semilir.co

“Bu, kenapa Ibu bisa menikah dengan Bapak?” Sudah sejak lama aku ingin menanyakan hal itu pada Ibu, “Memang apa istimewanya Bapak?”

Ibu menghentikan tangannya yang sedang merajut tas untuk dijual, “Kenapa tiba-tiba Fa tanya itu?”

“Ya, Fa hanya heran. Bapak ‘kan nggak punya apa-apa, tapi kok Ibu mau menikah dengan Bapak?”

“Menurut Fa, Ibu menikah dengan Bapak karena apa?” Ibu malah bertanya balik padaku.

“Apa ya? Karena cinta?”

“Cinta? Memangnya cinta itu apa?” Ibu bertanya lagi. Cinta? Aku belum pernah memikirkan itu sebelumnya meski usiaku sudah tujuh belas tahun sekarang.

“Hah? Apa ya? Fa sering lihat di sekolah, banyak teman Fa yang katanya mencintai perempuan lalu dia ungkapkan cinta ke perempuan itu, dan mereka pacaran. Apa cinta seperti itu, Bu?”

Ibu tersenyum padaku, “Fa, makna cinta untuk tiap orang itu berbeda, kita tidak bisa mengartikan cinta hanya dari satu hal, itu terlalu sempit. Tapi buat Ibu, cinta itu memberi.”

“Cinta itu memberi? Memangnya Bapak pernah memberikan apa pada Ibu sampai Ibu mau menikah dengan Bapak?”

Ibu tersenyum lagi padaku, kali ini hanya tersenyum tanpa menjawab apapun.

***

Aku masih diam, tanganku masih berada di atas tuts laptop. Belum ada satu huruf pun yang aku ketik. Sudah tiga bulan sejak kampus ditutup karena pandemi, semua mahasiswa diminta pulang ke rumahnya, perkuliahan dilakukan secara daring. Tapi sejak sebulan lalu aku sudah libur dan kini aku menganggur. Lagipula apa yang bisa aku lakukan sekarang?

“Fa.” tiba-tiba Bapak masuk ke kamarku, “Bapak pinjam pulpen sebentar.”

“Eh, Bapak. Ini, Pak.” Kuberikan pulpen yang berada di sampingku.

“Lagi apa, Fa? Tugas?”

“Bukan, Pak. ‘Kan kuliah libur, masa ada tugas.”

“Lah, terus?” Bapak menulis sesuatu di kertas yang ia bawa.

“Fa juga nggak tau lagi apa, tadinya sih mau menulis tapi bingung menulis apa.”

“Hahaha, jadi pengangguran ya sekarang.” Bapak tertawa melihatku, tapi ia benar, aku pengangguran sekarang. “Mending kamu ikut komunitas anaknya Pak Mail.”

“Komunitas anak Pak Mail? ‘Kan Fa anak Bapak bukan anak Pak Mail.”

“Eh, bukan itu maksudnya. Komunitas yang dibuat sama anaknya Pak Mail, aduh apa ya namanya, Komunitas Kita Berlayar. Isinya banyak mahasiswa. Sana ikut, daripada duduk depanlaptop sampai laptopnya malu dilihatin terus hahaha.” Lelucon Bapak tidak pernah berubah, masih saja receh.

“Daftarnya gimana, Pak?”

“Gimana, ya? Coba cek instagramnya, Bapak juga nggak tau.”

Aku mengikuti saran Bapak, aku cari instagram Komunitas Kita Berlayar, dapat. Ternyata komunitas ini sudah berjalan selama dua tahun, kegiatannya bermacam-macam. Menyambangi panti asuhan, sampai membuat sekolah untuk anak jalanan. Aku message komunitas ini dan dibalas, katanya kalau mau daftar cukup mengisi form yang disediakan dan mengikuti wawancara singkat.

Wawancara dilakukan di kantor sekretariat mereka yang merupakan sebuah kontrakan dengan satu kamar, dekat dengan rumah Pak Mail. Aku datang ke sana sekitar pukul satu siang. Ada beberapa pemuda lain yang sedang mengobrol di teras, kutebak mereka adalah pengurus komunitas. Aku dipersilakan masuk dan langsung menemui Bang Adi, sekretaris komunitas ini. Ia menanyakan hal-hal dasar seperti alasanku ikut komunitas, kegiatanku sehari-hari, motto hidup, dan pertanyaan-pertanyaan dasar lainnya.

Sepekan setelahnya, aku resmi menjadi bagian dari komunitas ini. Ketua komunitas ini adalah anak Pak Mail yang waktu itu pernah Bapak sebutkan, namanya Azhar, usianya lima tahun di atasku. Dari cerita Bapak, Bang Azhar ini kuliah di salah satu kampus negeri di kota ini dan baru lulus setelah enam tahun masa studi. Kata Bapak, ia terlalu menikmati kegiatan di luar kampus sampai lupa mengerjakan skripsi.

Komunitas ini sudah berdiri sejak 2018. Dari informasi yang kudapat, awalnya komunitas ini bergerak untuk menyantuni anak-anak jalanan, tetapi karena adanya pandemi yang terjadi sejak 2019, komunitas ini berencana untuk memperluas jangkauan mereka ke orang-orang yang terdampak pandemi. Karena itu, mereka membuka kuota untuk volunteer baru.

Dalam rapat perdanaku, aku dan tujuh pemuda lain diminta untuk memperkenalkan diri. Rapat kali ini, Bang Azhar -ketua komunitas, membahas program baru, yaitu berbagi kepada masyarakat terdampak pandemi.

“Kita tau ‘kan ya, di masa pandemi ini banyak orang yang pendapatannya menurun bahkan kehilangan pekerjaannya. Jadi, gue mau buat program berbagai buat mereka yang terdampak pandemi ini. Dananya kita cari dengan galang donasi ke warga sekitar dan lewat instagram.” jelas Bang Azhar.

Seperti yang dikatakan Bang Azhar, kami menggalang donasi dengan dua cara. Aku ikut keliling bersama beberapa pemuda lain, termasuk Bang Azhar untuk mendokumentasikan kegiatan ini. Selama kurang lebih tiga pekan dana yang terkumpul cukup untuk menjalankan program ini. Kami membuat nasi kotak dan membeli sembako untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Beberapa rumah warga yang kurang mampu kami datangi, kami juga memberikannya pada tukang becak, ojek online, anak jalanan, dan pemulung yang sering datang ke sekitar ini.

Bapak tertawa melihatku yang sudah tidak menjadi pengangguran lagi, Ibu lagi-lagi hanya tersenyum.

Program ini bersifat continue, galang dana masih terus dijalankan seiring dengan kami yang terus memberi.

“Fa.Gimana kerjaan lo? Beres?” Bang Azhar menepuk pundakku.

Aku sedikit terkejut, “Hasil dokumentasinya tinggal gue pindahin kok, Bang.”

“Hmm, oke. Oh iya, by the way, lo kuliah di Yogya pakai beasiswa?”

“Iya, Bang, gue anak Bidikmisi.”

“Oh, gue juga dulu sebelum pernah daftar Bidikmisi tapi nggak lolos hahaha. Oh ya, kenapa lo join komunitas ini? Gue belum tau alasan lo, karena yang waktu itu interview lo ‘kan bukan gue.” 

“Karena.. karena gue mau cari pengalaman dan mau isi waktu luang gue, Bang.”

“Cuma itu? Hahaha ya ampun, polos banget lo.” Aku bingung kenapa Bang Azhar tertawa, apa memang alasanku lucu? Ia menghela napas sebentar, “Begini, Fa, dari awal gue bikin komunitas ini, gue nggak mau orang-orang yang join itu cuma karena mereka mau cari pengalaman atau buat isi waktu luang aja. Gue mau mereka dapat manfaatnya, mereka dapat sesuatu dari komunitas ini.”

Aku mendengarkan. “Lo tau nggak, Fa, kenapa gue bikin komunitas ini?” ia bertanya padaku.

“Nggak tau, Bang. Memangnya apa?”

“Karena cinta.”

“Cinta?” Aku termenung. Tiba-tiba aku jadi ingat percakapanku dengan Ibu dua tahun lalu. “Maksudnya apa, Bang?”

“Dua tahun lalu, ceritanya gue patah hati hahaha istilahnya ‘cinta bertepuk sebelah tangan’. Hampir seminggu gue merenung, apa yang salah, apa yang harus gue lakukan. Akhirnya gue tau, penyebab cinta bertepuk sebelah tangan adalah karena kita terlalu berharap, kita meletakan harapan pada seseorang yang ternyata nggak bisa memberikan feedback. Terus tiba-tiba gue inget lagu Kasih Ibu, lo tau ‘kan? Hanya memberi tak harap kembali. Dari situ gue mikir, mungkin cinta dan kasih sayang cara kerjanya seharusnya begitu, hanya memberi tak harap kembali. Jadi gue iseng-iseng ajak temen gue buat galang donasi terus dikasih ke anak jalanan karena menurut gue itu satu-satunya cara untuk merasakan cinta yang hanya memberi tak harap kembali. Dan ternyata benar. Dari situ gue merasa bahagia, bahagia karena mereka bahagia. Simple pleasure.”

Dari caranya bicara, dan sorot matanya, Bang Azhar terlihat begitu mantap dengan apa telah yang ia lakukan. “Jadi menurut Abang, cinta itu memberi?”

Right. Besok gue mau lo ikut bagi-bagi makanan secara langsung, ‘kan dari kemarin lo cuma dokumentasi aja. Oke, ya?”

Bang Azhar memintaku turun tangan langsung supaya aku bisa merasakan  betapa bahagianya memberi. Esoknya, kami mendatangi anak jalanan yang sering mengamen di lampu merah, makanan dan cemilan kami berikan pada mereka. Aku mencoba memberi satu kotak nasi ke anak perempuan yang rambutnya dibiarkan tergerai panjang disiram terik matahari, dan ternyata Bang Azhar benar. Kebahagiaan tidak selalu dengan tertawa tapi juga ketenangan dan ketentraman hati, itu yang aku rasakan sekarang. Raut wajah anak perempuan itu seketika berubah menjadi lebih ceria, senyumnya mengembang lebar.

“Makasih, Kak!” ucapnya bersemangat. Ia segera menghampiri teman-temannya yang lain.

Namun, tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian, selain Tuhan tentunya. Di akhir kegiatan, saat aku memberikan kotak nasi terakhir, Bapak meneleponku. Suara Bapak tidak setegas biasanya, bahkan terdengar suara tangisan. Perasaanku campur aduk.

“Fa, cepat pulang. Ibu.. Ibu udah nggak ada.” ucap Bapak dengan nada suara yang menahan tangis. Aku termenung, berusaha mencerna kalimat Bapak.

“Hah?”

“Cepat pulang, Fa.” ucap Bapak lagi.

Aku segera berlari menaiki motor, aku pamit seadanya ke Bang Azhar sekaligus memberi tahu kabar dari Bapak. Di perjalanan, air mataku bercucuran. Ada perasaan yang menyuruhku untuk cepat-cepat sampai di rumah, tapi juga ada perasaan lain yang menyuruhku untuk tidak perlu pulang. Perasaan itu adalah takut. Ya, aku takut. Aku takut melihat Ibu terbaring menutup matanya dengan dikelilingi orang banyak. Aku takut melihat Bapak menangis. Aku takut aku menangis. Aku takut menghadapinya, aku tidak mau.

Tiga puluh meter dari rumah, aku sudah bisa melihat orang-orang ramai mendatangi rumahku. Aku berjalan sedikit terburu-buru hingga aku masuk ke ruang tamu. Di sana, Ibu sudah terbaring di tutupi kain. Bapak duduk di sebelahnya. Kakiku lemas, aku terduduk begitu saja dengan air mata yang mengalir lebih deras dan dada yang semakin sesak. Beberapa tetangga dekat menghampiriku tapi aku tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka katakan. Semuanya buram, semuanya abu-abu. Tiba-tiba Bapak memelukku.

Melihat Ibu terbujur kaku dengan wajahnya yang teduh membuatku terbawa ke masa lalu, saat aku sering menangis meminta uang jajan atau menangis karena Bapak tidak juga pulang sampai malam. Dan percakapanku dengan Ibu dua tahun lalu, Ibu bilang cinta itu memberi. 

Ibu benar, cinta itu memberi, tak harap kembali. Seperti cinta Bapak pada Ibu, dan cinta Ibu padaku. Dan cinta juga mengikhlaskan, membebaskan. Seperti Bapak melepas kepergian Ibu, seperti aku mengikhlaskan air mataku jatuh seiring kepergian Ibu.

Bu, terima kasih. Fa akan menebar cinta yang telah Ibu berikan lebih luas supaya mereka bisa merasakan betapa bahagianya memiliki cinta.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here