Pada bulan April 2008, saya menjadi pembicara dalam acara teknik menulis di Averroes Malang. Di awal acara, saya membagikan kertas kepada para peserta. Setelah saya memastikan mereka mendapatkan kertas dan juga sudah menyiapkan pulpen, kemudian saya memberi instruksi.
“Semua sudah mendapat kertas?” kata saya menegaskan.
“Sudah, “jawab mereka serentak.
“Sekarang, silakan kalian membuat sebuah tulisan singkat. Cukup satu alenia saja. Tulisan itu harus menjawab pertanyaan bagaimana cara mengaspal jalan!”
“Ah, yang benar saja pak?” tanya mereka lebih lanjut.
“Benar, jangan banyak omong segera menulis. Waktu kalian cuma 15 menit saja”.
Dengan agak menggerutu, bahkan ada yang nggerundel mereka toh akhirnya menulis juga. Tapi ada juga yang masih bengong. Mungkin bingung apa yang akan ditulis.
“Ayo, segera ditulis, “perintah saya.
Setelah 15 menit kemudian.
“Sekarang kumpulkan ke saya”
“Wah, pak belum selesai nih?”
“Pokoknya kumpulkan saja. Sudah selesai atau belum”.
Akhirnya, tulisan dikumpulkan. Setelah saya baca memang terkesan lucu-lucu. Ada yang bercerita tentang mengaspal jalan yang dimulai dengan membersihkan jalan. Ada juga yang menceritakan mengaspal jalan tidaklah mudah. Ada lagi yang cerita justru kesan terhadap jalan yang aan diaspal. Setelah saya baca sekilas, saya bertanya?
“Sekarang saya akan bertanya, apa yang kalian pikirkan ketika saya menugaskan untuk membuat tulisan bagaimana cara mengaspal jalan?”
“Wah, tema itu terlalu dipaksakan, “ jawab seseorang.
“Saya tidak bisa menulis secara baik karena saya tidak pernah mengetahui bagaimana mengaspal jalan, “jawab yang lain.
“Bagaimana mungkin kita bisa mengaspal jalan? Wong kita bukan para buruh yang biasa mengaspal jalan itu, kok, ”imbuh seseorang.
Setelah saya melihat bagaimana kesulitan mereka menulis dari apa yang saya tugaskan, kemudian saya menerangkan apa yang harus dilakukan oleh seorang penulis.
Sumber Gagasan itu Penting
Seseorang tidak akan pernah bisa menulis kalau ia tidak punya gagasan-gagasan apa yang akan ditulis. Gagasan-gagasan inilah yang akan diolah dan dibuat sebuah tulisan. Jika tidak punya gagasan yang akan dituangkan, bagaimana seseorang akan bisa menulis?
Dari situ saya memahami mengapa peserta pelatihan menulis itu mengalami kesulitan ketika saya suruh menulis bagaimana cara mengaspal jalan. Ini hampir sama dengan seseorang yang disuruh menulis tentang teknologi ruang angkasa, misalnya Apa yang akan ditulis? Dari mana informasi yang bisa dijadikan bahan untuk menulis? Di sinilah diperlukan sumber-sumber gagasan.
Bagi peserta pelatihan, mereka tidak akan pernah mengalami kesulitan manakala pernah punya pengalaman mengaspal jalan. Seseorang yang pernah punya pengalaman mengaspal jalan, ia mempunyai sumber gagasan yakni pengalamannya itu. Seseorang, tentu akan mudah menulis jika ia menulis tentang pengalamannya, bukan?
Coba, Anda sekarang menulis tentang bagaimana cara mengaspal jalan dengan menulis pengalaman masa kecil. Lebih mudah mana? Saya yakin, Anda akan lebih mudah menulis pengalaman masa kecil itu daripada disuruh menulis bagaimana cara mengaspal jalan.
Barangkali Anda pernah membaca buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata? Katanya, ia tidak pernah membayangkan bisa menulis novel. Buku yang ditulisnya itu hanya untuk dihadiahkan kepada gurunya, yakni bu Muslimah. Tetapi, ia dengan gampangnya menulis karena yang ditulis itu hanya pengalaman-pengalamannya saat sekolah.
Untungnya, saat ia sekolah mempunyai sejarah yang unik, susah, penuh harapan dan cita-cita, dikelilingi oleh ketidakadilan dan semangat yang menggebu-gebu dari gurunya. Ini tentu akan sama dengan pengalaman-pengalaman Anda di Sekolah Dasar. Hanya pengalaman Anda tidak “setragis” Andrea Hirata. Tragis, hampir putus asa bisa menjadi sumber gagasannya untuk menulis.
Sumber gagasan yang lain adalah dengan membaca. Anda akan dengan mudah menulis bagaimana cara mengaspal jalan jika pernah membaca buku yang berkaitan dengannya. Anda yang dari jurusan ilmu komunikasi misalnya, akan dengan mudah menulis masalah komunikasi lisan karena pernah membaca buku tentang itu, bukan? Bagaimana dengan mereka yang tidak pernah membaca buku komunikasi lisan? Jelas, ia akan mengalami kesulitan yang luar biasa.
Masalahnya, apa yang harus kita baca? Pengalaman saya mengatakan, membaca apa saja akan berguna. Cuma, kita sering punya penyakit. Membaca hanya yang bisa menguntungkan sesaat saja. Mahasiswa yang tergolong aktivis senang membaca buku-buku yang bisa dipakai untuk aktualisasi diri dalam diskusi. Ini tidak salah. Hanya, kita tidak boleh terkungkung dengan membaca dari satu permasalahan saja. Membacalah banyak hal. Calon penulis harus yakin, bahwa apa yang kita baca akan berguna di masa datang. Cepat atau lambat.
Suatu saat, saya mengajar mata kuliah Dasar-dasar Penulisan. Saya memerintahkan mahasiswa untuk membuat sebuah tulisan, setelah saya bagikan kertas.
“Coba, silakan Anda menulis apa yang bisa Anda amati atas kehidupan malam mahasiswa.”
“Itu gampang pak, daripada disuruh menulis tentang Gender,” kata seorang mahasiswa antusias.
Sebagai catatan, minggu sebelumnya saya menugaskan mereka untuk menulis masalah gender. Kesulitan luar biasa menghantui mahasiswa semester dua itu.
Setelah mereka menulis dengan batas waktu yang saya tentukan, ternyata mereka lebih mudah menuliskan tentang pengamatan kehidupan malam mahasiswa dari pada disuruh menulis masalah gender.
Tentu saja, macam-macam hasil yang dia bisa amati. Ada mahasiswa yang sering pulang malam, bahkan dini hari karena dia kerja di diskotik. Ada juga yang jarang pulang, karena menjadi “ayam kampus” dan diajak pergi jalan-jalan. Ada juga mahasiswa yang sedang dibooking oleh dosennya sendiri. Ada yang berjam-jam nongkrong di warung kopi, diskusi, dan lain sebagainya.
Lepas dari apa hasil pengamatannya, yang jelas, pengamatan menjadi sumber gagasan untuk menulis. Maka, mengamati dengan seksama kejadian-kejadian di sekitar kita adalah hal yang dianjurkan bagi calon penulis. Akan lebih baik jika hasil pengamatan itu ditulis dalam buku harian atau diketik dalam komputer. Pengalaman, sumber gagasan.
Apakah Anda mengenal Raditya Dika? Penulis buku Kambing Jantan itu juga tak pernah membayangkan kalau catatan harian yang ditulisnya di blog bisa diterbitkan menjadi buku, bahkan sudah puluhan kali cetak ulang. Bahasanya memang kacau karena “catatan harian”. Barangkali kalau diteliti oleh ahli bahasa, ia tidak lulus mata pelajaran itu.
Tapi, kita tetap salut, ia cerdas menulis pengamatan (termasuk pengalaman) sehari-harinya dalam blog, tanpa tahu tulisan-tulisannya akan diterbitkan menjadi buku atau tidak. Yang penting, dia tetap menulis. Mungkin hanya untuk menyalurkan uneg-uneg. Bahkan, bukunya Kambing Jantan itu diangkat menjadi sebuah film. Luar biasa bukan?
Nah, calon penulis perlu meniru apa yang dilakukan Raditya Dika tersebut. Maka, perkaya sumber-sumber gagasan Anda. Tak ada cara lain. Titik.