Kadang saya senang melihat komedian yang sudah terkenal. Alasannya beberapa dari mereka, bobot ceritanya menarik, atau cara pembawaannya yang kuat. Sedari SMA, saya suka Dodit Mulyanto. Ceritanya remeh, temanya sederhana, tapi punchlinenya terasa kuat dari pembawaan suara, gestur, ekspresi wajah yang dibuat konyol, dan sesekali instrumen biolanya membantu. Setelah generasi Dodit, siapa yang mampu menandingi kesederhanaan humornya. Entah, saya merasa ada penurunan kualitas komedi setelah Dodit. Bintang Emon? Cara dan materi lawakannya kerap saya temui di tongkrongan rumah. Hanya patut diacungi jempol keberaniannya.
Posisi Komedian dalam struktur sosial, agaknya memang mendapat posisi khusus. Satu atau dua bulan setelah seorang komedian selesai audisi, sila cek berapa siginifikan rate mereka di media sosial meningkat – tanpa menafikan beban kerja yang mereka miliki. Dunia streaming televisi, sebelum digital streaming lain tinggi seperti ini, hampir sebagian layanan berisi hiburan. Hiburan lawak salah satu layanan paling tinggi yang bisa kita nikmati. Mulai dari Srimulat sampai ke Opera Van Java. Karena itu, posisi komedian patut diperhitungkan sebagai profesi yang melahirkan nilai-nilai dalam masyarakat, budaya popular dan lagi konstruk wacana dominan yang ada dalam masyarakat.
Dalam dunia perfilman, genre komedi belakangan juga semakin banyak diproduksi. Pegiat film komedi, sebagai budaya popular, tentu kita takkan melepas pengaruh film-film sebelumnya, seperti Warkop DKI dan Bajaj Bajuri. Komedi khas rakyat. Umpatan-umpatan pada pemerintah, keresahan sosial yang diluapkan secara lepas, dan banyolan harian. Tapi bagaimana mengukur sebuah film, baik dari naskah cerita, teknik komedi, dan sinemanya berkembang. Kita tahu, komedi hari ini semakin beragam, kendati dalam beberapa aspek saya kurang senang. Seperti mutu komedi Coki Pardede, yang menjadikan gestur disabilitas untuk kampanye politik. Atau baru-baru ini, humor seksis yang dilayangkan pada Najwa Shihab pada peristiwa kampanye politik.
Mula-mula memang sebagian besar film genre komedi yang mengangkat tema segar berasal dari orang-orang berpendidikan. Mereka yang memiliki waktu lebih, akses yang lebih luang, dan lingkungan yang mendukung. Sebagian besar mereka, seperti Warkop DKI adalah Mahasiswa. Hari ini, barangkali film-film itu sudah masuk ranah industri. Banyolan harian dan keresahan sosial, agaknya hari ini lebih luwes. Meski sebagian plot film-film Genre Komedi notabene absurd. Sejauh ini, barangkali My Stupid Boss adalah drama komedi terbaik yang dimiliki Indonesia. Lawakan sederhana tapi berisi. Ada asumsi serampangan saya, film ini sedikit banyak tersentuh dari narasi film 3 Idiots, meski tentu saja jauh.
Begini: Kita boleh tertawa, dalam segala hal yang menurut kita lucu. Seperti meme dan video yang berseliweran dalam laman media sosial. Tapi barangkali, kita belum mengecap perasaan komedi yang berisi. Mengambil isu permukaan, memelintirnya menjadi komedi, menghancurkan kebenaran selepas lalu, tapi setelahnya, tawa kita tak meninggalkan jejak yang membekas. Jejak komedi ini, adalah sebuah paradoks yang membekas dalam kehidupan kita. Sebenarnya komedi macam ini lazim ditemukan dalam tradisi rakyat. Misalnya komedi yang biasa dibawakan oleh kyai-kyai kampung, yang seringkali mengecoh keimanan umatnya. Seperti yang paling masyhur, komedian, kyai kampung sekaligus presiden Indonesia, yaitu Gus Dur. Sudah berapa penulis cerita, baik dalam karya sastra, atau film yang mampu mengangkat humor Gus Dur yang menyasar segala aspek relasi sosial kita dengan petanda yang kita yakini.
Ketika kita mendengar lawakan Gus Dur, misalnya yang masih relevan bagi Indonesia hingga berabad kemudian, barangkali punchline dahsyatnya tentang Polisi. Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, pertama patung polisi, kedua, polisi tidur, ketiga polisi Hoegeng. Kita tahu, hari itu, Gus Dur sudah mencapai label komedian setara dengan Sule barangkali, tapi ia sekaligus seorang yang memiliki otoritas. Seorang Presiden. Bayangkan, otoritas yang dihancurkan oleh kausanya sendiri. Gus Dur seharusnya menetapkan norma, tapi dia ingin “membuat yang asing menjadi dekat”. Polisi baik, kita tahu, adalah citra yang paling dekat digambarkan oleh Negara. Tapi Gus Dur sebagai orang negara, justru membelokkan citra itu menjadi dekonstruksi nilai baru, seolah ingin mengatakan, “Jika ingin jadi polisi jujur, ikutilah jalan Hoegeng, atau jangan jadi polisi sekalian”.
Lawakan berisi, adalah lawakan pertama yang memiliki pelintiran isi dari nilai umum. Nilai yang asing, diberi ruang untuk mendekat pada yang umum. Sehingga apa yang kita yakini, dalam catatan Tearry Eagleton dibenturkan sehingga terjadi perubahan pandangan yang spontan dan singkat. Prosesnya ada makna yang tergelincir dan ketidakcocokan yang kuat. Kasino dalam sebuah adegan film, pernah melakukan ini. Ia sebagai Mahasiswa, yang sebagai kelas sosial jauh dari rakyat, membuat relasi Mahasiswa dekat dengan rakyat dalam waktu bersamaan, ketika Nepotisme terasa lazim era Orde Baru. Ah, udah gausah lu pikirin, lagunya anak orang kaya, kayak duit bapaknya halal aja. Relasi antara kekayaan dan kuasa bapak runtuh, ketika Kasino melempar Punchline demikian.
Adakah film yang melampaui kedua itu? Barangkali kelak ada. Film-film komedi, selain keresahan sosial, ada beberapa aspek detail lain yang belum disasar oleh film. Seperti misalnya, pengetahuan di luar keresahan politik elektoral. Seperti misalnya, komedi tentang kuasa pengetahuan dan Bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Kritik banyolan tentang Agama dan Sains misalnya. Adakah yang memuat ini? . My Stupid Boss barangkali berusaha, tapi itu hanya sekedar sampai pada aktivitas konyol seorang dosen. Dalam dialog, kita belum menemukan satir tentang pengetahuan, yang membuat keyakinan kita runtuh sebagain, atau bahkan keseluruhan.
Young Sheldon menjadi komparasi menarik, untuk melihat permasalahan komedi di Indonesia. Sebagai acuan komparasi, sejauh mana label seorang komedian mampu menjamah materi di luar mainstream. Materi lain yang hanya bicara tentang umpatan pada Pemerintah misal. Padahal saya kira, hari ini banyak materi kaya yang bisa digarap oleh Komedian Indonesia. Barangkali berkah ketika kita menyelesaikan serial Young Sheldon sebagai perantara penting untuk mengembangkan dunia komedi film di Indonesia.