semilir

Hujan lebat tanpa gelegar guntur maupun gemuruh guruh baru saja usai. Sore itu menjelang ashar, bau tanah sisa tersiram hujan mengalun merdu di ujung hidung Aki Sukanta, sang imam masjid kampung Kiara yang, sebelum hujan hari ini, telah 14 bulan lamanya dihampar gersang kemarau. 

Tubuh ringkihnya terduduk di kursi depan rumahnya yang sangat sederhana. Tidak seperti biasanya, wajahnya tak tenang, segumpal cemas mengganggu irama detak jantungnya. Aki, begitulah beliau biasa disapa, terlihat menyimpan kegalauan dan rasa takut yang tak ada hubungannya dengan kematian karena mengingat akan usianya yang telah senja. Ada hal lain yang justru lebih erat berhubungan dengan turunnya hujan pengakhir kemarau selama satu tahun lebih dua bulan ini.

Setengah tahun pertama kemarau menyapa, warga desa tak begitu merasa khawatir dengan matahari yang semakin hari semakin terasa laksana berada di ubun-ubun kepala. Mereka masih yakin bahwa kemarau akan pergi sebelum kandungan air dalam tanah, sungai dan juga yang tersimpan di embung,  sebuah sarana untuk menampung air, habis. Biasanya air-air tersebut digunakan sebagai cadangan untuk menghadapi kemarau yang datang setiap tahunnya.

Tetapi ternyata, melewati bulan-bulan berikutnya, sepertinya tak ada tanda-tanda alam akan mencurahkan butir-butir air hujan untuk membasahi tanah dan mengusir debu agar tidak terus beterbangan dan membuat jarak pandang menjadi sempit. Malahan, rasanya semakin hari matahari kian terasa seperti duduk di kepala.

Debu telah menebal menyelimuti hamparan luas ladang dan sawah. Pohon-pohon meranggas kering untuk kemudian mati. Ternak-ternak satu persatu bergeletakan menjadi bangkai yang tidak bisa dikuburkan karena tanah terlalu keras untuk digali, yang akhirnya dengan cara dibakar menjadi solusi. Yang bertahan dan bahkan semakin menguat hanyalah kegelisahan yang kian hari kian memberatkan beban para penduduk yang ingin semuanya kembali normal. 

Ibu-ibu ingin agar para suami bisa mandi, agar tidak tercium bau badan yang menyengat manakala mereka berduaan di rumah. Para suami ingin agar ternak, ladang dan sawah bisa hijau kembali karena mereka harus memenuhi kebutuhan keluarga mereka setiap hari. Para bocah rindu bermain riuh hujan dan air di sungai juga basah sawah penuh lumpur. Semua keluhan itu terus-terusan mereka sampaikan pada Pak Karsa, sang kepala desa yang dianggap harus turut bertanggung jawab untuk mencari jalan keluar dengan keadaan itu.

Aki sudah sering mengingatkan kepada Lurah Karsa dan juga seluruh warga untuk shalat istisqo, shalat meminta hujan di kemarau yang singgah kali ini. Tetapi tidak digubris. Lurah Karsa lebih percaya pada sosok lain yang dia anggap lebih mumpuni karena telah terbukti berhasil membuat dirinya duduk di jabatan tertinggi wilayah desa ini. Karena itu, segala saran Aki dibiarkan saja berlalu layaknya angin lalu.

 Lurah Karsa yang sudah merasa pening dengan aduan warga mulai menyiapkan rencana di benaknya yang tipis iman itu. Yaitu dengan rencana menghadirkan orang yang dianggap sakti olehnya tadi, dukun tua berbadan gempal yang pernah dia pinta kemampuannya untuk membuatnya naik terpilih menjadi kepala desa sekarang ini, Abah Barga. Abah Barga pun dipanggil dan diminta untuk segera memanggil hujan yang sangat dirindukan oleh semua makhluk hidup yang ada di sana. Lelaki tua dengan tampilan yang seperti sengaja dibuat seram itu datang ke lokasi lapangan yang dipilih sebagai tempat menjalankan ritual mendatangkan hujan. Warga turut menyaksikan.

“Untuk biayanya ada tambahan ya Pak Karsa, soalnya saya biasa diminta untuk memindahkan hujan, bukan mendatangkan.” sebelum ritual dimulai, Abah Barga berbisik kepada Pak Karsa. Pak Karsa yang juga sama-sama mata duitan agak sedikit terhenyak. Artinya dia harus keluar uang lebih. Kemudian akhirnya memberikan jawaban yang membuat Abah Barga juga terhenyak. “Baik, tapi saya minta garansi, jika seandainya tidak berhasil ada hujan, saya tidak akan membayar.” Si dukun Barga tidak menjawab, hanya melengos dengan wajah yang berusaha menyembunyikan rasa jengkel, namun tidak berhasil. Abah Barga maju ke tempat yang lebih menjorok ke depan di mana sudah terdapat beberapa benda sebagai syarat ritual yang harus dipenuhi. 

Mulut sang dukun komat-kamit tak jelas. Entah apa yang tengah dirapalkan? Semua yang hadir menunggu dengan penuh harap dan cemas, semoga segera hujan turun dengan lebat, itulah kira-kira apa yang begitu menjadi keinginan mereka semua. Tetapi langit tetap saja terang. Matahari tetap saja garang. Bahkan setelah lebih dari satu jam, langit malah semakin cerah memberikan ruang untuk debu bermain-main di udara. Hadirin mulai gelisah dan berkeluh kesah samar dalam bentuk bisik-bisik. Pemanggilan hujan dipastikan gagal. Abah Karsa pulang tanpa membawa uang dan hanya membawa malu. “Ada yang menahan supaya hujan tidak bisa ditarik ke wilayah kita ini, dan kekuatannya lebih kuat karena lebih dari dua orang yang menahan awan hujan itu kemari”. Abah Barga memberi penjelasan sebagai penawar rasa malu.

Mendengar upacara pelaksanaan itu gagal, Aki kembali menyuarakan untuk sholat meminta hujan, sholat yang seharusnya selalu menjadi solusi bagi mereka manakala setiap kemarau melanda. Entah karena tak ada lagi yang mampu memberi solusi? entah karena mereka hanya ingin agar Aki diam? Atau entah apapun alasannya? tetapi mereka kali ini mendengar apa yang Aki sarankan dan siap untuk melakukan apa yang menjadi ajakan Aki.

Keesokan hari sholat itu dilaksanakan. Banyak yang datang dengan wajah penuh ragu. Benak mereka telah dipenuhi bayang-bayang kegagalan Abah Barga, si dukun yang mereka anggap lebih hebat dari siapapun yang ada di desa itu.

Selang beberapa waktu, shalat telah selesai, khutbah kedua pun usai. Kemudian Aki mengajak semua untuk mengangkat tangan dan bersama-sama memanjatkan doa secara sungguh-sungguh. Dalam perjalanan doa, langit secara cepat menjadi teduh. Semua warga termasuk Aki menengadah ke langit. Mereka semua melihat barisan awan mendung tipis lembut memayungi desa mereka. 

Tak lama butir-butir bening yang telah ratusan hari mereka nanti berhamburan dari perut awan. Mereka berteriak kegirangan. Mulut mereka menggumamkan sesuatu yang masih belum bisa ditangkap dengan jelas oleh Aki karena beradu dengan suara hujan yang mulai lebat. Hingga akhirnya beberapa orang datang menubruk, memeluk Aki yang telah basah kuyup dengan penuh sukacita. Mereka semua tidak mengucap Alhamdulillah sebagai rasa syukur dan terimakasih mereka kepada Allah. Tetapi mereka mengucapkan sesuatu yang mengagung-agungkan Aki sebagai pembawa hujan sambil berusaha mencium punggung tangan bahkan juga berusaha mencium punggung kaki Aki.

Wajah Aki tiba-tiba dipenuhi kekhawatiran. Rasa khawatir yang lebih besar daripada adanya kemarau yang telah menggersangkan seluruh wilayah kampung itu. Tak lama Aki pulang dengan cemas yang dibalut basah tubuh dengan senyap tanpa sepengetahuan warga yang tengah bergembira.

***

Apa yang menjadi kegelisahan Aki kemudian terbukti. Di kejauhan, terlihat pergerakan titik-titik warga yang berduyun-duyun menembus tanah becek dan genangan yang dicipta oleh derasnya hujan tadi. Banyak dari mereka membawa bingkisan untuk diberikan kepada aki. Dan Aki tahu, jika mereka datang pada seseorang dengan membawa bingkisan secara beramai-ramai seperti itu, itu artinya mereka akan mendatangi seseorang yang mereka anggap sakti dan bisa mendatangkan berkah dan mengusir bala. 

Macam-macam benda yang mereka bawa, macam-macam pula tujuan yang mereka usung. Mereka menganggap Aki adalah sang pembawa berkah, ucapannya adalah keramat dan harus didengar dan dipatuhi agar mereka kecipratan berkah itu. Aki semakin sedih. Warga ternyata tidak memetik hikmah dari kejadian ini, bahwa Allah yang memberikan keberkahan, bukan manusia seperti dirinya. 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here