Di setiap akhir pekan, kegiatan sosial saya sudah terjadwal dengan baik. Entah hanya menghadiri undangan atau pun diundang sebagai pembicara untuk beragam kegiatan yang temanya tidak beragam. Untuk urusan gagasan saya hanya membatasi diri pada hal-hal yang menjadi keminatan dan basis pengetahuan saya. Jika undangannya di luar hal yang saya ketahui dan di luar minat saya, dengan lugas dan terang saya akan menolaknya dengan baik. Masih banyak orang lain yang lebih mampu dari saya pada isu-isu tertentu.
Pada pekan terakhir di bulan Juli lalu saya mendapatkan undangan dari dua organisasi sosial yang berbeda. Dalam kedua acara tersebut saya didapuk menjadi pematik diskusi dan satunya ditulis sebagai narasumber.
Singkat cerita, acara dibuka oleh pembawa acara dan diikuti dengan pembacaan susunan acara mulai dari menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya disambung dengan mars organisasi yang mengundang. Saya ikut bernyanyi melalui lirik yang ditampilkan pada layar. Setelah itu, ada acara sambutan pimpinan organisasi dan disambung oleh pidato dari salah satu tokoh yang datang dari induk organisasinya, dari ibu kota republik Indonesia, Jakarta, kemudian disambung dengan acara penyerahan penghargaan dan pemberian testimoni dari beberapa orang yang dianggap berjasa bagi organisasi tersebut.
Acara pembukaan memakan waktu satu jam lebih. Acara pembukaan diakhiri dengan doa bersama dan dibuat jeda sebentar sekitar lima belas menit untuk menikmati kopi dan kudapan yang telah disediakan oleh panitia. Praktis acara dimulai pukul sembilan pagi. Di dalam undangan, tertera susunan acaranya akan selesai pukul duabelas siang.
Pada saat acara dimulai, jam di dinding aula menunjukkan pukul sembilan lebih duapuluh menit karena harus menunggu undangan dari Jakarta. Panitia yang telah menggunakan atribut organisasi dan menggunakan tanda pengenal yang keren saat saya tanya kapan acara akan dimulai menjawab bahwa peserta undangan yang ditunggu sedang sarapan soto yang sangat terkenal di kota Malang.
Setelah sekian saat minum kopi dan menikmati kudapan dengan selingan bincang-bincang ala kadarnya bersama kolega yang telah saya kenal maupun orang yang baru saya kenal. Kemudian saya dihampiri oleh seorang panitia perempuan yang menyampaikan bahwa acara akan dimulai.
Tanpa sengaja karena refleks, saya mengeluarkan telepon genggam dan melihat jam telah menunjukkan pukul sepuluh lebih empat puluh delapan menit. Artinya, satu jam lebih empat puluh delapan menit waktunya habis untuk acara pembukaan formal acara. Dan sisa waktunya tinggal satu jam lagi, jika sesuai dengan susunan acara yang telah ditetapkan melalui undangan.
Benar dugaan saya, begitu kami duduk di kursi yang disediakan panitia, saya menoleh ke kanan dan kiri, total jumlah yang duduk di depan ada empat orang bersama moderator. Kegiatan diskusi dibuka oleh moderator perempuan yang tadi mempersilahkan saya untuk segera memasuki ruangan saat menikmati kopi.
Pembukaan diskusi cukup baik dan menarik karena moderatornya menyampaikan dengan lugas, tangkas yang diselingi dengan mengutip pemikir-pemikir ekonomi politik dan kebangsaan di awal abad revolusi industri. Setelah pengantar selesai oleh moderator, narasumber diminta untuk menyampaikan gagasannya dalam sepuluh menit.
Sehingga tiga orang membutuhkan tigapuluh menit. Ini secara konsep. Namun dalam pelaksanaannya, waktu melampaui tigapuluh menit. Jadi total waktu yang digunakan oleh tiga narasumber dan moderator menjadi sekitar empatpuluh delapan menit.
Padahal sisa waktu untuk diskusi setelah pembukaan acara tadi tersisa hanya satu jam dan itu sudah digunakan oleh moderator dan narasumber sekitar empatpuluh delapan menit. Sisa waktu untuk diskusi adalah duabelas menit. Tentu sisa waktu yang sempit ini hanya akan menghasilkan proses diskusi ala kadarnya.
Terlepas dari proses pembagian waktu di atas, dalam setiap acara atau kegiatan pertukaran intelektual seperti diskusi dan sejenisnya, waktunya kerap habis digunakan oleh acara-acara formalitas dalam pembukaannya. Sehingga esensi diskusi yang semestinya menjadi forum istimewa dan serius untuk menyampaikan gagasan dan memecahkan suatu masalah tidak terlaksana. Tidak sedikit forum-forum atau acara seperti yang di atas waktunya terkuras habis hanya sekadar untuk pembukaan acara yang notabenenya lebih banyak berisi informasi, permohonan maaf dari penyelenggara kalau kegiatan ini dilaksanakan dengan waktu yang terbatas maupun hal lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan topik acara diskusi yang akan dilaksanakan.
Sehingga pada saat selesai acara saat rehat dan dijamu makan siang oleh panitia, saya berseloroh dengan teman saya yang juga kebetulan menjadi salah satu narasumber dengan mengatakan bahwa, sebenarnya kita diundang ini, untuk makan siang, karena jamuannya luar biasa melampaui ekspektasi saya. Pernyataan saya yang sempat didengar oleh hadirin di ruangan yang eksklusif tersebut akhirnya disambut dengan derai tawa Bersama. Seseorang menyeletuk bahwa kalau situasinya masih formalistik dan banyak basa basi maka kita masih berada di Indonesia… Selamat bahagia.