Chat GPT
Sumber foto: Geotimes

Siang-siang menekik saya berdialog dengan teman saya yang pusing memikirkan revisi hingga membuatnya frustasi karena dosen selalu mencari kemahaidealan dari mahasiswa. Di tengah rasa letih terucap dengan spontan, bahwa sudah saatnya pakai Chat GPT, dicopy lalu diparafrase. Memang curang, tetapi sekarang teknologi sudah melampaui apapun. Konon, teknologi juga digadang-gadang akan melampaui manusia, ah mustahil!

Setelah dialog, dalam perjalan pulang, selalu saya memikirkan tentang topik yang menarik tadi yakni Chat GPT, yang dianggap sebagai jawaban atas segala pertanyaan. Sempat saya kehilangan fokus saat mengemudi motor, dan bertanya pada diri sendiri, jika algoritma semakin kompleks dan Chat GPT akan selalu diperbaharui, bagaimana dengan dunia kata? Apakah penulis akan mati kehilangan pekerjaannya?

Menurut saya, secanggih-canggihnya teknologi, ia tetap sebuah sistem yang diprogram. Berbeda dengan manusia yang memiliki kebebasan apapun dengan pilihanya. Terus begini, jika robot atau AI memberontak apakah ia akan bebas? Bagi saya, tidak. Teknologi adalah hasil dari endapan pengetahuan manusia yang dijadikan sebuah produk. Semaju-majunya teknologi akan tetap  mengikuti perintah sistemnya dan tidak mungkin meraih apa yang namanya kesadaran. Yang paling unik dari manusia itu adalah kesadaran. Kalau dijelaskan cukup rumit, bahkan filsafat dan psikologi pun terkadang sangat sulit menjawabnya jika mencapai titik terdalam. Karena saya juga meyakini manusia memiliki titik ketuhanan yang tidak dimiliki oleh robot.

Fenomena tersebut sama halnya seperti kita membeli sebuah smartphone, yang selalu update mesinnya atau apapun, bahkan terkadang kita juga ketinggalan. Chat GPT pun demikian, seperti produk itu tadi, tinggal yang menginginkanya bisa atau tidak mengelola dengan bijak. Karena menjadi bijak perlu yang namanya belajar. Lewat yang namanya dunia kata, terkadang Chat GPT hanya menampilkan yang baku- baku saja, tidak akan mematikan pekerjaan penulis kok. Karena titik unik seorang penulis adalah pikiran dan tulisanya di luar realitas. Ada sesuatu yang memantik dia untuk menuliskan kata.

Ngomongin soal kata, Chat GPT hanya kata algoritmik yang disusun dari data-data yang ada. Berbeda dengan penulis yang justru bebas menggambarkan apapun di dunia ini. Lihat saja contohnya seperti filsuf Nietzsche yang menggambarkan seseorang yang membunuh agamanya sendiri diibaratkan dengan membunuh Tuhannya. Itu yang radikal atau yang sangat dalam, ada juga yang santai seperti puisi pak Jokpin tentang celana yang menggambarkan arti apapun, bisa hati atau wadah, ilmu dan lainnya. Chat GPT itu tidak akan menampilkan tulisan kita, jika kita tidak menerbitkannya secara digital. Namun yang berbahaya bukan itu, melainkan kebocoran data digital, yang bisa saja digunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab secara kriminal, atau bahasa kerennya Cyber Crime.

Dunia kata untuk penulis itu sangat tidak terbatas, berbeda dengan fenomena tersebut, maka dari itu mencari makna lebih sulit daripada mencari definisi, seseorang yang mencari makna harus melewati tahapan-tahapan yang sulit, kemudian ia sadar. Seperti halnya mencuri, itu butuh waktu lama agar ia sadar, bahwa makna mencuri bagi dirinya sendiri adalah hal yang tidak bermanfaat sekali.

Aku berpesan kepada kalian yang ingin menggunakan teknologi tersebut, jangan sampai otak kalian menganggur dari namanya berpikir, ciri khas manusia adalah makhluk yang berpikir, memang sesuatu yang instan-instan itu menggiurkan, tetapi ya itu menjenuhkan aslinya. Padahal, yang nikmat adalah sebuah proses, di mana itu hasil dari diri kita sendiri, kalau hasil dari diri kita, ada suatu kebanggan sendiri untuk merawatnya.

Pernah dahulu ketika masa Pengenalan Budaya Akademik Kampus, yang diselenggarakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fuad, yang berjudul Teknologi Tumbuh Subur, Kemanusiaan Terkubur, dibahas tentang poin-poin negatif dari teknologi, ada kecurigaan dari beberapa mahasiswa, tentang ilmu yang dikelola melahirkan ilmu patokan yang terbatasi. Padahal, ilmu kan luas dan tidak dibatasi apapun, hanya saja manusia dibatasi oleh umurnya.

Menurut saya, anak-anak muda perlu diberdayakan tentang literasi digital, khususnya yang masih sekolah atau kuliah, karena itu modal ke depan mereka untuk berkehidupan tanpa mengagung- agungkan teknologi. Sama seperti halnya pedang, teknologi itu bagus untuk mencari umpan (kompetensi), atau bisa saja membunuh kita (kemalasan).

Selagi subjeknya benar dalam mengelola hal-hal yang berbau kemajuan maka gagasan dan inovasi tidak dikecilkan dengan perkembangan teknologi. Semua tergantung kepada pribadi masing-masing. Daripada berdebat tentang itu, lebih baik menuliskannya, atau menjadikanya karya yang bermanfaat menginspirasi banyak orang, itu juga yang tidak dimiliki Chat GPT, yakni inspirasi.

Kita terlalu banyak menyembah teknologi, dan lupa apa yang disebut kemanusiaan, yang tidak mungkin diraih dengan spontan, dan membutuhkan interaksi, simpati-empati, jihad, dan aksi.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here