Bulan Nurguna

Ular. Batas ruang yang tak terlihat. Zoom in. Zoom out. Ular besar dan kecil. Semuanya terlihat berbahaya. Sebagiannya mungkin menggigit. Sebagian lagi membelit. Aku di hadapan mereka, tetapi mereka seperti tak menghiraukan keberadaanku. Mereka saling tumpuk, saling lilit.

Setiap ular bersinar. Sinar yang hanya menerangi diri mereka masing-masing. Aku di sudut gelap. Keterpisahan ruang antara aku dan mereka, kini kulihat samar batasnya, semacam ruang trapesium, serupa belati. Aku menempati ruang “sisa”; ruang ujung. Bagaimana aku bisa berada di sini?

Walau ular-ular itu tidak agresif dan bahkan seperti tidak memperhitungkan keberadaanku, keberadaan mereka yang jumlahnya sangat banyak, hampir menutupi seluruh ruangan,  membuatku mengerti siapa yang berkuasa.

Aku membuka mata. Mimpi siang bolong. Mimpi itu lagi? Salah satu mimpi yang terus berulang dan kuingat. 

Jendela dengan kain gorden dua lapis. Kubuka lapisan satunya, sehingga tampaklah lapisan yang lebih tipis dan terawang. Kubuka jendela ke kanan dan kiri. Embusan angin dan gerak gorden. Semilir itu masuk pula ke bajuku yang longgar. Baju ini agak panas, kainnya serupa kanvas. Tak berkancing, bagian dadanya yang terbuka bisa disatukan dengan tali-talinya. Akankah ular-ular itu menembus batas mimpi dan menjalar ke dunia sadarku? Menjelma tali bajuku untuk sekejap kemudian berubah kembali menjadi ular, menembus dada, membelit jantungku, dan sekujur nadiku menjadi bercahaya?

Ini bukanlah satu-satunya mimpi burukku.

Mimpi yang lain adalah tentang kuliah. Aku kerap bermimpi berada di kampus, di dalam kelas bersama orang-orang yang jauh lebih muda dariku. Kudapati diriku sangat tua. Aku paling tua dan paling bodoh di sana. Aku tidak pernah lulus walau telah menempuh belasan semester. Skripsiku kuantitatif, dengan program SPSS yang komputernya selalu macet ketika aku menekan tombol enter

Aku mengajak teman-teman sekelasku untuk bicara tentang permasalahanku dan hendak meminta bantuan soal perkuliahan kepada mereka. Namun, otakku tak bisa berpikir apa-apa soal tujuan itu dan mulutku hanya berakhir dengan mengeluarkan “Hai”, “Apa kabar?”, atau “Sampai jumpa”. Keresahanku dalam kelas itu membiak dalam sunyi, sebab suara hanya ada pada permulaan mimpi, lalu hening seiring kejadian yang berjalan ke depan, dan semacam gerak divergen meninggalkanku di tengah ruangan. Kelas itu meluas dan bangku-bangku bergerak ke segala arah dengan cepat, acak, dan tiba-tiba telah rapi kembali. Akan tetapi jarak kami telah membentang. Aku menangis di dalam mimpi itu, tapi mereka tak mempedulikanku sama sekali. Mereka seakan berada di dimensi yang lain, saking jauhnya. Wajah mereka  kisut, mengkerut. Mata mereka hanya titik hitam, senyum mereka lebar dengan ujung-ujung yang tumpul. 

Di luar jendela, dengan angin kering yang sesekali membuat vitrase gorden menerpa wajah dan dadaku, jalanan tak ditumbuhi pepohonan dan tak satu pun orang atau kendaraan yang lewat, membuatku berpikir bahwa orang-orang mungkin juga sedang di rumah mereka masing-masing, memikirkan mimpi-mimpi yang mereka harap tak akan pernah menjadi kenyataan. 

Ada satu lagi mimpiku yang selalu berulang. Tentang sesosok monster yang mengejarku di jalan raya yang sepi. Di kanan-kiri jalan itu tumbuh pohon cemara, tinggi dan rapi. Namun, satu-persatu pohon itu terbelah dua: sebelah ke arah kami, sebelah ke arah berlawanan. Apakah energi monster itu begitu besar, sehingga membuat pohon-pohon tak berdaya dan mati? Atau pohon-pohon itu bunuh diri, saking ngerinya melihat wajah yang tak tertanggungkan untuk diterima mata pohon-pohon? 

Monster itu tidak jauh di belakangku dan gerakan mengejarnya lamban, mungkin karena tubuhnya besar dan badannya kaku. Sedangkan aku, yang tingginya hanya sepertiga dari tinggi sang monster, dengan panik dan gesit berlari. Namun, anehnya, jarak kami selalu konstan dan ia selalu nyaris mencengkeram rambutku.

Di akhir pengejaran, aku selalu jatuh ke dalam jurang yang dalam, dan saat itulah aku akan terbangun, dengan sosok monster yang masih berada di dalam kepala. Jika diubah ke bentuk tumbuhan, monster itu serupa pohon beringin berusia ratusan tahun. Setiap helai rambutnya besar-besar, sepuluh kali lipat dari kepangan Bob Marley. Tubuhnya liat dan sekujur kulitnya seperti terbalur oleh keringat yang berkerak lalu bercampur dengan daki hitam yang lama-kelamaan memerah. Monster itu adalah monster lelaki dengan gerak brutal dan penuh kemarahan.

Ketiga mimpi itulah yang kerap bersarang dalam tidurku yang lelap. Peristiwa-peristiwa puncak yang ada di ketiga mimpi itulah yang membangunkanku dari tidur, dengan keadaan yang bermacam-macam.

Siang ini aku sungguh bersyukur, sebab aku bangun hanya dalam keadaan bengong. Tidak jarang aku bangun dengan sesak di dada dan sulit bernapas. Baru setelah aku mengambil air putih dan meminumnya, serta mengambil minyak kayu putih untuk menghidu aromanya, aku bisa kembali menarik napas lega.  

Sebenarnya, aku selalu bermimpi buruk, tetapi kebanyakan tidak kuingat lagi ketika bangun. Mimpi-mimpi itu hanya berakhir sebagai folder dengan isi yang sudah tak dikenal lagi, seolah folder-folder itu memiliki tautan khusus ke Opera atau Firefox, dan untuk menyambungnya membutuhkan internet, membutuhkan kembali keterhubungan dengan alam mimpi. Apa yang tertinggal ketika aku baru bangun dari mimpi-mimpi yang lain itu hanya kesan mengerikan, tak lebih dari itu. 

Ketiga mimpi itu berbeda. Tema-tema itu hadir berulang dan selalu kuingat, mereka memiliki posisi khusus di dalam dunia bawah sadarku. Lalu, bagaimana dengan dunia sadarku? Apakah sebenarnya mimpi-mimpi itu memiliki tautan dengan hidupku sehari-hari? Dengan keluargaku, tempat tinggalku, tempatku sekolah, atau bekerja? Apakah ada hubungannya dengan kekasih atau mantan kekasihku, juga teman-temanku, atau orang-orang asing, yang tak semestinya kupikirkan, bahkan seharusnya tak perlu kulihat berlama-lama. Ya, orang-orang di jalanan, mal, pantai, bukit, kebun binatang, kafe? 

Orang-orang itu seharusnya asing dan selamanya asing; orang gila yang tak memakai celana, orang gila yang memakai topi polisi, orang gila yang berpakaian seperti sufi dengan topi panjang terbuat dari bungkus deterjen, orang gila yang membawa banyak tas kresek sampah di pundaknya, seseorang yang membacakan firman dan hadis di depan remaja yang bergandengan tangan, seseorang yang memperlihatkan alat kelaminnya kepada perempuan berhijab, seseorang yang menempelkan kertas A3 dengan tulisan soal obat terlambat haid di tembok kampus, seseorang yang pincang, seseorang yang membawa setangkai bunga liar, seseorang yang mengejek harimau, seseorang yang tertusuk bulu babi, seseorang yang membeli sebuah gantungan kunci dengan paper bag terbesar, seseorang yang bisu dan menenteng kamus Bahasa Indonesia di kereta, seorang anonim yang bertemu pandang denganku dan tak mengatakan apa-apa tapi matanya terus kuingat hingga berbulan-bulan. 

Ah, sepertinya semua berjalan baik-baik saja. Setidaknya untuk orang sepertiku yang tidak banyak menuntut dan cenderung menerima. Atau, jangan-jangan, penerimaan itu menuntut tumbal? Penerimaan yang sesungguhnya harus melalui tahap-tahap tertentu, tetapi aku malah menyederhanakannya dan berakhir dalam kalimat: “Ah, sudahlah. Tuhan maha tahu siapa yang salah dan benar.” Dan kalimat itu sejatinya menimbulkan pertanyaan, sesungguhnya perdebatan, yang aku bunuh sebelum benar-benar menjawabnya. Lebih parah lagi, sebelum benar-benar mendengarnya. 

Bila tidur dengan mimpi-mimpi seperti itu, saat terbangun, rasanya aku seperti baru menjalani olahraga sekaligus menulis skripsi secara bersamaan. Tidur yang semestinya obat lelah, menghadirkan kelelahan baru yang tidak ada obatnya.

Mimpi-mimpi itu pengecut dan segala yang ada di dalamnya juga sama pengecutnya. Mereka hanya berani mendatangiku dalam lelap, dalam ketidaksadaran, dalam kelelahan, dalam ketakberdayaan, dan tak adanya logika. Bisakah aku mengundangnya ke dunia nyata? Menyelesaikannya dan meniadakan mereka untuk selama-lamanya? Atau, meniadakan diriku? Mengundang mereka ke dunia sadarku, mengeroyokku, dan mengantarkanku selamanya untuk tidur dan tak bermimpi? Tapi, bagaimana caranya? Adakah obat, dokter, orang pintar, atau buku, untuk mengetahui dan mempelajarinya? *** 

 

– Gang Metro, 16 Januari 2021-6 April 2022

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here