh amat ke atas kasur. Ia menarik selimut, memejamkan mata, dan berharap malam lebih cepat dari biasanya.
Dada Huzaefah kembang-kempis tak beraturan. Mereka berdua ketakutan seperti bocah. Sesekali ia menyadari cahaya yang berkelebat di jendelanya. Huzaefah dan istrinya pura-pura tidak melihat. Namun, sekonyong-konyong mereka saling bersitatap, mencubit pangkal hidungnya serempak. Bau minyak zaitun itu berhasil menyelinap celah-celah pintu kamarnya dan menggerayangi mereka sampai pagi.
***
“Pohon itu penangkalnya,” ucap Huzaefah sambil membuka helm. “Tuk Sirin bilang, kalau bau minyak zaitun itu seandainya bisa kita singkirkan dan nenek tua itu kita mandikan pakai kembang tujuh rupa sekalipun. Percuma saja, pohon itu tetap menghalanginya.”
Junaidah berdeham kecewa. “Kita tidak sekali dua kali untuk berupaya menebangnya, Mas.” Bola matanya putar arah, menatap lurus dua pohon besar yang melintang meneduhi rumahnya. “Kau tahu kan bagaimana nasib gergaji yang kau pegang waktu itu?”
Huzaefah manggut-manggut. Lekas diparkirkan motornya asal di depan gerbang demi ikut membersamai istrinya terpekur bertekuk lutut di bangku teras. Mereka kini menyaksikan dua pohon itu dengan kompak. Suasana jadi lengang. Huzaefah teringat gergaji yang ia maksudkan untuk menebas habis pohon itu satu per satu, namun yang terjadi malah gergajinya meledak, membikin Huzaefah koma selama dua bulan. Syukur-syukur ia masih bisa hidup. Walau ledakan itu sukar diketahui faktornya kenapa. Yang pasti, rencana-rencana mereka seterusnya tentang penebangan dibatalkan. Mereka berdua pilih aman; tidak mau mati cepat.
Huzaefah mengeluarkan sepucuk kertas yang dibawanya sepulang dari tempat konsultasi Tuk Sirin. “Ini nomor kontaknya.” Ia merentangkan kertas itu lebar. “Bilangnya lagi, kalau semisal kita dalam bahaya, jangan segan-segan untuk menelepon.”
“Apakah ia akan datang?”
Huzaefah mengangkat bahu.
“Nek Sarmin itu panjang umur, Mas!” kata Junaidah tahu-tahu tanpa sebab. “Itu yang didoakan para warga.”
“Tak heran,” gumam Huzaefah. “Ia orang baik.”
“Ya.” Junaidah mengangguk setuju. “Hingga Harmijah meninggal pun, ia masih mengizinkanmu untuk menikah lagi dan menetap di sini.”
Huzaefah melirik kirinya, di sana terpampang jelas papan nama tempat pengajian yang pernah disambangi mertuanya itu. Dari dulu, Harmijah mengurusnya dengan rajin sehingga papan itu masih berdiri kokoh. Sampai Huzaefah ditawari menjabat sebagai Pak RT periode selanjutnya. Harmijah terkena kanker payudara.
“Dan ia sempat menjanjikan tempat ini untukku.” Huzaefah berlinang air mata. “Tapi tua bangka itu tetap enggan menandatangani surat itu!”
“Ia terlalu cinta pada pujian orang-orang, Mas. Ia takut kalau kau yang menggantikannya, pujian-pujian itu akan hilang. Dengan begitu, kau pasti berhasil terpilih di pemilu tahun kemarin.”
Huzaefah tahu sekarang namanya cukup tercemar. Konon, gosip yang beredar menyebutkan bahwa Huzaefah menyantet istrinya untuk mendapatkan tempat pengajian itu. Ia tidak menyangka jika gosip itu ternyata dipercayai mertuanya.
“Mungkin karena gosip itu juga,” tambah Huzaefah.
Mereka berdua lalu kembali sibuk menonton angin.
Huzaefah ingat betul semenjak kematian Harmijah, kedua pohon itu kerap menyala-nyala ketika ia berusaha membunuh Nek Sarmin keesokan harinya. Menurut warga, perempuan itu orang saleh. Hidupnya terus dilindungi Tuhan dan amal kebaikan. Meski tak jarang ia tidak peduli dengan semua omong kosong itu.
Selama tujuh tahun menikah, Huzaefah tidak tahu jenis apa pohon-pohon itu. Ia memang tidak pintar pelajaran alam semasa kuliahnya, namun yang aneh orang-orang sekitar juga tidak tahu. Bahkan dengan Tuk Sirin, sesaat telapak Huzaefah menunjukkan foto pohon tersebut.
“Pohon ini terkesan seperti pohon bidara.”
“Apa? Pohon bidara?” Huzaefah meminta mengulangi pernyataan Tuk Sirin. Jelas-jelas pohon bidara dan pohon itu terlihat berbeda; baik dari ukuran, warna, dan sebagainya.
“Eh, bukan begitu,” sergahnya. “Pohon ini terkesan seperti pohon Sidratul Muntaha. Saya merasakan aura-auranya. Begini-begini pun, saya pernah khatam kitab kuning. Memang sekali lagi mereka sangat berbeda. Tapi, entahlah, ada sesuatu hal yang membuat mereka sama.”
Mendengar itu, Huzaefah segera bertanya pada Pak Opling, ketua pengurus masjid. Tuturnya, pohon Sidratul Muntaha adalah pohon yang berada di langit ketujuh. Tempat Rasulullah menerima perintah salat lima waktu. Dedaunannya seperti telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana dari daerah Hajar. Jumlah daunnya pun sama banyak dengan jumlah mahkluk hidup di bumi. Oleh karena itu, setiap ada daun yang berguguran, malaikat Izrail tanggap dan melaksanakan tugasnya.
Ia jadi ingat Nek Sarmin pernah mengutarakan pendapatnya ketika ditanyai mengapa pohon itu tidak ditebang-tebang.
“Umur kita merona serupa guguran daun dikecup angin yang tak terelakkan, lantas menyatu dalam keindahan musim yang terus berubah.”
Mendengar itu, Huzaefah bingung bukan main. Meski demikian, ditilik-tiliknya lagi kemiripan kedua pohon itu dengan pohon Sidratul Muntaha. Pohon yang paling muda, memang tidak memiliki tanda persamaan. Pohon itu baru tumbuh sepeninggalnya Harmijah. Kendati pohon tertua, pohon yang sudah ada semenjak Harmijah lahir, ia memiliki serumpun daun yang masih melekat. Tubuhnya berkerut-kerutan. Ia tidak serimba yang dulu, daun-daunnya terus berguguran seiring waktu. Huzaefah berpikir, apakah dedaunan itu mengibaratkan sisa umur mertuanya? Apakah itu yang membuatnya sama dengan Sidratul Muntaha? Bagaimana kalau ia mencabut dahan itu sekarang?
Ah, rasanya tidak masuk logika. Lagipula, jika ia mengopek kulit pohon itu sedikit saja, bisa-bisa sudah terpental duluan ke kutub utara.
“Aku mau masuk,” kata Junaidah minta diri.
Huzaefah tidak menjawab. Matanya konsisten mengamati kedua pohon itu. Ada sebuah cahaya yang serentak bersinar dari keduanya. Cahaya itu melewar dan merangkap penglihatannya. Air mukanya berbinar. Seolah-olah ia terhipnotis. Sampai-sampai ia tidak mendengar gawainya sedari tadi terus berdering.
“Mas!” teriak istrinya dari dalam.
Huzaefah tetap tidak mendengar suara apapun. Selayaknya orang tuli. Mau suara orang-orang yang bergerombol datang ke rumahnya sambil membawa obor, ia hanya seperti berada di ruangan yang bersama cahaya itu. Sepi dan sunyi.
“Mendekatlah,” bisiknya lirih.
Junaidah tergopoh-gopoh melompati tembok pembatas di samping rumah dengan tubuh berdarah-darah meninggalkan Huzaefah. Tongkat bisbol itu masih digenggamnya erat-erat.
Sedang orang-orang melempari Huzaefah yang terdiam dengan bara api. Hidungnya mencium bau minyak zaitun. Ia juga melihat serumpun daun yang perlahan memutih jatuh dari pohon tertua itu. Seketika telinga kanannya berdenging tidak keruan.