Sebelum dikenal luas karena kejayaan Nomadland (2020) di Academy Awards ke-93 pada 2021 lalu, Chloe Zhao pernah merilis dua film indie bertajuk Songs My Brothers Taught Me (2015) dan The Rider (2017). Keduanya memotret kehidupan orang-orang pribumi Amerika yang tinggal di kawasan reservation di South Dakota, Amerika Serikat. Sama seperti Nomadland, dua film ini menyajikan bentang alam Amerika yang khas dengan tanah lapang dan langit yang bertautan.
Saya jujur terkesima dengan caranya memahat cerita dengan elemen etnografi seperti ini. Mengingatkan kita pada Trilogi Koker (Where’s the Friend’s House?, And Life Goes On, dan Through the Olive Trees) milik Abbas Kiarostami yang berlatarkan sebuah pedesaan di Iran.
Songs My Brother Taught Me berkutat pada dua bersaudara Jashaun dan Johnny. Keduanya besar bersama ibu mereka di sebuah rumah sederhana. Ayah mereka absen dan baru dibocorkan identitasnya saat upacara pemakaman. Pada fase itu pula, baru kita tahu kalau dua kakak beradik itu punya belasan saudara tiri dari ayah mereka yang punya beberapa istri.
Seperti anak muda lainnya, Johnny yang beranjak dewasa beraspirasi untuk pindah ke kota besar. Didorong pula oleh pacarnya yang diterima di sebuah kampus di Los Angeles. Ia sendiri yang tak berniat melanjutkan kuliah atau memang tak punya dana berencana mencari kerja di sana agar tetap bisa bersama kekasihnya. Jashaun yang beberapa tahun lebih muda, terlihat kecewa dan sedih mendengar rencana kakaknya, tetapi memilih untuk diam.
Kamera kemudian fokus pada Jashaun yang mencoba menemukan penghiburan dari rasa sedih dan kehilangannya. Salah satunya dengan memperluas pergaulan dan menghabiskan waktu di luar rumah. Tak selalu berjalan mulus, tetapi ia berhasil belajar memilah dan memisahkan mana orang yang membawa pengaruh buruk dan baik dalam hidupnya.
Beda dengan film coming-of-age Amerika pada umumnya yang fokus pada kisah cinta dan seksualitas, Songs My Brother Taught Me fokus pada perkembangan psikologis anak menuju remaja. Ini membuatnya terasa lebih autentik, natural, dan relatable dengan isu sehari-hari. Pada satu waktu, Zhao menambahkan momen-momen heartwarming. Terutama ketika Jashaun akhirnya membangun koneksi dengan saudara-saudara tirinya.
Film kedua, The Rider menyorot kehidupan para horse rider atau atlet rodeo yang sarat maskulinitas. Lakonnya Brady, seorang rider muda yang menderita cedera kepala sedang usai mengalami kecelakaan saat bertanding. Ini membuatnya mengidap beberapa gangguan syaraf dan kejang yang bisa kambuh kapan saja. Namun, Brady dikelilingi orang-orang yang cenderung meremehkan cedera dan justru menjadikan riwayat kecelakaan saat rodeo sebagai kompetisi bahkan sumber kebanggaan.
Itu, ditambah kecintaannya pada rodeo sempat membuat Brady nekat tetap melanjutkan kariernya, melawan saran dokter yang sudah mewanti-wantinya. Namun, Brady sadar ia tak bisa mempertahankan mimpinya dan harus membuat keputusan dengan hati-hati. Ia mencoba menekuni pekerjaan lain yang relatif lebih aman dan stabil. Pada waktu luangnya, Brady sesekali mengunjungi sahabatnya sesama rider yang bernama Lane. Tak seberuntung dirinya, usai kecelakaan, Lane mengalami cedera otak permanen yang membuatnya harus tinggal di panti rehabilitasi.
The Rider sendiri memadukan kisah nyata dengan dramatisasi. Persis seperti yang dilakukannya di Nomadland. Ada beberapa aktor yang memerankan dirinya sendiri seperti Lane Scott dan beberapa rider lain. Format docudrama ini unik dan belum banyak dilakukan sutradara lain.
Kedua film indie Chloe Zhao sebelum Nomadland tadi disebut-sebut sebagai studi karakter yang menawan dan kontemplatif. Bagian akhirnya pun memuaskan, selalu ada closure yang menutup sempurna balada yang ia buka. Chloe Zhao memang punya tangan ajaib saat menggarap cerita-cerita realis minimalis.
Saat merambah genre action-superhero di Eternal (2021), Zhao justru dapat hujatan. Karyanya dibilang lifeless dan kurang gereget. Padahal menilik karya-karya sebelumnya, sinema arahan Zhao selalu hidup dan menggugah. Saya berharap Zhao membuat film-film seperti karya-karya awalnya ketimbang memaksakan diri masuk ke pasar mainstream. Sama seperti Hirokazu Koreeda, Aki Kaurismaki, dan Abbas Kiarostami yang setia dengan genre minimalis kontemplatifnya.