Pendidikan berperan penting mengasah potensi bukan justru membandingkan dan mengucilkan. Sebab tiap-tiap orang punya keahlian yang berbeda. Laiknya seekor ikan pandai berenang sejak pertama kali dilahirkan ke dunia, jua burung mahir terbang mengepakkan sayapnya membayangi seluruh semesta dari udara. Di balik kepandaian yang dipuja-puja itu, telah kita ketahui bersama bahwa mereka berdua mustahil bertukar peran. Akan menjadi makhluk terbodoh di muka bumi ketika ikan diuji terbang, begitu juga burung sudah pasti hanyut jika diuji berenang ke dasar laut. Mungkin bisa, tetapi tak umum terjadi dan bahkan sangat sulit terjadi. Mengapa? Karena mereka ahli di bidangnya sendiri.
Begitupun manusia. Maka, masih pantaskah kita menuntut seorang siswa menguasai berbagai pelajaran dalam kapasitas otaknya? Padahal guru yang berperan sebagai insan cendekia saja berkuasa pada satu bidangnya masing-masing.
Berbicara perihal ilmu dan dunia pendidikan yang tiada batasnya, banyak sekali masalah yang belum terpecahkan. Tak terkecuali perihal kualitas peserta didik dan kualitas lulusannya. Dilansir dari laman republika.co Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan, kualitas pendidikan Indonesia belum membanggakan berdasarkan indikator mutu pendidikan yang disepakati secara internasional. Dilihat dari tujuan bernegara dalam konstitusi pun yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, pencapaian pendidikan Tanah Air masih jauh panggang dari api. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Semua berawal dari sistem pendidikan di Indonesia. Banyak sekali ditemukan kejanggalan tentang sistem pendidikan di Indonesia salah satunya perihal nilai dan kejujuran. Mindset pelajar Indonesia masih salah kaprah tentang nilai. Kebanyakan dari mereka menganggap nilai adalah segalanya, padahal yang segalanya adalah ilmu. Apresiasi dari guru dan orangtua adalah segalanya, padahal yang segalanya adalah seberapa besar usaha yang mereka tempuh untuk menimba ilmu itu.
“Ketika usahaku tak pernah dihargai hanya karena hasil yang tak sesuai, lebih baik kuambil jalan pintas untuk sekadar mendapatkan tuai!”
Tak sedikit dari mereka yang menghalalkan segala cara demi nilai itu, demi tidak dibanding-bandingkan dengan teman-teman sebayanya yang pandai. Menyontek salah satunya, budaya menyontek sudah ada sejak zaman dulu dan berkembang hingga kini. Berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan contekan, baik dalam pelajaran sehari-hari misalnya ulangan harian, tugas harian, UTS, UAS, bahkan ujian sekalipun.
Usut punya usut mereka mengaku melakukan semua itu di setiap mata pelajaran yang tidak disukai, tidak dikuasai, dan tidak diminati, mereka dituntut menguasai semua bidang, pun tak dihargai ketika tidak mampu mencapai kesempurnaan. Akibat sanjungan dan hinaan itu, seluruh murid dengan keahliannya masing-masing berlomba-lomba mencari perhatian guru, orangtua, teman-teman dan semua orang yang menghinanya demi mendapat sanjungan yang diinginkan. Sayangnya, bukan usaha matang-matang yang dilakukan, melainkan usaha berbuat curang.
Semua selalu berjalan sama, tak pernah bisa dituntut menguasai semuanya. Lantas mengapa mereka tidak berusaha semampunya saja?
“Aku dulu salah satu siswa yang jujur, dulu aku sempat berpikir mengapa aku harus menyontek? Selain itu budaya yang tak pantas dilestarikan, menyontek juga dapat menumpulkan otakku yang sudah tak tajam lagi ini.”
“Namun, sekarang aku berubah pikiran sejak usahaku yang sedalam palung mariana tak pernah dianggap hanya karena hasilnya sedangkal aquarium!”
Kamis, 16 Oktober 2022. Begitulah kira-kira ujaran salah seorang siswa SMP yang menyukai dunia olahraga dan kesenian dibanding dunia pendidikan pada umumnya, Vio namanya. Ketika ditemui di kediamannya tak jauh dari lokasinya mengenyam pendidikan. Ia bercerita panjang lebar, baginya pelajaran umum seperti matematika, ipa, ips, bahasa dan sebagainya sangat membosankan. Bukan karena ia membenci, namun tak menguasai.
Awalnya, ia adalah pelajar yang jujur dan pekerja keras. Namun, karena usahanya tak pernah dihargai karena hasil tak sesuai. Ia mengubah karakternya, ia mengikuti budaya negatif di sekitarnya. Ia memutuskan mengikutinya karena justru mereka yang menyontek yang dihargai, diapresiasi, disanjung dan dipuja. Justru ia yang diadili karena nilainya dibawah rata-rata.
Begitulah fakta yang cukup menyedihkan di negeri ini. Tentang para orangtua yang menuntut dengan dalih harapan dan do’a. Tentang mereka yang berharap balas budi berkedok bakti. Tidak ada yang salah dengan harapan orangtua agar anaknya sukses, berguna bagi nusa bangsa agama, cerdas nan membanggakan. Yang salah adalah ekspektasi dan tuntutan. Begitu jugalah sistem pendidikan di Indonesia dari sudut pandang siswa. Siswa yang lelah dituntut sempurna, siswa yang lelah menjadi biasa saja, siswa yang butuh penghargaan walau hanya secuil kata menjadi penyebab utama tindak contek menyontek ini.
Fenomena tertinggalnya kualitas pendidikan dan makna kejujuran di negeri ini akan terus berlanjut ketika tak ada seorangpun yang bertindak tegas terkait kasus yang tersebut di atas. Satu pertanyaan yang sering timbul dalam benak. Mengapa guru-guru memainkan ponsel mereka ketika mengawas ujian, menutup mata dan telinga terhadap mereka yang terang-terangan menyontek, memegang ponsel di bawah meja dan mencari jawaban di google yang serba bisa? Di mana fungsi guru sebagai manusia teladan jika seperti itu? Bukankah kejujuran mendapatkan peran yang cukup bagus di dalam tujuan pendidikan? Tapi mengapa justru nilai siswa yang diutamakan, bukannya ilmu dan usaha yang lebih penting untuk dijadikan maksimal?
Usut punya usut, muncul salah satu pengakuan tragis dari salah seorang guru yang terkenal bar-bar di sekolahnya. Mereka mengaku semua itu demi akreditasi dan nama sekolah yang harus bertahan baik. Sungguh tak bisa dipercaya! Pantas saja pendidikan di Indonesia susah berkembang.
Kembali liputan ini berlanjut Jumat, 25 Oktober 2022 kali ini membahas tentang pengajar bukan lagi pelajar. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul di atas sebenarnya tak bisa sepenuhnya kita menyalahkan guru. Terutama guru honorer yang digaji semampunya namun dituntut semaunya. Semua orangtua dan yang bukan guru selalu mengharapkan anak-anak mereka dididik dengan baik, menarik, dijadikan cerdas dengan cepat dan tak ada lagi siswa nakal setelah mereka memasuki gerbang pendidikan. Padahal kenyataannya hal itu sangat sulit terjadi. Bagaimana tidak? Dari ratusan siswa berbagai latar belakang, ada yang dari rumah tak pernah mendapat kasih sayang layak dari orangtuanya, ada yang tak pernah dididik sejak dini dan hanya mengandalkan didikan guru, ada yang terlalu memanjakan, bahkan ada yang terlalu keras menuntut dan menyalahkan tanpa memberi apresiasi. Setelah semua terjadi, kesalahan atas masa depan anak yang gagal dilimpahkan pada pengajar yang memegang peran tak lebih dari tujuh jam sehari, tak genap tujuh hari dalam seminggu.
“Bagaimana bisa mencerdaskan bangsa, kalau pertanyaan mau makan apa besok saja masih menguasai otaknya?”
Semua tak salah, semua tak pantas disalahkan karena semua ada pada posisi bersalahnya masing-masing. Yang salah adalah ego yang hadir di setiap hati, ego yang selalu menuntut kesempurnaan orang lain bukan diri sendiri. Sudahlah, semoga akar dari masalah ini bisa sembuh sehingga batang, daun, buah, dan bunganya pun ikut pulih.