Adik dari Rihcard 1 Raja John naik tahta menjadi raja pada tahun 1199. Sayang kekuasannya tidak berjalan baik dan ia kerap menuai kekalahan, khususnya kekalahan besar dari Prancis. Rentetan kekalahan yang dialami oleh John, menimbulkan keraguan besar Rakyatnya, sehingga mereka menuntut agar penentuan Raja turut mendengar suara Rakyat biasa. Tetapi rakyat tidak memiliki kuasa untuk menyuarakan pendapatnya. Raja pada waktu itu, memiliki kuasa absolut atas masyarakat. Bahkan institusi keagamaan pun berada di bawah raja, dan hanya dipanggil bila memerlukan fatwa guna kepentingan kekuasaan. Puncaknya Paus, yang merasa kekuasaan John kurang baik, bersekutu dengan baron-baron pada masanya untuk menekan kontrak perjanjian. Setelah itu, perjanjian Magna Charter lahir (1215). Berdasarkan catatan sejarah versi Barat, kelak Perjanjian Magna Charter inilah yang menjadi pijakan dasar Hak Asasi Manusia (HAM) era Modern.
Pada masa yang sama, Nusantara masih dalam kuasa Sriwijaya. Apakah Sriwijaya sudah mengenal Konstitusi, kontrak sosial, masyarakat seperti Monarki Barat. Belum. Karena pada waktu itu, hierarki sosial di Nusantara dalam Kawasan kuasa Sriwijaya masih terpengaruh sistem kasta dalam agama Hindu. Dengan kata lain, produk HAM yang hari ini dianut oleh Negara Indonesia, agaknya memang mengacu pada HAM versi Eropa, meskipun HAM adalah barang baru dalam peradaban Nusantara. Kendati konsep HAM pada masa Kolonialisme Belanda sudah digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Melalui lembaga hukum yang berdiri, ada beberapa bangsawan pribumi yang sudah memperoleh pengetahuan tentang HAM dari Pemerintah Hindia Belanda guna mempermudah akomodasi kepentigan Kolonialisme mereka. Salah satu tokoh masyhur pada saat itu antara lain adalah Koentjoro Poerbopranoto.
Koentjoro Poerbopranoto adalah bangsawan Indonesia yang kelak banyak terlibat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Nasional Indonesia dalam membangun teks-teks Konstitusi. Setelah merdeka, Koentjoro menjadi dekan dan pengajar di Universitas Surabaya sampai meninggal (1977). Berdasarkan catatan arsip Ketatanegaraan Indonesia, Koentjoro juga merupakan peletak dasar konsep-konsep HAM di Indonesia. Masalahnya adalah, situasi pada masa Koentjoro hidup masih penuh dengan nuansa gejolak Revolusi. Berdasarkan amatan beberapa pakar ketatanegaraan, sebenarnya Indonesia belum banyak memiliki tokoh yang fokus dalam kajian bidang HAM. Belum lagi, masalah hukum yang terjadi pada masa Orde Baru banyak merubah bangunan dan kehendak awal Indonesia sebagai Negara Hukum. Sekalipun ada pakar Ketatanegaraan dan HAM, seringkali tokoh tersebut menjadi alat kekuasaan. Bukan sebagai pemegang arus tegak sebuah hukum.
Hari ini, Indonesia sudah mencapai tahap Reformasi, setelah banyak gejolak kenegaraan dilalui. Cita-cita Reformasi Hukum, antara lain menjadi fokus utama cita-cita Reformasi. Dasar yang diinginkan untuk mengakkan Supremasi Sipil dan HAM. Bangunan dasar hukum yang sudah ditulis Koentjoro sebagai peletak dasar Hukum di Indonesia barangkali sudah redup. Hari ini, ketika masyarakat Indonesia bicara tentang HAM bukan nama Koentjoro yang disorot melainkan Munir Said Thalib. Advokat, pakar hukum HAM, sekaligus aktivis yang kerap mengawal kasus-kasus kekerasan Negara.
Salah satu prestasi terkenal dari Munir sebagai Advokat adalah kasus HAM Negara Indonesia di Timor Timur. Karena hasil penelitian yang dilakukan Munir, ia dianggap sebagai musuh besar Negara, khususnya dari kelas-kelas MIliter. Nama Munir menjadi Legenda dan Ikon seberapa jauh Hukum di Indonesia berlaku. Akan tetapi, banyak orang mengenal nama dan ceritanya, sementara tulisan dan gagasan yang pernah ia tulis jarang ada yang tahu.
Buku ini adalah hasil kontemplasi dan pemikiran Munir. Buku ini menjabarkan hasil-hasil kerja advokasi dan refleksi dirinya selama mengawal kasus-kasus HAM, khususnya mengenai Hak Buruh di Indonesia. Buku ini juga yang menjelaskan refleksi Munir dalam pemikirannya tentang Hukum selama mengawal kasus Marsinah. Jauh sebelum Mahfud MD dinobatkan sebagai Profesor di bidang Politik Hukum, Munir lebih dulu menulis gagasan ini, sambil menukil dan membandingkan proses demokratisasi negara-negara di Asia. Ia menjelaskan bagaimana produk hukum tidak hadir secara positivistik, jatuh dari langit, melainkan melalui proses politik demokrasi yang panjang.
Buku ini sarat analisis tajam mengenai ketimpangan produk hukum. Produk hukum yang dimaksud adalah, proses kesadaran masyarakat sebagai rakyat yang hidup dalam negara hukum. Belum terbiasanya masyarakat akan pengalaman demokrasi, menyebabkan Munir mencari tahu gejala-gejala apa yang sebetulnya dominan sehingga menyebabkan rakyat sulit beradaptasi dengan Negara Hukum yang Demokratis. Biasanya buku yang mengulas Demokrasi akan selalu dibenturkan dengan transisi sistem sosial di Indonesia dari Feodal menuju Kapital. Memang Munir mengulas ini, tapi menariknya ia menyoroti dalam konteks Politik Hukum. Buku ini layak dibaca sebagai komparasi cita-cita Reformasi hari ini dan arus perubahan politik Negara dalam tingkat lokal maupun global.
Nama Buku: Gerakan Perlawanan Buruh
Penerbit : Intrans Publishing