Nilai, hidup di dalam manusia. Harga, hidup di dalam barang.

Mestinya saya tak perlu menjelaskan secara panjang lebar tentang apa yang kita pahami mengenai ‘eksistensi’; sebab betapa ia telah dimengerti dan menjadi primadona dalam level kebutuhan manusia masa kini. Saya kira itu pun juga menjadi masalah bagi orang-orang berusia muda – katakanlah sebagian besar dari kamu yang sedang membaca tulisan ini sekarang.

Pertama kita harus sepakat jika kecenderungan orang-orang berusia muda dalam menetapkan orientasi hidup masih lemah, tidak tegas alias senantiasa mengikuti arus (zaman). Selanjutnya, kita harus sadar jika perubahan zaman terjadi sangat cepat akibat arus distribusi informasi yang deras sehingga membuat kebutuhan hidup pun tak pernah menjadi pasti.

Sementara itu, orientasi merupakan satu hal yang perlu ditetapkan sehingga kita bisa melakukan proses kurasi untuk memilih mana jalan yang perlu dilalui (aman) dan mana yang perlu dihindari (tidak aman) agar bisa mencapainya. Lantas, bagaimana kita bisa memilih orientasi kalau perubahan zaman sama artinya dengan perbuahan kondisi jalan yang akan kita lalui?

Orientasi pun kian abu-abu, sekali lagi: kian abu-abu. Bukan, bukan karena kita tak punya pilihan untuk mau ‘menjadi apa’, melainkan sudah kelewat banyak pilihan sehingga kita bingung harus ‘menjadi yang mana’. Dan kita tahu, semua pilihan itu berujung pada satu muara yang hari ini kita kenal sebagai muara kapitalisme. Di tengah keterpaksaan mengikuti arus menuju muara itu, dalam lubuk kesadaran yang terdalam, kita mungkin akan bertanya-tanya: “Apakah orientasi hidup saya sudah benar?”

Modernitas (julukan untuk menyebut markas kapitalisme) pun terang-terangan menjawabannya: “Sudah benar, jadilah seorang borjuis!”

Bagi modernitas, menjadi borjuis adalah satu-satunya orientasi yang dianggap ideal, sempurna—tegasnya bagi mereka yang hidup di corong perkotaan. Jarang rasanya kita—setidaknya saya—mendengar seseorang menolak mau menjadi borjuis, kecuali dari mereka yang barangkali telah menempuh jalan spiritual paling sunyi dan menyakitkan.

Walau menjadi borjuis itu gampang-gampang susah.

Alur analoginya begini; kamu pergi ke coffee shop ternama, memesan menu paling mahal, mempublikasikan pengalaman itu ke media sosial, lalu mendapatkan pengakuan dari para pengikutmu sebagai orang yang mampu memesan menu paling mahal. Dalam peristiwa ini, logika kausa berlaku: Sebab kamu membeli kopi mahal, maka kamu adalah orang kaya. Ya, tentu saja tidak selalu sesuai kenyataannya. Namun siapa yang bisa menampik bahwa kamu sudah melakukan tindak-tanduk borjuasi, dan orang-orang di media sosial sudah terlanjur menganggapmu bagian dari borjuis.

Lalu sejauh kapan anggapan itu bertahan? Tentu sejauh kamu bisa memesan menu paling mahal dan mempublikasikan pengalaman itu pada para pengikutmu. Lambat laun kamu mulai hanyut dalam pengakuan sebagai seorang borjuis, kamu merasa aman dan sukses mencapai orientasi paling ideal di kotamu sehingga kamu patut membanggakannya.

Tapi kamu perlu ingat, menu yang sebelumnya kamu beli dengan harga mahal akan jatuh harga, sebab kebutuhan zaman—(dan pasar)—berubah. Membeli menu yang sama tidak akan berarti apa-apa lagi bagimu. Kamu akan menjelahi kafe-kafe lain dan mencari menu paling mahal terbaru, membelinya, dan mempublikasikannya seperti yang pernah-pernah kamu lakukan. Terus menerus sampai pada titik tertentu, saya berani bertaruh, kamu akan lelah.

Saat kelelahan itu tiba, kamu akan (kembali) bertanya-tanya dengan nada pelan, nada yang amat pelan: “Apakah saya akan terus seperti ini?”

Kamu kesulitan menemukan jawabannya, karena kamu sudah terlanjur hanyut bersama arus yang terbentuk pasar—kamu kemudian akan berkaca menatap dirimu sendiri, dan melihat tubuhmu sudah seperti barang yang dipenuhi cantelan “price” tanpa “value”. Kamu melemah dan merasa kehilangan orientasi. Nah, kondisi di mana kamu kehilangan orientasi inilah yang kita sebut sebagai krisis eksistensi.

Kamu mulai merasa menjadi manusia paling terancam, yang tidak bisa diterima siapa pun sebab ketidak-mampuanmu mengikuti lingkungan yang sudah dikendalikan pasar itu. Kamu terpinggirkan dan sama sekali asing hingga pada satu waktu kamu sangat ingin keberadaanmu diakui kembali oleh lingkungan ideal penuh pengakuan itu. Sebab jalan pulangmu menuju titik awal sudah terhapus. Kamu tidak bisa memulainya kembali selain melanjutkan apa yang sudah kamu capai di ceruk modernitas itu.

(Akhirnya) Kamu bersusah payah—lagi—mengumpulkan uang—modal utama merakit kondisi borjuasi—,melakukan pekerjaan apa saja, membeli apa-apa yang diperlukan supaya eksistensimu tidak ketinggalan zaman terlalu jauh, demi orientasi yang kamu—(terpaksa)—anggap “kekinian” itu.

Tapi, zaman berganti. Begitu cepat. Kamu nyaris melupakan usiamu yang semakin tua, kehilangan tenaga untuk bekerja, dan sungguh ingin keluar dari kehidupan yang dikendalikan pasar itu. Kamu mulai berpikir untuk lebih baik menikmati hidup dengan sisa-sisa usia tanpa eksistensi yang berlebihan, meski agak terlambat. Lalu kamu berpikir untuk memberi pelajaran pada anak-anak muda agar kelak tidak menyesal dan menjadi sepertimu. Meski kamu tahu, anak-anak muda itu akan menganggapmu tidak lebih dari seorang lansia gila yang punya cara berpikir tidak kontekstual.

(Oh, sungguh, betapa perjalanan hidup di ceruk modernitas itu akan berakhir seperti berkendara dalam tong-setan yang hanya berputar-putar setiap hari.)

Maka bukankah tidak berlebihan kalau saya mengatakan eksistensi adalah puncak kebutuhan manusia terkini? Silakan tidak setuju. Asalkan kamu siap dianggap menjadi aneh dan diasingkan. Tulisan ini bukan ramalan, melainkan kenyataan yang—sedang terjadi dan—sulit diakui setelah kamu membuka mata.

***

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here