Orang-orang mengenal Pak Tua Gal sebagai pensiunan yang kesepian. Lain dengan anak-anaknya yang melabeli Pak Tua Gal sebagai pria tua mesum yang tidak pernah puas dengan satu wanita.
Sudah berkali-kali Pak Tua Gal berganti pengasuh, dan semuanya wanita. Dari yang umurnya 20-an tahun, 30-an tahun, sampai 40-an tahun, semuanya hanya bertahan paling lama enam bulan di rumah Pak Tua Gal. Orang-orang bilang alasan para pengasuh itu berhenti adalah karena beban pekerjaannya terlalu berat. Bayangkan saja. Selain harus mengurus rumah yang halamannya luas itu, mereka juga harus mengurus Pak Tua Gal yang sudah tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Mulai dari mandi, makan, sampai buang air, para pengasuh itu yang membantunya. Jadilah selain lelah fisik, mereka juga lelah hati karena Pak Tua Gal berlagak kembali seperti bayi.
Lain dari orang-orang itu, anak-anaknya menganggap para pengasuh itu risih. Makanya mereka tidak betah tinggal hanya berdua dengan Pak Tua Gal. Mana ada perempuan yang tahan bila bekerja sambil digoda-goda. Apalagi mereka harus mengurus segala sampai kotoran Pak Tua Gal. Meskipun ditawari gaji maksimal, kenyamanan dalam bekerja tetaplah yang utama.
Meski para mantan pengasuh itu memberikan alasan serupa yang dipercayai orang-orang, anak-anak Pak Tua Gal tetap meyakini pendapat mereka sendiri. Sudah terlalu rusak rasa percaya mereka pada ayah kandungnya. Apalagi kalau mereka mengingat masa lalu yang membuat ibu mereka sakit tak berdarah.
Semua bermula dari desas-desus itu. Waktu Pak Gal menjabat sebagai kepala bagian kepegawaian, banyak karyawan wanita yang diterima bekerja. Pak Gal memang bekerja di kantor kabupaten, tapi ia juga sering mengadakan kunjungan ke desa-desa. Terlebih, saat itu kantor-kantor desa masih sedikit pegawainya. Jadilah Pak Gal membuka lowongan besar-besaran, dan mayoritas yang diterima adalah perempuan.
Orang-orang di desa mulai bergunjing. Si gadis A berpacaran dengan Pak Gal. Si gadis B sudah menikah siri dengan Pak Gal. Si gadis C bahkan dibelikan rumah di pinggir kota. Macam-macam prasangka hilir-mudik dari satu telinga ke telinga yang lain. Namun, karena dulu tidak ada internet seperti sekarang, istri Pak Gal yang saat itu sedang hamil muda dan lebih banyak diam di rumah terbebas dari desas-desus itu.
Istri Pak Gal tinggal di sebuah rumah dengan halaman luas yang membuatnya tidak merasa kesepian meski Pak Gal mesti melakukan perjalanan dinas bahkan sampai menginap berhari-hari. Selama umur muda pernikahan itu istri Pak Gal tidak pernah menaruh curiga sama sekali. Apalagi setiap kali pulang Pak Gal selalu menanam benih di dalam perutnya. Kadang Pak Gal juga membuatkan sarapan dan membantunya mencuci pakaian. Uang belanja dari Pak Gal juga selalu sama setiap bulan, tidak pernah berkurang meski ia tidak tahu berapa tepatnya jumlah gaji suaminya itu. Pokoknya tidak ada yang mencurigakan.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya di penghujung bulan Desember, seorang wanita berkulit kuning langsat terlihat berteduh di sebuah warung yang berada dekat dengan rumah Pak Gal. Wanita itu membawa bayi dalam gendongan kain jarik berwarna cokelat yang hampir pudar motifnya. Sebuah tas hitam lusuh yang besar juga digendongnya di punggung seperti seorang yang hendak minggat. Wajahnya terlihat sangat lelah dan asing. Penjaga warung yang ramah menyuruhnya masuk sedikit lebih dalam agar bayinya tidak kehujanan. Namun, niat asli sebenarnya adalah untuk mengorek gosip tentang asal-usul wanita itu dan ke mana tujuannya.
Wanita itu mengaku mencari rumah Pak Gal. Ia tidak bilang statusnya apa, hanya mencari Pak Gal. Lalu penjaga warung menunjuk sebuah rumah di depan sebelah kanan dari warungnya. Bertepatan dengan itu, istri pertama Pak Gal sedang menurunkan kerai bambu di muka rumah agar air hujan tidak menciprati seluruh tegel beranda. Penjaga warung pun menunjukkan bahwa yang barusan itu istrinya, sedang Pak Gal dilihatnya pagi tadi sudah berangkat kerja dengan seragam coklatnya.
Setelah hujan reda, wanita itu pamit pulang. Ia tidak jadi mendatangi rumah Pak Gal. Sejak saat itu desas-desus tak sedap tercium cepat oleh telinga istri Pak Gal. Lalu anak-anaknya yang mulai dewasa. Semua mengambil kesimpulan sendiri pada timbulnya api gosip di waktu hujan. Sorot mata benci itu mulai dipancarkan oleh anak-anak Pak Gal yang menganggap bapaknya telah melakukan perbuatan terlarang. Mereka bahkan menghindari bertemu langsung dengan Pak Gal. Setelah bisa menghidupi diri masing-masing, anak-anak Pak Gal memilih tinggal di rumah terpisah terlebih saat Pak Gal sudah menjadi tua dan pensiun. Bahkan ada yang tak keberatan mengontrak demi tidak tinggal seatap dengan Pak Gal.
Sampai sekarang, tidak pernah ada yang memberitahu cerita kedatangan wanita misterius itu kepada Pak Tua Gal. Istrinya meninggal dua tahun lalu tanpa mendapat kebenaran yang jelas tentang gosip itu. Disusul dengan kondisi Pak Tua Gal yang mulai memburuk bahkan sempat terkena struk.
Kondisi Pak Tua Gal yang sudah payah rupanya tidak bisa melunakkan hati anak-anaknya dengan mudah. Mereka lebih memilih menyewa pengasuh daripada mengurus Pak Tua Gal dengan tangan mereka sendiri. Sibuk dengan pekerjaan adalah alasan paling utama dan klasik yang diharap maklum oleh Pak Tua Gal, memastikan segala kebutuhannya tercukupi hingga Pak Tua Gal tidak perlu repot-repot menelepon anak-anaknya untuk mengeluhkan kekurangan.
Namun, sekeras apapun mereka menjauhkan diri, Pak Tua Gal tetap butuh kehadiran anak-anaknya. Pengasuh kelima yang sudah tidak tahan lagi mengurusi Pak Tua Gal, akhirnya pergi juga. Ponsel anak pertama Pak Tua Gal kembali berbunyi. Pencarian pengasuh yang sesuai mau tak mau dilakukan lagi. Mereka mulai kesulitan mendapat pengasuh yang sesuai. Bahkan memasang iklan di situs internet juga minim hasil. Mungkin orang-orang enggan mendaftar karena sudah bisa menduga kesulitan beban pekerjaannya dilihat dari betapa seringnya perekrutan. Apalagi terlalu banyak kriteria yang harus dikuasai untuk menjadi pengasuh seorang Pak Tua Gal.
Orang-orang di sekitar rumah Pak Tua Gal mulai bilang itu tulah. Karena hidup mudanya terlalu senang, tuanya kesepian. Namun mereka masih lebih berhati sedikit. Tidak ada dari mereka yang menghindari tatapan mata Pak Tua Gal saat pria itu sedang berjemur di halaman atau dituntun jalan-jalan sore menggunakan kursi roda dengan mantan pengasuhnya.
Di saat harapan sudah tipis dan anak-anak Pak Tua Gal mulai bermain kertas-gunting-batu untuk—mau tak mau—bergiliran menjaga Pak Tua Gal, saat itu juga langit memberikan pertolongannya. Seorang gadis muda berumur 20-an tahun tiba-tiba datang melamar pekerjaan ke rumah Pak Tua Gal.
Gadis itu benar-benar masih muda. Kulitnya kuning langsat, matanya besar, alisnya hitam. Anak Pak Tua Gal yang mewawancarainya bisa melihat kalau apa-apa yang ada pada gadis itu alami—dia bahkan tidak menaburkan bedak ke wajahnya. Meski begitu, gadis itu tidak terlihat kumal sama sekali. Pakaiannya rapi dan sopan. Tenaganya yang masih muda juga mungkin bisa menangani semua kerepotan yang akan ditimbulkan Pak Tua Gal.
Wawancara sebagai bentuk formalitas pun diawali dengan pertanyaan yang menuntut alasan gadis itu melamar kerja sebagai pengasuh. Pertanyaan yang sebenarnya dianggap sepele itu ternyata dijawab telak oleh si gadis.
“Ada yang pernah bilang padaku kalau seorang ibu bisa mengurus 5, 8, 10, bahkan belasan anak seorang diri. Tak peduli anaknya senakal apa. Tak peduli anaknya sedurhaka apa. Orang tua selalu punya satu alasan untuk memaafkan mereka. Namun, anak-anaknya yang banyak itu belum tentu sanggup mengurus seorang ibu atau seorang bapak,” lancar gadis itu. Anak Pak Tua Gal masih mendengarkan.
“Aku ingin mematahkan teori itu. Aku ingin membuktikan kalau aku yang seorang anak ini, bisa mengurus orang tua. Sayangnya ibuku sudah meninggal, sedang ayahku sudah tidak ada sejak aku masih bayi. Lalu, kebetulan sekali lowongan pekerjaan ini lewat di beranda akun media sosialku seperti sebuah takdir.”
Meski sempat merasa tersentil dengan jawaban gadis itu, anak Pak Tua Gal menerimanya. Lagipula, itu hanya wawancara pengasuh yang tak perlu dibawa sampai hati, pikirnya. Lalu seperti biasa, ia menjelaskan berbagai ruangan yang ada di rumah itu beserta fungsinya. Tak lupa juga ia menunjukkan sebuah kamar untuk ditempati gadis itu.
Menjelang malam, anak Pak Tua Gal pulang ke rumahnya sendiri. Saudaranya yang lain sudah diberitahu untuk tidak perlu khawatir lagi. Pengasuh kali ini, katanya, terlihat lebih tulus dari pengasuh sebelumnya. Maka lega hati anak-anak Pak Tua Gal. Semoga bulan depan tidak ada lagi telepon masuk yang berisi pengunduran diri.
Kini, tersisalah gadis pengasuh yang sedang menemani Pak Tua Gal menonton televisi di kamar sambil memijiti kakinya. Setelah memastikan Pak Tua Gal tertidur pulas, gadis itu pergi ke kamarnya untuk tidur juga.
Sesampainya di kamar, gadis itu membuka sebuah tas besar berisi pakaian yang belum sempat dibongkar tadi siang. Ia mengambil sebuah kain jarik berwarna cokelat yang hampir pudar motifnya, lalu ia bawa naik ke atas kasur. Gadis itu menggulung tubuhnya dengan kain jarik, lalu tidur seperti bayi dalam dekapan ibu.