Sudah tertanam di benak setiap individu bahwa Barat adalah kawasan yang maju berisikan negara-negara Amerika dan Eropa. Sementara itu, kawasan Timur dipenuhi kesan terbelakang dan penuh konflik, berada di wilayah sekitar Arab, serta agama mayoritasnya adalah Islam.
Istilah Timur dan Barat sering dilihat sebagai dikotomi derajat peradaban manusia secara intelektual, kultur, bahasa, bahkan moralitas. Selain itu, statement bahwa ilmu pengetahuan terlebih dahulu datang dari Barat kemudian ke Timur menjadi alasan adanya dikotomi tersebut.
Dapat ditelisik dari narasi yang sudah mengakar bahwa Timur sebagai kawasan yang sangat jauh, tidak civilized, dan “liyan” bagi Barat. Definisi-definisi yang bertebaran soal Timur dan Barat bersifat subjektif dan hanya keluar dari satu pihak saja, yakni Barat itu sendiri.
Geografi imajinatif ini lantas menjadi salah satu praktik orientalis untuk membedakan identitas Timur dan Barat. Meminjam penjelasan Said, orientalisme bermakna sebagai tanda superioritas Atlantik-Eropa terhadap dunia Timur, yang di dalamnya terdapat relasi kekuasaan, dominasi, dan hegemoni yang kompleks.
Dampak keberadaan orientalisme sesungguhnya hanya melegitimasi hierarki peradaban antara Timur dan Barat. Dengan demikian, orientalisme bekerja dalam ruang-ruang identitas.
Kajian orientalisme oleh Said dibedah melalui dua perspektif. Pertama, menggunakan teori discourse (wacana atau diskursus) dari Foucault dan kedua, model ideologi yang disebut Gramsci sebagai hegemoni.
Orientalisme bagi Said adalah sebuah diskursus yang tak hanya berkaitan dengan kekuasaan politis, tetapi juga sebagai ajang pertukaran berbagai jenis kekuasaan. Terdapat relasi kekuasaan politis, intelektual, kultural, dan moral dalam orientalisme.
Relasi ini sejalan dengan hegemoni Gramsci. Dalam melakukan praktiknya, para orientalis terlebih dahulu mempelajari naskah-naskah tentang Timur.
Praktik tersebut selanjutnya dapat dimanifestasikan dalam kuasa-kuasa berbentuk kolonialisme dan imperealisme; mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain; kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai; serta apa yang baik dan tidak baik dilakukan oleh Timur.
Ketika hanya menilai dari permukaan saja, praktik orientalisme seumpama juru selamat yang membawa Timur ke tempat lebih baik. Akan tetapi, praktik ini justru bentuk upaya legitimasi superioritas Barat terhadap Timur.
Dune (2021)
Setelah sedikit berkenalan dengan orientalisme, selanjutnya kita perlu membahas topik utama yaitu Dune (2021) besutan sutradara Denis Villeneuve. Film ini diadaptasi dari novel karya Frank Herbert dengan judul yang sama.
Novel tersebut masuk dalam kategori heksalogi karena terdiri dari enam buku. Adaptasi Dune menjadi film bukan pertama kalinya dilakukan. Dune tahun 1984 dan 2000 sebelumnya mengalami kegagalan penceritaan karena kisahnya yang kompleks.
Dengan gambar yang didominasi tone warna sepia, Dune (2021, part one) kembali disuguhkan dan dibagi dalam format part. Film ini menceritakan tentang keluarga bernama Atreides—yang secara politis—ditugaskan untuk “memegang” planet bernama Arrakis.
Arrakis adalah sebuah planet gersang yang kawasannya mengandung spice atau rempah bubuk berbentuk gurun. Kaisar menyuruh Atreides untuk melanjutkan kekuasaan atas spice yang berada di Arrakis.
Sebelum Atreides, Arrakis dikuasai keluarga Harkonnen yang menguasai produksi spice. Harkonnen tetap ingin mempertahankan hegemoninya dan berupaya merebut kekuasaan ketika kepemilikan Arrakis sudah jatuh ke tangan Atreides.
Penguasaan ini berorientasi pada keuntungan besar-besaran yang ingin dicapai oleh Harkonnen, karena dikatakan bahwa permintaan pasar pada rempah sangatlah tinggi. Cerita di atas merupakan langgam perilaku imperialisme dan kolonialisme yang datang ke suatu kawasan nun jauh untuk mengeksploitasi paksa sumber daya alam kawasan tersebut.
Paul—diperankan oleh Timothée Chalamet—seorang pemuda sekaligus anak dari pimpinan Atreides mempelajari terlebih dahulu naskah-naskah tentang Arrakis sebelum mendatanginya. Pengetahuan ini yang membantu Paul untuk bertindak dan berlaku seperti apa nanti.
Ketika sampai di Arrakis, rombongan Atreides disambut dengan banyak pasang mata yang penuh pengharapan.
Fremen—sebutan untuk pribumi Arrakis—seolah sudah biasa didatangi imperealis untuk dijajah dan dieksploitasi rempahnya. Fremen dan spice memiliki keterikatan yang erat. Bagi mereka, spice adalah halusinogen suci yang melestarikan kehidupan dan memberi manfaat kesehatan yang sangat besar.
Kedatangan imperium kali ini terasa berbeda. Pasalnya, Paul disebut sebagai Lisan al-Ghaib atau “suara dari luar” yang dianggap mampu membebaskan Arrakis dari kesengsaraan.
Kedatangan Paul sudah diketahui oleh penduduk Arrakis dan semacam menjadi kepercayaan spiritual bagi mayoritas mereka bahwa Paul adalah seorang juru selamat. Kepercayaan tentang diskursus (discourse) ini dianggap sebagai kebenaran karena dikeluarkan oleh penguasa dan berhubungan pula dengan kekuasaan.
Sampai kemudian menyatukan bahasa dan praktik yang berkembang di kawasan tersebut.
Gambaran Dunia Timur
Beberapa bukti bahwa Arrakis sebagai kawasan Timur yang diposisikan tertinggal karena kondisi geografis dan penduduknya merujuk pada ciri khas ketimuran.
Beberapa ciri khas tersebut dapat dilihat pada dominannya gurun di kawasan tersebut; terdapat pohon-pohon kurma; penduduk rata-rata berkulit gelap dan menggunakan tudung kepala; hingga aktivitas ibadah beserta istilah-istilah Islam yang banyak dilontarkan. Selain itu, para penduduk Arrakis diperlihatkan tak berdaya dan tergolong sebagai kaum subaltern, karena berada di luar struktur kekuasaan imperium.
Mayoritas penduduk Fremen percaya bahwa Paul adalah sosok yang mampu menghancurkan kezaliman dan menegakkan keadilan bagi mereka. Dalam hal ini, tidak seperti para imperealis dan kolonialis lainnya, Paul yang kemudian menjadi pimpinan Atreides—setelah ayah dan para prajuritnya dibunuh—memiliki pilihan lain.
Pilihan yang diambil Paul adalah melakukan dekolonisasi untuk Arrakis beserta Fremen, karena ia bersama Atreides tidak datang untuk tujuan penjajahan dan eksploitasi.
Bentuk dekolonisasi yang dilakukan Paul adalah dengan cara bergabung bersama Fremen dan memperlihatkan kemegahan pikirannya. Jika ditanggapi secara skeptis, dekolonisasi tersebut dapat menjadi wajah awal untuk memulai kolonisasi dengan gaya baru.
Balutan orientalisme dalam Dune semakin diafirmasi dengan penambahan nama Paul yang nantinya akan menjadi Paul Muad’dib. Muad’dib berarti guru atau orang yang mengajarkan adab (etika dan moral).
Status sosial yang diperoleh Paul dari Fremen tak asing dengan pengkondisian kebanyakan subaltern terhadap orientalis.
Last but not least, Dune 2021 yang sering disebut sebagai film tentang Imam Mahdi ini dikatakan berhasil oleh banyak orang dan layak untuk dinikmati. Sebab, ia secara apik memanjakan mata serta mampu menyajikan kisah kompleks dari novel secara sederhana dan rapi.
Keberhasilan ini yang kemudian membuat banyak penonton akan tabah menunggu untuk part selanjutnya.