Rembulan seharusnya tersembunyi di balik awan, bukan berjalan-jalan bebas keliling awang-awang, khawatir ia tak akan aman.
Gemericik air yang jatuh di selokan itu mengalir, alun nadanya seirama dengan rintik hujan yang terus terjun bebas menghantam dunia. Suara hantaman petir semakin menggelegar, seiring dengan titik demi titik semakin membesar, lama kelamaan mencipta genang di lubang mencipta bayang-bayang bintang berkelip terang. Memecah sunyi, menemani sepinya malam kala sendiri. Tanpamu yang sore tadi baru saja pamit menghilang meninggalkan sisa nada rayu yang masih terngiang di kepala.
Kulewati malam yang panjang bersama secangkir kopi panas yang asapnya mengebul membawa aroma nikmat nan menenangkan, menggoda diamku untuk mencumbu walau bibir meronaku akan melepuh dibuatnya. Tak kupedulikan dingin yang merasuki tulang belulang sampai mengerutkan ujung jari-jariku, aku tetap setia bersender pada kursi tua di depan jendela remang yang terpaksa kubuka demi melihat gelapnya malam dengan rintik air yang terus memercikkan diri menghampiri wajahku.
Mataku tak bergeming, sorotnya teduh jauh melayang. Tak kupedulikan apapun yang di depanku, sebab yang muncul di hadapanku ialah bayang-bayang khayal yang lama kelamaan membentuk rapi sebuah raga yang tengah kurindukan keberadaannya. Pun dengan wajahnya yang perlahan muncul dalam angan. Sedang tersenyum walau tak nampak langsung di hadapan. Hanya kubayangkan.
“Sedang apa dia di ujung jalan sana?” tanyaku pada angin malam yang hembusannya memanaskan mata.
“Sedang memandangi purnama demi menjaganya agar tak hilang ditelan mendung hitam!” ucapnya.
Lamunanku buyar seketika, seiring terperanjatnya diriku hingga tak sengaja menjatuhkan kakiku ke lantai yang dingin. Seketika aku berdiri tepat di depan jendela yang masih terbuka lebar, pandanganku tertuju ke bawah. Terlihat sepasang sepatu putih menyoklat terlumuri tanah yang basah. Separuh badannya yang atas tertutup payung biru tua tanpa corak hingga tak sampai aku melihat wajahnya. Namun demikian, suaranya tak terganti, sekalipun oleh bisingnya hujan yang berusaha menyamarkannya.
Namaku Rembulan, entah apa yang memberi inspirasi ibuku memberi nama itu. Sedang purnama adalah panggilan lelaki itu untukku, tidak selalu, hanya di waktu tertentu saja. Ia adalah Arjuna, nama itu asli miliknya, bukan nama pemberianku, walau ia memang arjunaku.
“Sedang apa di sana? Tidak cukupkah delapan jam yang telah berlalu?” tanyaku menahan tawa sambil tersipu.
“Apa menurutmu itu cukup? Kurasa separuh abad pun tak akan cukup bagiku!” jawabnya sembari mengangkat gagang payungnya dan sedikit mendongak menunjukkan wajah tampannya.
Wajahnya yang anggun sedikit terkena percikan air yang kejam menyerang, payungnya yang lebar pun tak cukup melindungi sepenuh raganya dari tetesan air langit untuk bumi. Kuarahkan tapak tanganku ke bawah, reflek saja, hanya ingin memberitahunya untuk segera melindungi diri dengan menunduk kembali.
“Aku baik, jangan anggap hujan sebagai penyerang, dia sahabat bumi yang tengah menjalankan tugas mengasrikan kawannya!” ucapnya menanggapi kekhawatiranku yang belum sempat kuungkapkan.
Aku tersipu menahan malu, kusembunyikan wajah merahku di balik tangan mungilku, sembari menunduk, aku tak kuasa menatap matanya yang berbinar terang kearahku. Ditambah derai air hujan yang mengalir turun di beberapa bagian wajahnya. Turut menambah sisi kemenarikannya yang sudah paripurna.
“Ah, sudah!,”
“Terlalu boros aksaramu untuk menarik rasaku,”
“Mau masuk atau bermalam di sana?” tanyaku iseng.
Ia tertawa kecil, menunjukkan barisan gigi rapi yang menambah tingkatan manis senyumannya. Aku tahu ia akan menjawab tidak, tak pernah sekalipun dalam perjalanan kisah di mana ia mau mampir kala mengunjungi gubuk tua ibuku. Ia hanya berhenti di depan pintu, di bawah jendela, atau di ujung jalan seberang.
“Di sini saja, aku hanya kebetulan lewat setelah berjalan membeli nasi goreng Pak Sidik!” jawabnya sembari mengangkat plastik putih berisi bingkisan coklat berkaret merah. Ada dua.
Bibirku menyunggingkan sedikit senyuman, tatapanku teduh masih menunduk padanya. Entahlah, kurasa ia terlalu ajaib untuk ukuran lelaki biasa yang tengah jatuh cinta. Setiap hari selalu ada kejutan tak terduga darinya, mulai dari hal-hal sederhana atau hal-hal unik yang membuatku menggeleng-gelengkan kepala.
“Ambillah, aku tak mungkin menghabiskan dua bungkus sekaligus!” ucapnya sembari mengulurkan tangan yang menenteng sebungkus nasi terbungkus rapi. Diangkatnya bersama payung yang melindunginya dari hujan yang deras.
Dengan panik, segera ku ulurkan tangan untuk meraihnya agar payung biru itu kembali melindunginya dari hantaman hujan yang semakin lama semakin deras membanjiri sepatunya hingga kembali bersih dari lumpur yang menyelimuti.
“Terimakasih!” ujarku singkat sembari tersenyum lebar.
Ia hanya tersenyum lalu mengangguk, kembali ia sembunyikan wajah menawannya di balik payung yang segera bertugas melindunginya.
“Jangan lupa dimakan sampai habis ya, jangan disisakan walau hanya sebiji, nanti ia menangis,” katanya.
“Aku pergi dulu, aku juga ingin menikmati secangkir kopi hangat sama sepertimu!” lanjutnya.
Ia lantas berlalu, berlari cepat dengan sepasang sepatu kokohnya untuk menerjang genangan air yang kian meninggi. Ia tak lantas pulang, hujan terlalu kejam menghantam. Ia terlihat meneduh di warung kopi depan rumahku, dari seberang jalan terlihat sorot matanya masih tertuju kearahku. Selalu, begitupun denganku. Sembari menyantap nikmatnya nasi goreng hangat ditemani secangkir kopi yang telah menghangat. Hal yang sama di tempat berjarak dilakukannya.
Aku terdiam dalam getaran alami yang timbul dalam dadaku. Empat puluh menit berlalu dengan sentimentil, namun sukses membuatku tak biasa. Semua karenanya yang luar biasa, setidaknya bagiku, hatiku, dan rasaku. Menemani hujan memuaskan diri berteriak dan menyerang semesta sampai ia lelah dan berlalu pergi.
Langit kelabu yang menyerangku dengan duka sendu, membagikan sejuta luka bersama amukannya yang menggelegar di seluruh semesta. Merasuki jiwa yang tengah sunyi di dalam raga yang tengah menggigil sampai pucat pasi. Hatiku tengah suka, semua yang ada tak mampu membuatku duka. Ditambah kehadirannya yang memberi warna dan sinar dalam malamku. Wahai Arjuna yang telah mengukir jutaan butir-butir keindahan dalam hatiku. Memenuhi ruang berpikirku dengan segala ramu yang ia racik untuk menjamu hatiku.
Kutulis sajak sederhana dalam lembar diary darinya, selalu kulakukan demi mengabadikan detik-detik yang kulewati bersamanya. Walau sebenarnya, semua itu sudah terukir abadi dalam hati. Tetap saja aku telah candu tersipu setiap kali membaca kisahku, membayangkan wajahnya yang lugu, dan kalimatnya yang semanis madu.
Malam berlalu dengan rasa menggebu, hampir tak terpejam mataku dibuatnya. Ia telah berlalu, kembali menghilang di ujung jalan bersama motor hitam, tingginya yang mengeluarkan suara bising memecah sunyi paska hilangnya suara hujan yang menggelegar. Ternyata, kesan yang ada tak akan pernah hilang.
****
Aku terperanjat melihat jarum jam sudah membelah jam dindingku menjadi dua. Mataku yang tengah nyaman terpejam terpaksa kubuka lebar, walau masih terasa lengket seperti terkena lem tembak. Maklum, hampir setengah malam kuhabiskan dengan mata terjaga.
Tinnn… tinnn…
“Suara klakson motornya?” tanyaku pada diriku sendiri yang tengah berkaca menatap diri yang masih kacau balau di hari yang sudah benderang.
Aku semakin terkejut, kuintip lewat jendela yang masih berembun kabur. Ia sudah rapi dengan pakaian serba hitam di atas motor hitamnya, lengkap dengan helm full face yang menutupi mahkotanya.
“Tunggu sebentar!” ucapku.
Yaa… aku tahu tidak mungkin sebentar bagiku membersihkan diri, merias diri, bahkan memilih busana yang akan kukenakan hari ini. Harusnya memakan waktu seperduabelas hari sendiri. Kali ini tidak, aku melakukan semua persiapanku secepat kilat, aku tidak ingin membuatnya menunggu terlalu lama.
“Maaf sudah membuatmu menunggu!” ucapku singkat.
“Iyaa, tapi lain kali jangan tidur kemalaman, kan jadi telat bangun, untung ada jemputan.” jawabnya singkat dengan nada bicaranya yang lembut.
“Tapi kan kamu bakalan jemput aku terus sampai kapanpun..” jawabku setengah mendongak padanya yang lebih tinggi dariku.
Ia terlihat menunduk dan tersenyum menatapku sekilas. Menatap jam yang ia kenakan sekilas lalu mengenakan kembali helmnya. Aku pun demikian, seperti yang biasa terjadi, ia mengangkat tangannya untuk mengaitkan helmku, hal yang seharusnya bisa kulakukan sendiri namun tetap ia lakukan, bagaimana bisa hatiku tidak terjatuh saban hari kalau begini caranya.
Motor hitam yang kami tunggangi melaju kencang menembus jalanan kota yang lumayan padat, padahal matahari saja baru merangkak menyusuri tanjakan angkasa, lantas manusia-manusia ini sudah amat bersemangat memulai hari dengan penyusuran jalur menuju ruang kerja masing-masing.
Aku duduk nyaman tepat di belakangnya, pagi masih sangat teduh, seteduh hatiku walau sekadar menatap punggung hingga belakang kepalanya yang terbalut helm. Terasa aman dan nyaman. Sengaja tak kulingkarkan tanganku pada raganya yang kokoh, pun tidak kutempelkan diri ini di tubuhnya yang hangat. Ia tidak memintanya, pun melarangku melakukannya.
“Menjaga itu tidak sekadar melindungi dari sengatan mentari atau menghalangi dari debu yang bertebaran, aku memilih menjagamu dengan membiarkanmu menjaga dirimu.” ucapnya menjelaskan alasannya.
Kukerutkan dahi membersamai senyum kecil di bibirku yang segar merona. Sedikit sukar memahaminya, namun kupilih mengiyakannya saja. Di balik setiap getaran, aku mempercayainya sepenuh jiwa, apapun ujar yang keluar dari lisannya, selalu terasa damai. Satu yang jelas kutahu, dia menjagaku.
“Dingin yaa?” ucapku memulai perbincangan setelah kedua roda motor itu berhenti berpusing dan kita mulai berjalan menyusuri gedung-gedung penimba ilmu yang masih cukup senyap.
Ia menoleh setengah menunduk menatapku yang setinggi punggungnya, senyum singkat ia sunggingkan dari bibirnya yang tipis. Ia berbalut jaket hitam andalannya, sudah sepantasnya ia tak merasakan rasa yang baru saja kubahas.
“Ya sudah, ayo sarapan dulu sambil minum teh hangat. Itu ampuh untuk menghilangkan dingin yang terlanjur merasuk kulitmu!” jawabnya sembari memutar-mutar tapak tangannya di atas kepalaku.
Aku pun mengangguk sembari berusaha keras mengikuti langkah kakinya yang cukup laju lalu berhenti di sebuah bangku kosong yang tersorot hangatnya sinar surya pagi. Ia lanjutkan langkahnya menjauhi bangku yang telah kududuki.
Tak lama kemudian, ia kembali membawa dua pasang dalam satu nampan, sepasang mangkuk soto dan sepasang lainnya gelas berisi teh yang asapnya terlihat samar menghampiri wajah pembawanya.
“Teh dan soto untuk penawar rasa dingin,”
“Langsung di makan ya tuan putri, dijamin keringat bercucuran layaknya lari duapuluh kilometer!” ucapnya sembari menata dua pasang tadi di depan kami.
“Terimakasih tuan muda!” jawabku singkat.
Kembali ia arahkan tangannya ke atas kepalaku untuk mengacak-acak rambutku yang sudah kesekian kalinya ia acak. Entahlah, rasanya ia tak menyukai tampilanku yang rapi dan memilih melihatku seperti singa bangun tidur.
“Acak-acak terus!,” ucapku dengan nada kesal.
“Sekalian sampai menganyam membentuk sanggul konde!” tambahku sambil melotot menghadapnya.
Kuusahakan untuk merapikannya kembali dengan jemariku yang alih fungsi menjadi sisir, sembari menatap bayang-bayangku dalm cermin gelap layar ponselku. Sementara itu, ia hanya terkekeh merasa lucu dengan tingkahku.
Kisah klasik yang begitu mewarnai kelabu hari-hariku yang sendu, bersamamu adalah candu yang tak akan pernah hilang walau kulakukan cara yang keseribu. Bersamamu membuatku tersadar bahwa dunia adalah tentang wangi bunga-bunga yang kelopaknya turut menghias memenuhi kosongnya taman hati. Kejadian, kisah, alur, beserta tingkah lakumu membuatku sadar bahwa cinta itu memang bertahta di dunia.
“Aku pernah berkata bahwa mencintamu adalah menjagamu agar kamu terus bisa menjaga dirimu,”
“Apa menurutmu penjagaanku itu tepat dengan kisah kita yang tengah berlaku?” tanyanya dengan wajah serius paska menghabiskan sesuap terakhir soto di mangkuknya.
Aku terperanjat sampai tersedak terbatuk-batuk paska menyeruput teh panas yang berhasil menghangatkan ragaku. Aku sukar memahami maksud perkataannya, namun ia sukses membuat jantungku berdegup kencang kala mendengarnya. Mungkinkah ia…
“Mungkin saja, kita adalah sebuah aberasi?” ucapnya lagi. Kali ini aku benar-benar terkejut sampai gelasku terjatuh ke lantai.