Perkembangan busana hingga saat ini telah menjadi salah satu penanda dari perkembangan dan perubahan peradaban bangsa-bangsa di dunia ini. Memang, jika diartikan secara sederhana, busana dapat diartikan sebagai pakaian yang dapat menutup aurat.
Pada tahun 5000 SM, dunia diduga menggunakan kain yang bahannya dari serat alami. Peradaban China kuno yang lebih dikenal dengan sebutan Tiongkok telah mengolah ulat sutra menjadi kain sutra. Demikian juga dengan Mesir dan India sama-sama mengembangkan dan mengenalkan busana yang berbahan dari Jerami tumbuh-tumbuhan dan domba.
Namun saat ini di negeri yang konon dicita-citakan akan menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, negeri yang diidamkan akan terwujudnya baldatun toyibatun warabbun ghafur, urusan busana telah bergeser sedemikian rupa, bahkan telah menjadi sebuah simbol dari status sosial dan jabatan sosial-politik di negeri yang juga disebut negeri khatulistiwa. Pada dasarnya perkembangan busana mengikuti perkembangan peradaban suatu masyarakat, mulai dari motif, bahan, tata cara pembuatan, juga fungsinya.
Dunia modern telah mengubah makna dan fungsi busana yang bukan hanya sebatas pakaian untuk melindungi kulit atau tubuh manusia, tapi telah berubah menjadi sebuah tren mode yang bahkan telah menjelma sedemikian rupa menjadi simbol gengsi seseorang yang memakainya.
Bagi seorang rakyat jelata, sebuah busana tetaplah menjadi barang mewah yang hanya bisa dibeli atau dibuat menjelang hari perayaan agama atau hari-hari penting lainnya. Sedangkan bagi kelas menengah ekonomi, busana menjadi tren mode, baik yang mengerti tentang busana maupun yang hanya sebatas karena punya uang dan mampu membeli. Asal terlihat mewah dan mahal. Orang yang tidak mengetahui tentang taste desain maupun mode. Sedangkan bagi para pesohor seperti artis, busana mungkin diperlukan untuk menunjang aktifitasnya yang dapat menunjukkan kepada penggemarnya bahwa busana yang dikenakannya merupakan busana yang sedang tren atau minimal menjadi penanda bahwa ia telah mengikuti tren yang sedang berkembang.
Persoalannya akan menjadi lain jika urusan busana yang dianggap tren, mewah, dan mahal dikenakan oleh para pejabat publik. Di media sosial telah banyak yang bergunjing tentang busana atau pakaian yang dibeli dan dipakai oleh para pejabat publik, baik di daerah maupun yang di pemerintahan pusat. Bahwa busananya terkesan norak meskipun produksi dari jenama yang tersohor dengan harga yang tidak murah, alias mahal.
Jika para pejabat publik mengenakan busana yang mewah dan mahal apakah kemudian wibawanya akan meningkat? Atau pelayanannnya kepada masyarakat akan menjadi lebih baik? Entahlah…
Mungkin mereka para pejabat publik yang mempunyai selera membeli dan menggunakan busana mewah dan mahal, mereka menjadi tidak percaya diri saat melayani masyarakat dengan barang murah. Ini bisa saja ya atau bisa saja tidak.
Padahal sejatinya fungsi busana adalah sebagai pelindung atau juga dapat sebagai alat penujang dalam hubungan sosial dan komunikasi. Dan tentu yang tak kalah pentingnya adalah untuk memperindah diri agar enak dilihat entah itu bahannya mahal ataupun murah. Tidak akan ada yang bertanya.
Selain fungsinya seperti di atas, ada fungsi yang lain yang dapat memperkuat estetika busana yaitu dari aspek sosial seperti norma adat maupun agama. Busana adalah bagian yang tak terpisahkan dari norma kesopanan yang menutupi aurat.
Dunia semakin modern, perubahan kehidupan sosial masyarakat semakin cepat, ada yang dapat dipahami dengan baik dan tidak sedikit masyarakat yang mengalami kekagetan manakala melihat pejabat publik, apakah dia sebagai politisi, anggota parlemen, sebagai walikota atau bupati maupun gubernur atau mungkin seorang menteri, menggunakan baju yang menakjubkan dan harganya sangat mahal. Mungkin harganya ada yang seharga sekali gaji karyawan rendahan. Kini, busana telah menjelma menjadi barang mewah dan menjadi simbol status sosial yang memakainya. Padahal di masa lalu tujuan dari penggunaan busana adalah untuk melindungi badan manusia.