Di suatu senja pada pekan ketiga di bulan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke tujuh puluh delapan, kami sekeluarga melepaskan penat keseharian dengan berjalan-jalan ke sebuah toko buku yang cukup terkenal di kota Malang. Ketika memasuki gerai toko buku yang bukunya ditata di rak dan di kotak-kotak seperti alur labirin agar para pengunjung terus berputar di area buku. Setiap rak dan kotaknya diberi topik-topik yang berbeda.
Saat berkeliling mencari sebuah buku yang saya anggap paling baru, mata saya tertumbuk kepada sebuah sampul buku yang sangat mencolok warna, desain, dan pilihan jenis hurufnya. Setelah dilihat lebih dekat ternyata penulisnya adalah seorang tokoh politik yang cukup tenar di Indonesia. Bukunya saya bolak-balik dan judul serta sinopsis dan sebagian isinya saya baca. Kebetulan plastik yang membungkus buku tersebut memang telah lepas. Entah yang melepas apakah memang dari petugas tokonya atau sengaja dilepas oleh para calon pembeli yang tidak jadi membeli buku tersebut.
Setelah secara seksama saya melihat bukunya kemudian saya memutuskan untuk membeli meskipun isinya saya kurang menarik. Ini karena saya “terganggu” oleh desain sampulnya yang memilih warna dan karakter huruf yang cukup menarik sehingga memengaruhi pikiran rasional saya bahwa buku ini perlu saya miliki karena sampulnya cukup artisitik meski sebagian isinya sudah banyak saya ketahui.
Sebuah buku sebenarnya seperti manusia, yaitu dilahirkan jika ia adalah manusia. Dalam konteks sebuah buku, ia diterbitkan. Kemudian kalau manusia, setelah dilahirkan ia akan menjalani kehidupan. Demikian juga dengan buku, isinya yang berisi lembaran-lembaran kertas yang dibubuhi huruf-huruf itu ibaratnya kehidupan manusia yang dapat dibaca. Dan pembacaan terakhir adalah membaca penutup di isi dan kemudian membaca sinopsis buku yang jamaknya ada di sampul belakang. Itulah buku, yang coba saya personifikasikan dengan kehidupan manusia sejak dilahirkan hingga beranjak menua.
Orang dapat memberikan diskripsi apakah isi bukunya baik, sedang-sedang saja, atau bahkan kurang baik atas isi buku tersebut. Dan saat kita memberikan semacam ulasan, kita diwajibkan untuk membacanya terlebih dahulu.
Kini, keberadaan buku sedikit mengalami perubahan fungsi bagi kalangan masyarakat urban dan sebagian masyarakat ekonomi menengah yang memandang sebuah buku bukan semata berisi informasi dan ilmu pengetahuan. Buku telah mengalami perubahan mengikuti perubahan sejarah sosial manusia. Bagi masyarakat menengah ekonomi baru buku telah melenting menjadi indikator prestise sosial baru. Bahkan tak jarang kelompok keluarga ini meletakkan buku di perpustakaan mini di dalam rumah yang letaknya bisa ditaruh sebagai penyekat raung keluarga atau sebagai penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga.
Ini dilakukan bukan semata-mata urusan fungsional ruangan atau hal lainnya. Kemungkinan besar bahwa si pemilik rumah secara sosial ingin menunjukkan kepada semua orang yang berkunjung ke rumahnya bahwa mereka bisa dianggap mempunyai kepedulian dan kesadaran atas ilmu pengetahuan. Inilah pesan yang sebenarnya. Hal ini penting untuk menunjukkan eksistensi diri keluarga.
Lalu, muncul pertanyaan apakah tindakan ini salah? Tentu sama sekali tidak salah. Bahkan hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang normal saja bukan sesuatu yang abnormal. Ini terjadi karena ada perubahan cara pandang masyarakat tentang keberadaan sebuah buku di dalam sebuah keluarga.
Pada masa lalu buku selalu identik dengan orang yang bergelut dengan dunia pendidikan saja. Namun sekarang telah bergeser dan berubah menjadi semacam simbol status sosial baru. Dan ini ya… sah-sah saja. Tidak ada yang “aneh”. Semuanya normal saja. Itulah perubahan perilaku yang terjadi dalam masyarakat urban.
Setelah sekian lama berkeliling di toko buku tadi, saya kemudian teringat dengan pemikir dan penganjur gagasan-gagasan pembebasan dan kemerdekaan di Amerika Serikat yaitu Leonard Read dengan esainya yang berjudul Aku Pensil. Andaikata judul dari Leonard Read ini saya adaptasi menjadi sebuah judul tulisan Aku Buku, kira-kira perumpamaan saya atas sebuah buku ini menemukan momentumnya, yaitu buku adalah sebuah perekaman gagasan-gagasan orang atas apa yang telah ia pikirkan. Itulah kekuatan buku. Tulisan yang tertuang dalam sebuah buku akan terus abadi melampaui usia penulisnya.