Brain rot atau Brain nourishment? Memahami Konsumsi Konten Ringan dalam Masyarakat yang Kelelahan
Brain rot atau Brain nourishment? Memahami Konsumsi Konten Ringan dalam Masyarakat yang Kelelahan

Di era digital yang serba cepat, masyarakat modern dihadapkan pada tekanan produktivitas yang tinggi. Tuntutan untuk terus bekerja, belajar, dan berprestasi tanpa henti menciptakan kelelahan fisik dan mental. Di tengah kondisi tersebut, konten ringan seperti meme, video lucu, dan komedi receh di media sosial menjadi pelarian yang populer. Namun, konsumsi konten ringan ini sering kali dicap sebagai brain rot istilah yang merujuk pada hiburan dangkal yang dianggap merusak produktivitas dan daya pikir.

Stigma brain rot muncul dari pandangan bahwa hiburan receh tidak memiliki nilai intelektual dan cenderung membuang-buang waktu. Dalam berbagai diskusi, konten semacam ini sering dikaitkan dengan penurunan produktivitas, gangguan fokus, serta kemalasan intelektual. Namun, apakah benar konsumsi konten ringan hanya membawa dampak negatif?

Di sisi lain, ada pandangan yang menyebut konten ringan sebagai brain nourishment atau nutrisi otak. Istilah ini mengacu pada manfaat emosional dan psikologis yang diperoleh dari konsumsi konten receh, seperti perasaan rileks dan hiburan sederhana. Argumen ini didukung oleh komentar dari beberapa pengguna media sosial pada beberapa postingan dari akun @_xortin seperti @Yan_ni.ck yang menyebut konten receh sebagai brain nourishment dan @isameerrajora yang menganggap konten tersebut membantu mereka melepas lelah.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan menarik: Apakah brain rot hanya destruktif, atau justru bisa menjadi sarana healing dalam masyarakat yang dilanda kelelahan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggali lebih dalam tentang dampak konten ringan dan bagaimana penggunaannya memengaruhi kesehatan mental serta produktivitas. Dengan mengintegrasikan teori Burnout Society oleh Byung-Chul Han, esai ini akan mengkaji ulang stigma brain rot dan mengusulkan perspektif yang lebih seimbang tentang konsumsi konten digital.

- Poster Iklan -

Istilah brain rot muncul dari kekhawatiran bahwa hiburan instan di media sosial mendorong kebiasaan konsumsi konten yang dangkal dan tidak bermakna. Meme, video lucu, dan komedi receh sering dianggap mengalihkan perhatian dari hal-hal yang lebih produktif, seperti belajar atau bekerja. Dalam pandangan ini, konten ringan diasosiasikan dengan penurunan kualitas hidup karena mengurangi fokus, kreativitas, dan daya pikir kritis.

Selain itu, adanya fenomena doomscrolling, aktivitas terus-menerus menggulir layar media sosial tanpa tujuan jelas, memperkuat stigma brain rot. Konsumsi berlebihan terhadap konten receh dianggap sebagai bentuk pelarian yang tidak sehat dari kenyataan. Banyak yang berpendapat bahwa hiburan semacam ini hanya memberikan kesenangan sementara tanpa nilai jangka panjang.

Namun, pandangan ini memiliki kelemahan mendasar. Pertama, generalisasi bahwa semua konten ringan berdampak negatif mengabaikan konteks konsumsi individu. Tidak semua orang menghabiskan waktu secara berlebihan untuk menikmati hiburan ringan. Bagi sebagian orang, konten receh adalah cara untuk melepas penat setelah menjalani hari yang melelahkan. Kedua, stigma brain rot seringkali didasarkan pada anggapan bahwa semua bentuk hiburan harus memiliki nilai edukatif atau intelektual, padahal hiburan juga memiliki fungsi emosional yang penting dalam menjaga kesehatan mental.

Untuk memahami mengapa konten ringan bisa dianggap sebagai brain nourishment, kita perlu melihat fenomena ini melalui perspektif Burnout Society oleh Byung-Chul Han. Han menggambarkan masyarakat modern sebagai achievement society (masyarakat prestasi), di mana individu terus-menerus dituntut untuk produktif, sukses, dan berprestasi tanpa batas. Dalam masyarakat ini, orang bukan lagi “subjek patuh” seperti pada disciplinary society, tetapi “subjek prestasi” yang mengeksploitasi diri mereka sendiri untuk mencapai lebih banyak.

Han menyebut bahwa tekanan untuk terus berprestasi menciptakan kelelahan kronis atau psychic infarction, kondisi di mana individu merasa kehilangan energi emosional, mental, dan fisik (Han, 2015). Dalam masyarakat yang dilanda kelelahan semacam ini, muncul kebutuhan akan not-doing (tidak melakukan apa-apa) sebagai bentuk jeda dari ekspektasi produktivitas. Namun, budaya prestasi menganggap waktu luang sebagai sesuatu yang tidak produktif dan sia-sia.

Di sinilah konten ringan memainkan perannya. Alih-alih menjadi brain rot yang merusak, konten semacam ini dapat berfungsi sebagai mekanisme pelepasan dari tekanan hidup. Meme dan video lucu memberikan hiburan instan yang membantu individu merasa rileks tanpa perlu berpikir keras. Dalam masyarakat yang penuh ekspektasi, konten receh memberikan ruang aman untuk beristirahat sejenak tanpa rasa bersalah.

Komentar seperti “bro is watching brain nourishment” dari pengguna Instagram @Yan_ni.ck dan “thank for da brain nourishment” dari @isameerrajora pada postingan dari akun @_xortin menunjukkan sudut pandang yang berbeda tentang konten ringan. Bagi mereka, hiburan ringan tidak hanya sekadar tawa dangkal, tetapi juga sarana untuk meredakan stres dan kecemasan.

Ini sejalan dengan konsep emotional regulation dalam psikologi, di mana individu menggunakan strategi tertentu untuk mengelola emosi negatif. Menonton video lucu atau melihat meme dapat membantu meredakan ketegangan emosional dengan cara yang sederhana namun efektif. Dalam jangka panjang, konsumsi konten ringan yang terkontrol dapat menjadi bagian dari self-care yang membantu individu menjaga kesehatan mental.

Meskipun konten ringan memiliki potensi sebagai brain nourishment, konsumsi berlebihan tetap membawa risiko. Jean Twenge dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang tidak terkendali dapat menyebabkan gangguan perhatian, kecemasan, dan isolasi sosial. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan dalam mengonsumsi konten digital.

Beberapa strategi yang dapat diterapkan meliputi:

  1. Menentukan batas waktu konsumsi: Mengatur waktu khusus untuk berselancar di media sosial agar tidak mengganggu produktivitas utama.
  2. Memilih konten berkualitas: Fokus pada konten yang benar-benar memberikan hiburan tanpa membuat ketergantungan.
  3. Melibatkan aktivitas offline: Mengimbangi konsumsi digital dengan kegiatan fisik seperti olahraga atau meditasi untuk menjaga keseimbangan mental.

Fenomena brain rot memunculkan diskusi yang kompleks tentang dampak konten ringan pada kehidupan modern. Dalam Burnout Society, Han menyoroti bahwa masyarakat prestasi mengalami krisis akibat “kelebihan positif” ekses motivasi dan ambisi yang berujung pada kelelahan. Dalam konteks ini, hiburan ringan bisa menjadi cara untuk melawan tekanan internal tersebut.

Alih-alih mengecam brain rot secara sepihak, kita bisa melihatnya sebagai cara untuk menjaga kewarasan di tengah dunia yang penuh ekspektasi. Dengan pendekatan yang bijak, konten ringan bisa menjadi brain nourishment yang membantu kita menemukan keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental.

Sebagai masyarakat yang terus-menerus mengejar prestasi, penting untuk memberi diri sendiri izin untuk beristirahat tanpa rasa bersalah.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here