Labuhan, September 1916
Hari masih terik, tetapi seorang pria muda kurus dengan langkah gontai telah pergi menuju sebuah Rumah Candu yang tidak jauh dari boom. Orang-orang di boom sudah hafal betul dari perangainya, “Itu pasti Si Kumat”. Kumat tidak pernah menyapa mereka, begitupun orang-orang itu. Tetapi aroma Kumat memang kuat sekali, khas kuli yang pecandu. Dia tidak menghabiskan waktu kecuali main ke rumah itu, las vegas pada masanya di Labuhan, kota bandar paling sibuk sebelum ibu kota kesultanan dipindahkan Sultan Deli ke Maimun.
Kumat bukan sepenuhnya pemberani, setidaknya begitu kesaksian orang-orang. Dia pergi ke Rumah Candu justru sebab kekerdilannya. Sementara teman-temannya di kebon berani main serong dengan bini temannya sendiri, atau paling tidak menggoda nyai-nyai yang berparas elok dengan kerlingan nakal, Kumat memilih menjauh dan menundukkan kepala saja. Dia tidak percaya diri bahwa pria kurus, dekil, dan lahir sungsang sepertinya mampu memikat apalagi merebut bini temannya. Hinaan juga biasa dialamatkan padanya. Nama beken Kumat itu juga buah kebusukan lingkungan tempatnya tinggal, di bangsal-bangsal perkebunan karet yang sempit dan lembab. Karena belum beristri, dia tidak diizinkan tuan kebon punya gubuk terpisah sendiri. Dalam kesepiannya, pada tengah malam dia kerap mengigau, menyebut-nyebut nama seorang wanita, yang tidak dikenal oleh sekitarnya. Dia akan berteriak kuat-kuat dalam mimpi yang paling indah, setidaknya baginya, “Randu…”, “Randuu..”, “Randuuu…”. Tetapi kerinduan tidak mengembalikan Randu-nya itu. Berkat kebisingannya saban malam itulah orang-orang menjulukinya Si Kumat.
Penampilan Kumat memang ikonik. Dia setia dengan tutup kepala dekil yang sedikit miring ke kiri, bertelanjang dada, dengan secarik kain jarik melilit pinggulnya hingga sedikit sampai ke bawah lutut. Dia Cuma punya satu stel pakaian yang dicuci kalau kotor dan cepat-cepat dikibas jika ingin dipakai lagi. Dia dibayar 15 sen per hari untuk pekerjaannya, tapi tidak pernah bertahan utuh hingga akhir bulan, kecuali kalau Kumat berinisiatif untuk meminjam ke Lintah Darat. Hidup di kebon berat dan Kumat sangat tahu itu. Namun sifat mengerdilkan diri telah membuatnya terlempar jauh di jurang cendala. Toh, dia menikmati betul hidup-hidup tanpa banyak pilihan di kebon. Rutinitasnya cukup padat, setelah bekerja seharian dia tidak akan langsung menangisi kesepian di bangsal yang pengap itu. Kumat punya jadwal sibuk, jika tidak menyawer di ronggeng, ya ke Rumah Candu. Wajar dia tidak akan pernah punya cukup uang buat menjenguk Mbok-nya di Jawa, biaya lifestyle telah mencengkramnya begitu hebat.
Kumat mengambil cuti yang setelah 10 tahun menguli baru didapatkannya, sehingga dia bisa keluar siang itu. Sebelumnya, dia memang sudah sering bolak-balik ke Rumah Candu, namun siang itu berbeda. Terik sengatan mentari seketika redup, sejukkan jiwa. Langkahnya yang gontai pun menjadi tegap penuh wibawa. Bukan tanpa sebab, waktu dia sampai di beranda, terdengar suara lembut nan membuai dari dalam rumah. Kumat buru-buru ingin masuk, namun lagi-lagi dia tertawan sifat terlalu rendah dirinya itu. Emosinya begitu cepat berubah. Terbit rasa hatinya ingin sekali lekas menemui pusat suara, tetapi hatinya yang lain begitu keras berteriak bahwa tidak akan ada yang berubah baginya, semua tidak lebih dari sia-sia. Kumat jarang berada pada pertentangan hebat dalam dirinya sendiri, dia biasanya langsung mengalah dan memilih mundur saja. Tetapi kali ini dia lama diam memantapkan posisi di pintu Rumah Candu, “Ah, perempuan itu, siapa gerangan, kenapa begitu mengena suaranya di hatiku?”.
Dia masih berkutat pada peperangan batin yang dahsyat. Detik yang lewat dia ingin masuk, sebentar dia melihat tubuh dekilnya, sesaat kemudian dia juga ingat nama wanita yang kerap diigaukannya. Ya, dia ingat Randu. Dia ingat perpisahan mereka di geladak kapal sebelum berangkat ke Deli.
Randu ikut masuk mengantarnya waktu itu, tetapi tidak menitipkan apapun kecuali pesan sederhana, “Kang, Kau mungkin takkan sanggup berpisah jauh dariku hingga memperoleh yang baru. Tetapi percayalah, hanya aku yang paling mungkin mencintaimu selamanya.” Dia yang semula segar bergairah tiba-tiba layu kembali, walau masih berusaha menduga-duga asal suara yang didengarkannya.
Biasanya hanya perempuan tua yang kepayahan melayani pria-pria hidung belang yang menghuni Rumah Candu itu, tetapi saat itu berbeda. Kumat memang selalu tidak punya banyak pilihan, suara gadis itu semakin dekat. Kumat sudah tidak tahan untuk mengurungkan niatnya dan tengah menguatkan tekad untuk kembali ke bangsal, tempat mimpi-mimpi subur dibinanya. Tetapi belum bergerak kakinya yang gemetar menahan gejolak jiwa, perempuan yang suaranya dari tadi hanya didengarkannya itu tiba-tiba menggenggam lengannya nekad.
“Mau ke mana, Kang?”
“Aku baru di sini, apa tidak mau kenal denganku dulu?”
Kumat berusaha sekuat tenaga untuk tidak mendengar bisikan perempuan itu. Dia tahu betul bahwa cinta adalah yang paling tidak mungkin hadir di Rumah Candu. Bujuk rayu perempuan sudah biasa diserap telinganya yang caplang, tetapi menjadi berbeda kerena yang menyebut adalah perempuan itu. Laksma, namanya, baru tiba dari Surabaya menumpang kapal yang berlabuh di Belawan. Laksma tinggal sebatangkara, maka merantau bukan pilihan yang sulit baginya. Dia tidak memiliki apapun kecuali tubuhnya, dan tahu betul berapa nilai yang pantas untuk itu. Dia tahu Rumah Candu itu dari sebuah agensi di kota asalnya yang mengenalkannya pada pengelola Rumah Candu di Labuhan yang merupakan seorang Nyai Tionghoa bernama Mei-Han. Laksma memang dipuji atas kelembutan suara dan keteduhan parasnya yang memikat, oleh karena itu Nyonya Mei-Han dengan lekas menjadikannya kesayangan. Dia diberi keleluasaan menetapkan tarif dan memilih kamarnya sendiri, untuk melayani orang-orang yang ber-uang dan senang menghabiskan waktu nyandu di atas pangkuannya.
Penyakit Si Kumat ternyata belum benar-benar sembuh setelah bertemu Laksma, perempuan yang berhasil membuat hatinya seolah kembali hidup setelah kematian yang panjang. Saat itu dia tidak menjawab Laksma dengan segera, malah membelakanginya dan berlari sekuat tenaga. Di pikirannya hanya Randu di pulau seberang. Janji Randu begitu istimewa baginya. Tetapi barangkali juga Kumat tidak sedang memikirkan Randu. Dia hanya menutupi alasan paling dasar dari ketidakberdayaannya di hadapan Laksma. Meskipun banyak yang cantik di kebon, tetap saja Laksma pada kesan pertama sudah memancarkan pesona yang jauh berbeda. Sebelum bertemu Laksma, Kumat mampu memasang tanggul tinggi antara perasaannya dengan wanita-wanita di sekelilingnya, dan mempertahankan dermaga untuk melabuhkan bahtera kasihnya dengan Randu. Sangat mungkin selama ini dia bukan mengerdilkan diri, tetapi justru hanya berupaya menutup semua pintu, kecuali untuk Randu. Namun yang berada di hadapannya kali ini entah mengapa dapat menerjang tanggul dan meruntuhkan dermaga yang dibangun akalnya dengan begitu mudah. Sanubarinya seakan-akan tidak dapat menyertakan alasan yang cukup kuat untuk mengabaikan Laksma, seperti pertemuan pemuja dengan yang dipuja, hingga meniadakan segala selainnya.
Hari-hari di kebon berjalan lebih buruk dari biasanya. Dia semakin sering dipukul tuan kebon sebab pekerjaannya asal-asalan. Hasil dodosan karetnya menurun hari ke hari. Malam hari tidak lagi digunakannya untuk pergi meronngeng dan masih juga dia takut main ke Rumah Candu. Tetapi gajinya tetap tak bertahan, sebab dipotong oleh tuan kebon. Perasaan kalut yang menyalut jiwa Si Kumat menjadi-jadi. Sudah tidak tahan rasanya bergumul dengan diri sendiri dan tidak memperoleh apa-apa, bahkan mulai banyak kehilangan masa-masa terbaik dari hidupnya. Kumat pelan-pelan berusaha menyadarkan diri bahwa sebenarnya rasa cintanya kepada Randu telah lama hilang. Selama itu yang dilakukan oleh Kumat adalah mencurigai dan membentengi dirinya sendiri. Dia tidak siap menghadapi kenyataan bahwa benar apa yang dikatakan Randu perihal hatinya yang tidak akan sanggup murni kembali saat pulang, yang walaupun entah kapan, kepada Randu. Kumat melihat kepada cahaya rembulan yang memantul pada bekas air hujan di tanah dekat bangsal mungilnya. Dia ingat tembang Nasib Si Pungguk yang selalu terdengar di Rumah Candu, bahwa bagaimanapun Pungguk merindukan Bulan, rindunya takkan terbalas hingga nyawa meninggalkan badan yang fana.
Butuh waktu 2 (dua) bulan hingga Si Kumat berani kembali ke Rumah Candu, tempat hatinya diganggu. Dari jauh dipandanginya dahulu rumah nan menjanjikan kesenangan yang tidak kalah fana dibanding yang dijanjikan Randu. Orang-orang di sekitar Rumah Candu sudah mengetahui kedatangan Si Kumat.
“Amboi Kumat, dari mana saja Engkau? Kami piker sudahlah membusuk di bangsalmu itu”, ledek Amat, yang tidak pernah nyandu karena tak punya pekerjaan.
“Iyalah Kumat, dah rindu betul kami mencium aroma tuubuhmu itu. Semerbak tak menentu. Habis lubang hidung kami dibuatrnya”, sahut Lian, pemuda Tionghoa yang lebih lancar dialek Melayu daripada bahasa nenekmoyangnya.
Mereka menertawai Kumat lebih dari biasanya. Sambutan yang tak Kumat harapkan namun sudah dapat dibayangkannya. Namun tujuan Kumat ke Rumah Candu bukan untuk melihat wajah-wajah para penghina itu, melainkan satu wajah yang karenanya debar jantungnya bertalu-talu.
“Tidaklah memang ambe lebih baek dari Tuan-tuan nen. Tapi setidaknya ambe bekerja, punya tujuan.”, balas Si Kumat padat.
“Woiii, Engkau betul-betul ya, dah dekil, bedegil pula. Dasar tak tahu malu! Nak kena lepuk agaknya. Mari, Kau!”, mereka berusaha mengejar Kumat karena kesal.
Kumat berlari kencang menuju Rumah Candu yang jaraknya tinggal beberapa langkah lagi. Sementara orang-orang yang berniat mengejarnya itu menahan langkah, sebab di pintu penjaga Rumah Candu yang berbadan tegap dan bongsor sudah bersiap-siaga. Setidaknya, wajah Si Kumat yang tak seberapa itu masih dapat selamat hingga bertentang dengan dambaannya, Laksma, perempuan yang mungkin hanya mulia di matanya.
“Ci Mei, boleh ambe tau di mana Laksma?”, tanya Kumat santun kepada perempuan Tionghoa paruh baya pengelola rumah itu.
“Apa pasal lu orang cari-cari saya punya pelayan?”, tanya wanita itu kembali.
“Ambe hendak dilayani olehnya saja dan tolong bawakan Oncoy untuk kami. Ambe bawa uang banyak ini hari”, jawab Si Kumat tegas.
“Dengan aroma tubuh dan penampilan lu yang begini? Lu pikir saya bodoh, haa!”, Mei-Han mulai meninggikan suaranya, tanda tak percaya.
“Pergilah sekarang dan buang jauh-jauh angan-angan lu. Laksma bukan melayani sembarang orang. Kalau lu mau tetap di sini, saya cuma boleh kasih itu orang”, lanjut Mei-Han sambil menunjuk wanita paruh baya yang sedang terbatuk-batuk karena pengaruh candu.
Si Kumat hanya bisa tertegun mendengar hardikan Nyonya Mei-Han. Dengan penuh kesadaran dia mengamini setiap kata yang keluar dari mulut Mei-Han, memang demikianlah keadaannya. Tetapi harga diri tetap harga diri, dia tidak terima diremehkan di depan banyak orang, sementara kedatangannya ingin menjemput pantulan suara hatinya yang berada pada Laksma. Perempuan yang dengannya kelaki-lakian Kumat dipertaruhkan. Bagaimana bisa dia malah dipermalukan demikian cara. Setelah diam sejenak, Si Kumat kembali menegaskan maksudnya.
“Ambe tidak mau tahu, pokoknya hanya Laksma yang ambe mau. Tanyakan saja pada Laksma, dia yang paling tahu harga yang pantas untuk dirinya!”
“Baiklah, tapi lu harusnya sudah tahu jawaban apa yang akan lu dapat dari pelayan kesayanganku itu. Laksma, Laksma, kemarilah!”, seru Mei-Han mewujudkan keinginan Si Kumat hanya agar dia bertambah malu.
Tidak lama, Laksma datang dengan pesona yang lagi-lagi menggugurkan seluruh harapan Si Kumat, kecuali bersama Laksma semata. Si Kumat tiada habis-habisnya memandang Laksma yang berjalan dengan penuh keanggunan dari balik tirai yang menutup salah satu bilik di rumah itu.
“Ada apa Nyonya?”, tanya Laksma pelan.
“Lihatlah siapa yang berdiri di hadapan kita ini. Katanya dia hendak dilayani oleh engkau saja malam ini, bagaimana pendapatmu?”, ujar Mei-Han dengan nada meledek.
“Tentu boleh nyonya, tetapi aku meminta harga yang pantas!”, jawab Laksma dengan lembutnya.
“Katakan, berapa yang harus kubayar, berapa?”, Si Kumat mulai tak sabar ingin lekas berlabuh di pangkuan perempuan paling dicari saat itu.
“10 gulden, hanya untuk ditemani selama 1 jam.”, tawar Laksma singkat.
“Sepakat! Tapi hanya akan kubayar di belakang, setelah selesai.”, Si Kumat mencoba peruntungannya dengan cukup nekad.
“Tidak bisa, seluruhnya dibayar di muka! Kalau tidak lu cepat angkat kaki!”, sentak Mei-Han geram.
“Cis! Aku juga tidak mau kalau begitu. Kau anggap apa aku, dasar goblok!”, tak disangka Laksma yang lembut juga pandai memaki.
Laksma masih merasa lebih mulia ketimbang perempuan yang diraba dengan rela dan atau dilecehkan dengan paksa tanpa menerima sepeser imbalan. Dia tidak melakukan apapun demi kesenangan, melainkan ada harganya. Laksma memang harus memandang semua tamu, bagaimanapun rupanya, sebagai raja yang berani datang sebab kantongnya punya duit lebih atau setidaknya cukup. Cumbu Laksma pada awal kali bertemu terlalu cepat diterjemahkan Si Kumat sebagai penerimaan. Karena hatinya baru terusik setelah sekian lama, dengan lugunya dia anggap perasaan yang terbit di hatinya bersautan juga pada Laksma.
Si Kumat terperangah dengan kenyataan yang sedang disaksikannya. Satu-satunya perempuan yang berhasil membangkitkan berahinya itu malah ikut meludahi martabatnya di keramaian. Tadinya dia ingin berlindung pada pangkuan yang menghanyutkan, dan seketika dia bingung menentukan pelarian. Kumat tidak tahan berdiri di hadapan pujaan yang menebas rasa kasmarannya dalam sekejap. Dia berada pada puncak kehinaan yang majemuk. Kekasih adalah satu-satunya yang membuat rasa percaya dan pantas itu ada kala banyak orang meragukan, maka berpalingnya kekasih adalah siksaan yang paling ganas. Dia hanya bisa berlari ke luar dengan sesegera mungkin. Keberanian yang sudah dibangunnya selama 2 (dua) bulan dengan susah payah runtuh begitu saja. Mei-Han dan orang-orang di Rumah Candu bergelak ria melihat tingkat Si Kumat itu, tak terkecuali Laksma. Dia belum sadar juga dan memang tidak berhak untuk bertanggungjawab atas perih derita yang dirasakan Si Kumat yang ceroboh itu. Si Kumat berlari dalam kecewa dan malu yang bertambah-tambah. Air matanya sudah tidak dapat dibendung lagi sedari berlutut tadi. Tapi tidak sepatah kata pun sanggup melesat dari lisannya, kelu sudah.
Sementara itu di luar Rumah Candu, Amat, Lian dan beberapa pemuda yang geram dan belum sampai dendamnya terbalas sudah menunggu Si Kumat dari tadi. Begitu melihat Si Kumat sudah keluar dari zona aman, tanpa peduli apa yang sedang Si Kumat alami, mereka langsung mencegat Si Kumat dan menghajarnya bertubi-tubi. Semua kebagian kesempatan yang banyak sekali untuk menghujani Si Kumat dengan tinjuan terbaik mereka. Si Kumat tetap tidak bersuara, dia hanya terus mengalirkan air mata, yang tiada nilainya. Pukulan demi pukulan dia terima dalam keheningan, sementara orang-orang itu terus berteriak,
“Mampus Kau Kumat! Mampus Kau hari ini!”
Mereka hanya berhenti setelah lelah meninjui dan menendangi Si Kumat. Setelah tuntas, mereka lantas pergi begitu saja meninggalkan tubuh Si Kumat yang terkulai lemah di atas tanah, di samping bekas air hujan yang memantulkan sinar rembulan. Beratnya siksaan yang dialami, membuat Si Kumat tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dalam helaan nafas yang terakhir, dia hanya dapat melihat rembulan sebagai wujud deritanya yang lain, keterasingan dan pengingkaran dari kekasih bahkan pada detik-detik paling penghujung dari hidup yang dia junjung sekian lama dalam bingung.
Selamat jalan Si Kumat, dukamu abadi.