Dhea Fajrin Barkah

Kakek Keledai tidak tinggal sebatang kara. Ia tinggal bersama Tante Beruang yang membantunya mengurusi kebutuhan hidup sehari-hari. Meski mereka sudah tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama, Tante Beruang tidak mengetahui bahwa Kakek Keledai memiliki rahasia di sebuah tempat bernama Hutan Pesta. Setiap hari Selasa, saat Tante Beruang musti pergi keluar rumah, saat itulah Kakek Keledai memiliki kesempatan untuk menengok rahasianya di Hutan Pesta. Ada sebuah kotak penyimpanan—juga dirahasiakan dari Tante Beruang—milik Kakek Keledai yang berisi beberapa potong setelan lengkap untuk mengunjungi Hutan Pesta. Saat mobil Tante Beruang sudah hilang dari pandangan Kakek Keledai, buru-buru ia membuka kotak itu dan mulai berdandan. 

Kemeja biru langit dimasukkan ke dalam pantalon berwarna sama. Kerah bajunya diikat dasi kupu-kupu berwarna abu-abu, sementara pinggangnya dilingkari sabuk kulit berwarna abu-abu tua yang sudah dipakainya sejak masih bekerja di kantor administrasi dulu. Kemudian Kakek Keledai berusaha menyamarkan perut buncitnya dengan rompi putih gading yang kancingnya sengaja dibiarkan terbuka. Kakek Keledai tidak pernah lupa memakai kaus kaki. Sepatu pantofel putihnya sewarna dengan rompi. Topi fedora berwarna navy menjadi pelengkap dandanannya hari itu. 

Setelah memakai kacamata plusnya, Kakek Keledai berangkat menuju Hutan Pesta dengan menjinjing sebuah kotak rahasia lain yang ukurannya lebih kecil. Hutan Pesta adalah tempat di mana setiap rahasia terjamin aman karena meskipun ramai, setiap pengunjung yang datang ke sana harus mengenakan topeng. Di Hutan Pesta, semua bebas menjadi apa saja dengan dua syarat: bertopeng dan tanpa nama. Tanpa nama di sini maksudnya adalah kau tidak boleh menyebutkan nama aslimu kepada siapapun yang kau temui di Hutan Pesta. Tidak ada acara ‘pesta’ khusus di Hutan Pesta, tapi setiap orang yang datang punya tujuan yang sama: bersenang-senang. 

Hutan Pesta selalu ramai bagaikan pasar pagi yang dijejali penjual dan pembeli. Ada banyak kios-kios tenda milik penjual, tapi tidak ada aturan khusus mulai dari tata letak kios yang berantakan hingga barang dagangan yang ditawarkan. Oleh karena itu, siapapun yang datang akan merasa tersesat seperti berada di dalam hutan. Apalagi dengan berbagai macam topeng yang dipakai setiap orang, sangat sulit mengenal satu sama lain. Keadaan absurd itulah yang kemudian menjadikan tempat itu disebut Hutan Pesta: kau tidak mengenal siapapun di sini, tapi bersenang-senanglah! 

Bagi mereka yang sudah terbiasa mengunjungi Hutan Pesta, perasaan ‘tersesat’ itu bukanlah masalah besar. Sebagaimana mereka yang sudah terbiasa pergi ke pasar tradisional, bahkan jalan-jalan tikus sudah mereka hapal di luar kepala. Begitu juga bagi Kakek Keledai yang sudah memakai topeng dari kotak rahasia kecilnya sebelum masuk ke Hutan Pesta. Bertahun-tahun menjadi pengunjung di Hutan Pesta, Kakek Keledai tidak pernah tersesat untuk sampai di kios tujuannya di mana ia menyimpan rahasia. Sebuah kios tanaman liar yang dikelola oleh seorang perempuan bernama Bunga. Tentu itu adalah nama samaran.

“Aku tidak pernah lupa. Mula-mula toko Sederhana, lurus melewati dua belokan sampai tiba di toko Subur Makmur, belok kanan ke rumah makan Ujung Pandang, belok kiri ke hotel Pacar Air. Lima belas langkah kemudian aku sampai padamu.” Kakek Keledai melaporkan perjalanannya kepada Bunga.

“Aku selalu kagum padamu,” balas Bunga. 

Kakek Keledai sumringah. Pujian-pujian yang dilontarkan Bunga adalah yang ia tunggu-tunggu. Di rumah, ia hampir tidak pernah berinteraksi dengan Tante Beruang karena perempuan itu hampir selalu sibuk dengan pekerjaan rumah. Bagi Kakek Keledai, Bunga adalah kesenangannya. Perempuan itu tahu bagaimana cara berpakaian yang menyenangkan dan berkata-kata yang menyenangkan. Bunga tidak bau kunyit atau obat rumah sakit yang harus ia minum tiga kali sehari. Tangan Bunga adalah tangan paling mulus dan lentik di dunia Kakek Keledai. Dunia yang tidak bisa ia dapatkan saat berada di rumah. 

Lalu, kedatangan Kakek Keledai berarti Bunga harus menutup tokonya lebih awal. Ada banyak kegiatan yang harus mereka lakukan. Sebuah kegiatan rahasia yang hanya diketahui oleh sepasang laki-laki dan perempuan di dalam ruangan persegi yang pintunya terkunci dan tirai-tirai jendelanya dilepas dari ikatan.

Wangi minyak zaitun merebak di ruangan itu. Bunga adalah rahasia Kakek Keledai di Hutan Pesta.

***

Tante Beruang tidak tinggal sebatang kara, tapi rasanya seperti tinggal sebatang kara. Padahal, kehidupannya sebelum bertemu Kakek Keledai sangat menyenangkan: berangkat kerja di hari Senin, pulang larut malam, liburan di akhir pekan, bertemu pria idaman, dan kembali berangkat kerja di hari Senin. Dulu, Tante Beruang hidup untuk dirinya sendiri. Namun kini, ada seorang kakek yang harus ia urus yang juga membuatnya melepas rutinitas berangkat kerja di hari Senin. 

Meski begitu, Tante Beruang tidak kehilangan utuh dirinya. Ia memiliki sebuah rahasia yang tersimpan di sebuah tempat di mana setiap rahasia terjamin aman. Tempat itu seperti pasar yang ramai dan berisik. Banyak orang berinteraksi di sana meski tidak saling mengenal satu sama lain. Mereka saling bertemu karena butuh, sebagaimana penjual dan pembeli bertransaksi di pasar.

Tante Beruang memiliki sebuah kios di sana. Ia adalah penjual mingguan yang laris. Meski hanya buka di hari Selasa, pelanggannya tetap ramai. Makanya tak jarang Tante Beruang baru pulang larut malam, dan Kakek Keledai sama sekali tidak tahu ke mana pamitnya seharian itu. 

Kerumunan pelanggan sudah berjubel di depan kiosnya sejak ia datang. Kebanyakan dari mereka memang pelanggan tetap, tapi setiap minggunya selalu ada pelanggan baru yang penasaran dengan kios Tante Beruang. Rasa penasaran itu tentu wajar, karena setiap pelanggan yang datang tidak pernah pulang dengan gelagat kecewa. Meski mereka memakai topeng, kepuasan para pelanggan dari setiap kios bisa terlihat dari bagaimana cara mereka meninggalkan kios. Yang menutup pintu secara baik-baik adalah mereka yang puas, sedang kalau pintu itu dibanting berarti mereka kecewa. Pintu di kios Sapanyana milik Salasa, nama samaran Tante Beruang, adalah pintu paling mulus di Hutan Pesta. 

Kios Tante Beruang tidak dipenuhi banyak barang sebagaimana kios-kios penjual pasar. Di ruangan kecil berukuran 4×6 itu hanya ada sudut dapur untuk menyeduh minuman dan menyimpan kudapan kering. Sementara di tengah ruangan berdiri sebuah meja kayu bundar yang dilengkapi dua bangku kayu dalam posisi berhadapan. Dinding-dindingnya terlihat dingin meski ada beberapa pigura menggantung di sana—isinya hanya foto-foto siluet hitam putih yang diambil saat Tante Beruang masih bekerja di kantor majalah. Sementara dinding sebrangnya ditempel cermin besar yang memberi kesan luas pada ruangan. Tidak ada komputer, buku, atau alat tulis. Tante Beruang hanya menjajakan telinga di Hutan Pesta.

Bagi Tante Beruang, mendengarkan cerita dari orang-orang asing adalah hal yang menarik. Ia menyukai perasaan puas para pelanggan yang selalu merasa kesepian hingga harus menggunakan jasa Tante Beruang untuk berbagi cerita. Aku tidak sebatang kara. Di Hutan Pesta, Tante Beruang tidak merasa sendiri. Ia bersenang-senang dengan pekerjaannya yang menyenangkan orang lain.

Bunga-bunga Ashar mulai bermekaran di halaman kios Sapanyana. Sementara kursi antrian masih dipenuhi wajah-wajah bertopeng yang menunggu giliran. Setiap bunyi pintu yang dibuka menimbulkan kelegaan untuk mereka yang menunggu. Seorang perempuan bertopeng rusa baru saja menutup pintu dengan lembut dan segera meninggalkan kios Sapanyana.

“Selanjutnya nomor antrian 17. Silakan masuk.” Seru Tante Beruang dari balik meja pelayanan. Meski telah buka setengah hari, Tante Beruang tidak pernah menjamin semua pelanggan akan mendapat giliran untuk pelayanannya. Apalagi Tante Beruang tidak pernah menetapkan waktu yang pasti untuk setiap sesi. Para pelanggan bebas menggunakan layanan Tante Beruang sampai mereka merasa cukup dan puas sendiri.

Seorang pria bertopeng gajah mengikuti Tante Beruang ke dalam ruangan. 

“Kopi atau teh?” tanya Tante Beruang.

 “Kopi,” jawab pria itu.

“Gula?”

“Ya. Tambahkan dua sendok.”

Sejurus kemudian dua cangkir kopi sudah tersedia di atas meja bundar yang memisahkan Tante Beruang dan pria bertopeng gajah. Ada tiga toples kue kering di tengah meja. Bagi beberapa pelanggan, toples itu hanya hiasan. Namun tak jarang juga ada pelanggan yang mengambil satu-dua kue kering untuk menemani kopi atau teh yang mereka pesan.

“Jadi, bagaimana kabarmu?” Tante Beruang memulai pekerjaannya: mendengarkan sebuah rahasia yang hanya ia dan pelanggannya yang tahu.

*** 

Aku memang hidup sebatang kara, tapi wangi semerbakku mendatangkan para serangga. Begitu gumam Bunga. Pekerjaannya sebagai penjaga kios tanaman liar di Hutan Pesta membuat ia tidak pernah merasa kesepian. Itu menjadi alasan kenapa ia bertahan di sana. Alasan serupa juga berlaku untuk Kakek Keledai yang sudah lama menduda. Tidak berbeda jauh juga dengan Tante Beruang yang meski tidak hidup sebatang kara, ia merasa seperti hidup sebatang kara. Di Hutan Pesta, tidak akan ada yang merasa kesepian. Karena Hutan Pesta adalah tempat di mana setiap manusia menyimpan rahasia dan wajah lain mereka untuk bersenang-senang. [*]

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here