Saat ini arus globalisasi tak dapat dibendung. Lambat laun semua manusia akan merasakan perubahan yang sedikit demi sedikit mengikis identitas, nilai moral dan budaya. Berbicara tentang perubahan sosial budaya, film yang disutradarai Farid Dermawan berjudul “Ambu” adalah film yang cocok dijadikan referensi. Film ini bisa dibilang epik karena menggambarkan konflik batin antara tiga generasi. Bertemakan budaya suku Baduy di pedalaman Banten, film ini berhasil mendapatkan penghargaan khusus dalam Festival Film Bandung yang menyangkut tema budaya.
Film ini menceritakan tentang ibu dan anak yang pulang kembali ke rumah Ambu (sebutan ibu di pedalaman Baduy). Bisnis yang mulai bangkrut dan ketidakharmonisan keluarga membuat Fatma dan anaknya, Nona, kembali ke kampung halaman.
Namun siapa sangka bukannya keramahan yang ia terima tetapi sikap acuh tak acuh dari Ambu Misnah. Tentu banyak konflik yang hadir dan juga latar belakang tokoh yang menarik untuk diulas. Tulisan ini akan mengulas penggambaran tokoh yang mewakili karakteristik tiap generasi.
Ambu Misnah diperankan artis senior Widyawati. Ambu Misnah mewakili generasi tradisional dan kolot. Seperti kita ketahui, Suku Baduy Luar dalah suku Baduy yang sudah menerima kebudayaan dari luar namun masih memegang aturan adat. Meskipun begitu, sosok Ambu Misnah tidak berkenan menerima perubahan sama sekali. Terlihat saat ia berkomunikasi dengan cucunya, Nona. Ambu Misnah tidak senang saat Nona bermain smartphone. Ia tidak suka dengan orang luar yang membawa teknologi ke desanya. Apapun itu. Pada intinya, ia tidak suka.
Fatma diperankan Laudya Chintya Bella. Fatma mewakili generasi sandwich, yakni generasi yang berada di pertengahan antara generasi tradisional dan generasi milenial. Generasi ini bisa dibilang masih menerima adat dan identitas budaya namun juga terbuka dengan perkembangan zaman.
Fatma sebagai anak Anbu Misnah sudah beralih keyakinan. Ia memeluk agama Islam dan menikah dengan orang Jakarta. Namun pernikahannya sama sekali tidak direstui oleh Ambu Misnah. Ia kabur untuk menikah dengan mahasiswa yang pernah berkunjung ke kampungnya. Bertahun-tahun Fatma hidup di Jakarta dan memiliki keluarga. Hingga suatu hari keharmonisan rumah tangganya retak karena sang suami yang cenderung mengandalkan penghasilan Fatma.
Adapaun Nona, diperankan oleh Lutesha Sadewa. Nona mewakili generasi milenial yang cenderung tidak peduli dengan identitas budayanya. Ia adalah remaja yang tenggelam dalam kebebasan bergaul, acuh terhadap nilai nilai kesopanan dan lebih bersifat menerima segala perkembangan. Sifatnya yang nakal dan kasar mewakiili sifat remaja yang tumbuh di daerah perkotaan. Nona menggambarkan anak yang tumbuh tetapi luput dari pola asuh. Ibu yang sibuk bekerja dan sering bertengkar dengan bapaknya membuat Nona kurang mendapat kasih sayang. Apalagi Fatma sebagai ibu kurang terbuka dengan identitas dirinya sebagai suku baduy yang melarikan diri. Hal itu menyebabkan rasa ketidakpercayaan Nona pada Fatma sebagai ibunya.
Film Ambu mengajarkan betapa pentingnya komunikasi antar keluarga agar tidak terjadi salah paham. Komunikasi adalah kunci penting yang dibutuhkan setiap anggota keluarga.
Bukan tanpa sebab, keluarga merupakan tempat belajar pertama anak menjadi makhluk sosial. Karakter anak pun terbentuk dari komunikasi dalam keluarga tersebut. Dalam film Anbu hal ini bisa dilihat dari Nona yang selalu berkelakuan kasar pada orangtuanya baik ucapan maupun tindakan. Kurangnya komunikasi berakibat kurangnya rasa dicintai oleh Nona. Tak ayal Nona lebih menggantungkan dirinya pada sosok Jaya pemuda Baduy yang baru ia kenal.
Film Ambu mengingatkan betapa pentingnya berbakti kepada orangtua. Karena bagaimanapun, restu orangtua diperlukan di setiap langkah. Orangtua tentunya memahami anaknya lebih baik daripada orang lain. Fatma yang kabur ke Jakarta demi meraih cintanya ternyata menderita. Ia dibutakan cinta pada seorang pria dengan janji manis dan justru meninggalkan Ambu Misnah yang telah membesarkannya. Benar saja pria yang ia nikahi tak berguna dalam mencari nafkah dan hanya mengandalkan dirinya.
Film ini juga mengajarkan bahwa sebenci-bencinya ibu pada anaknya mereka akan tetap sayang juga. Ibu adalah tempat kembali. Ibu juga adalah tempat meminta doa. Jangan sampai menyakiti hatinya. Penonton dijamin akan disuguhkan konflik batin yang ciamik dibalut nuansa budaya Baduy yang jarang diekspos dan diangkat ke layar lebar.