luthfi j kurniawan

Setiap akhir tahun selalu banyak kegiatan yang sifatnya sendiri dan berkelompok. Kalau yang dilakukan secara sendiri-sendiri seringkali kegiatannya adalah muhasabah, yaitu, melakukan koreksi atau peninjauan terhadap apa yang telah dilakukan, diperbuat oleh seseorang terkait dengan sikap-perilaku termasuk merenungkan tentang kelemahan, kesalahan, dan sebagainya yang telah dilakukan selama ini. Dan tentu dari apa yang telah dilakukan dalam mengoreksi diri itu, seseorang ingin melakukan pembersihan dari beragam kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya pada masa sebelumnya.

Memang dalam kehidupan ada proses yang telah dilakukan. Dan tidak ada yang salah jika mengevaluasi diri sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku yang akan dilalui di masa-masa mendatang.

Sebenarnya hal ini adalah sesuatu hal yang normal-normal saja. Tidak perlu berlebihan. Karena sejatinya setiap manusia  memang perlu melakukan intropeksi agar selalu tahu sudah sejauhmana ia melangkah dalam kehidupan ini. Melakukan introspeksi tidak selalu berkaitan dengan ada tidaknya kesalahan, tetapi sebagai panduan bagi setiap insan manusia bahwa ia telah berjalan seberap jauh. Apakah dalam setiap perjalanannya selalu dinikmati atau dalam setiap petualangannya mengalami ketidaknyamanan. Oleh karena itu, kegiatan muhasabah menjadi keniscayaan bagi kita semua.

Dalam menjalani kehidupan setiap hari tentu tidak bisa lepas dari beragam keinginan yang dicapai. Oleh karena itu, dalam menentukan target tidak perlu berlebihan agar apa yang nantinya akan dicapai atau tidak tercapai tidak mengalami kekagetan atau terkejut (shock). Perasaaan kecewa dan gembira berlebihan bisa membuat kita lupa dari apa yang sebenarnya ingin dicapai. Pada masa lampau, banyak orang tua selalu mengingatkan kepada kita dengan petuah: “Jangan terlalu girang-bergembira berlebihan saat apa yang dilakukan sesuai dengan harapannya, dan jangan terlalu bersedih saat apa yang diinginkannya tidak sesuai dengan harapan.”

Dalam kehidupan orang jawa seringkali diungkapkan bahwa hiduplah dengan “semeleh”, hidup yang apa adanya. Hidup yang sederhana. Petuah orang tua ini menjelma harapan-harapan sebagai bagian dari doa-doa mereka untuk anak cucunya.

Kehidupan yang saat ini semakin terasa cepat dan seolah selalu penuh persaingan membutuhkan mentalitas yang sangat luar biasa untuk tangguh dalam keadaan seperti apapun. Karena kita seolah harus terus berpacu dengan keadaan. Seringkali kita alpa dengan batas kemampuan kita sendiri. Bahkan tak jarang kita melupakan bahwa dalam hidup orang membutuhkan keseimbangan.

Tanpa keseimbangan yang memadai setiap manusia tak jarang akan mengalami perubahan-perubahan perilaku. Hal ini terjadi karena memang manusia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan yang seolah menjelma sebuah keadaan atau realitas hidup yang niscaya, yang tidak bisa diubah. Artinya, manusia tersebut telah masuk dalam “perangkap” psikologis-imajinatif yang berlebih. Padahal kalau kita mempunyai alat kontrol diri atas apa yang telah kita lakukan, kita tidak akan masuk dalam perangkap psikologis-imajinatif yang berlebih.

Orang yang mempunyai alat kontrol diri yang selalu digunakan  setiap saat adalah orang yang bisa menyeimbangkan diri atas kebutuhannya sendiri. Orang itu sudah mampu menakar seberapa besar sebenarnya tenaga, pikiran, dan sumberdaya yang akan ia gunakan untuk mencapai harapan-harapan yang telah ditetapkannya.

Alat kontrol yang dimiliki oleh seseorang yang mampu mengendalikan pikiran dan tingkah laku inilah yang disebut rasa syukur. Maka dari itu, marilah kita tutup tahun ini dengan tenang. Tidak perlu hiruk pikuk. Marilah kita bermuhasabah dan memperbesar rasa syukur kita kepada Sang Pencipta Alam Semesta sebagai bagian dari doa kita bersama.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here