Ah. Segar. Satu tegukan pertama setelah sehari penuh menahan lapar dan dahaga. Bahkan, seteguk air putih pun terasa sangat nikmat di penjuru cerita bulan puasa.
“Sungguh, hal semacam ini yang disebut surga dunia,” celetuk adik saya.
Tentu tak ada yang menanggapi karena yang lain sibuk mengisi perut masing-masing. Saya tak bisa membayangkan, jika saya masih menjadi anak rantau, seperti ketika tahun 2019 silam. Ya, meskipun jarak rumah dan kampus dapat ditempuh dalam waktu dua jam.
Lagu ambiguous BTOB yang sengaja saya putar sebagai nada notifikasi pesan terus berbunyi dari ponsel saya. Saya langsung melihat ada apakah gerangan ponsel yang biasanya selalu sepi ini berbunyi berkali-kali. Oh, rupanya serentetan ucapan “selamat berbuka puasa” dari grup SMA.
Fenomena ini patut diabadikan, mengingat hanya terjadi sekali dalam setahun. Sihir bulan Ramadhan memang selalu ampuh membuat grup yang selalu bisu, lengang bagai tak berpenghuni menjadi ramai dalam sekejap. Mendadak banyak orang menjadi pemerhati aktivitas dan kondisi kesehatan satu sama lain.
Saya tentu hanya men-scroll pesan-pesan yang masuk tersebut, sebelum mata saya menangkap sebuah pesan panjang dari teman satu kampus yang menarik perhatian– berhasil membuat saya merinding, dan menghela napas.
“Hai gais, buat kalian yang lagi jalanin puasa/ enggak, intinya pas beli makanan harus hati-hati ya, kalau dibilang teliti si gak bisa juga ya karena kita juga gak tahu masaknya gimana. Lebih aman si emang masak sendiri, tapi kalau yang terpaksa beli mending beli di langganan aja deh.
Aku sedikit ceritanya ya, kemarin aku beli makanan buat buka puasa di jalan Terusan Surabaya. Tiba-tiba pagi tadi sampai sekarang keluar masuk toilet, awalnya sakit perut, terus kayak panas gitu. Terus yaudahlah tiap menit masuk toilet lagi. Bahkan teman-temanku juga mengalami hal serupa, yang lebih parah bisa sampai diopname.”
“Astaga! Jangan-jangan …,” suara lantang saya membuat lima pasang bola mata tertuju pada saya.
“Ada apa?” dahi ibu berkerut, mengisyaratkan kekhawatiran sambil bertanya.
Singkat, saya bercerita mengenai pesan dari obrolan grup dan kejadian yang saya alami dua hari lalu, tepatnya hari senin. Kala itu, saya melihat jam pada ponsel saya, pukul 14.10 WIB. Matahari terlalu terik jika dibandingkan dengan hari-hari biasanya yang selalu mendung dan diguyur hujan.
Tepat saat itu, ojek yang saya tumpangi melintasi kampus saya. Di sepanjang jalan Terusan Surabaya berjejer rapi stan-stan penjual makanan, minuman, pakaian, hingga barang pernak-pernik kecil. Tentu jiwa saya sebagai perempuan meronta-ronta. Dengan cepat saya meminta bapak sopir untuk menghentikan laju motor.
“Pak, bisa berhenti sebentar?”
“Oh, bisa, Mbak. Mau beli takjil, ya, Mbak?”
“Hehe, iya, Pak,”
Di depan saya, tertata berbagai jenis hidangan, mulai dari jajanan pasar, seperti sawut, klepon, gethuk lindri, lemper; aneka gorengan; minuman buah; dan lauk-pauk. Di kanan-kiri saya ramai ibu, bapak, dan muda-mudi yang sepertinya anak rantauan, sedang sibuk melihat dan memilih makanan.
Karena terburu-buru, saya pun hanya membeli dua buah roti. Lumayan untuk takjil saat berbuka, pikir saya waktu itu. Cepat saja dan kembali menaiki motor menuju stasiun. Kembali ke topik. Apa yang dialami teman saya sama persis dengan apa yang saya alami di hari senin, setelah saya memakan dua potong roti sebagai takjil berbuka.
Data dari WHO yang terdapat di laman resmi instagram BPOM, menyebutkan bahwa terdapat 600 juta orang per tahun sakit setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi, dan 40% di antaranya dialami balita, dengan angka kematian 125.000 balita per tahun. Populasi yang rawan terserang penyakit akibat pangan adalah balita, ibu hamil, dan lansia. Gejala yang disebabkan biasanya muntah, diare, sakit perut (sesuai dengan jenis penyakit).
Satu yang ada di pikiran saya saat ini, bahwa kesehatan sangatlah penting. Apalagi saat-saat puasa seperti ini, lebih miris jika yang mengalami adalah golongan orang yang disebutkan WHO tersebut di atas.
Tidak bisa disalahkan, memang mata selalu tergoda dengan apa-apa saja terlihat cantik dan menarik. Namun tak jarang pula, apa yang menggoda mata, justru itulah yang membawa petaka bagi tubuh kita; tentu yang sedang saya bicarakan adalah makanan. Kandungan apa yang terdapat dalam makanan; bagaimana cara mengolahnya; apakah makanan tersebut terkontaminasi polusi jalanan, polutan kimia, atau tidak; serta apakah membawa dampak positif ataukah negatif bagi tubuh kita.
Kita tidak pernah tahu hal tersebut. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah benar-benar selektif dalam membeli makanan, atau malahan sebisa mungkin mengolahnya sendiri karena yang tahu kebutuhan dan kondisi tubuh kita, ya diri kita sendiri.
Akhirnya tulisan ini selesai bersamaan dengan berhentinya ceramah ibu saya yang berjudul, “Salah Sendiri Tidak Hati-Hati Memilih Makanan”.
Intan Anugrah Bathari