Mulai dari aktivitas seni publik, seni musik, sampai pegiat lowriderr turut ambil bagian suara bising Kota Yogyakarta dalam hari terakhir acara Serentak Bergerak bagian dua (24/2). Serentak Bergerak persembahan Authenticity ini untuk kedua kalinya kembali digelar di Yogyakarta selama empat kali dalam bulan Februari 2024. Sebelumnya, Serentak Bergara bagian pertama diadakan pada Januari dalam tiga hari berturut. Sementara pada bagian kedua, Serentak Bergerak dilaksanakan selama empat hari.
Bersama komunitas-komunitas yang ada di Jogja, acara Serentak Bergerak ini turut menghadirkan aktivitas yang di luar musik dan tetap asyik, macam pop-up market, pameran fotografi, stand up comedy, dan bahkan kegiatan yang terbilang baru, yaitu komunitas Lowrider yang ikut memeriahkan graffiti performing dari kolektif grafiti. Penampilan kolektif grafiti ini, tidak sepeti biasa ditemani oleh Skate ata BMX, mereka justru dihiasi oleh sepeda tua nyentrik.
Saya akan menyoroti bagaimana aktivitas bermusik di hari terakhir Serentak Bergerak yang berlokasi di JNM Bloc. Alasannya, lokasi yang dipilih tampak berbeda dari yang biasanya diadakan di coffee shop, selain karena tempat, dalam Serentak Bergerak kali lini, penampilan The Backdoor Hours sebagai wakil dari band berisi personil perempuan penuh di tengah band yang diisi oleh lelaki turut mewarnai warna feminitas yang kuat dengan kecenderungan musik popular. Selain The Backdoor Hours, yaitu The Peal, Band Rock dengan satu single ini sedang menuju proses melahirkan debut album dan lebih dulu mencoba tampil di panggung ini.
Memilih JNM Bloc sebagai tempat penyelenggaraan Serentak Bergerak bagi saya, adalah pilihan yang baik, karena sejatinya entitas ini memiliki benang merah dengan M Bloc Space (Jakarta) dalam pengelolaan ruang kreatif untuk seni dan budaya. Ini adalah tempat perhelatan dan pertemuan berbagai acara kesenian, seperti pameran, konser musik, dan kegiatan lainnya. Acara bergengsi seperti ARTJOG pun telah mengamankan JNM Bloc sebagai wilayah teritorinya.
Kalau kita melihat M Bloc Space dulunya adalah sebuah komplek bekas Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) yang disihir menjadi ruang kreatif dengan venue musik untuk komunitas-komunitas lokal, maka sama halnya dengan JNM Bloc yang lanskap awalnya adalah gedung Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada tahun 50-an, kemudian berubah menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) di tahun 80-an, dan saat ini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang berdiri di Sewon sejak 1998.
Pelaksanaan Acara ini sebetulnya mundur karena aktivitas hujan turun tidak bisa diganggu. Meskipun pada pukul 19.00 suara siaran dari Mic sudah berbunyi, seolah menandakan acara sebentar lagi berlangsung. Tetapi baru pada pukul 20.00 lah, mikrofon sang mc baru berbunyi dan segera memanggil The Peal. The Peal maju melancarkan aksi dengan introduksi yang cukup menarik, intro yang seolah ingin menyampaikan Serentak Bergerak sebentar lagi mulai. Sialnya, saat itu saya sedang makan sate kambing di depan pintu gerbang JNM Bloc untuk mengisi amunisi sebelum berteriak along dan berlompat ria.
Mendengar dentuman drum berbunyi, rasanya seperti sedang dimarahi karena terlambat datang. Benar saja, tiba di depan panggung, The Peal menyanyikan satu lagu di album perdananya — tepat saat lirik ‘Budak Sosialita / Tah* Anj*ng’. Kena, Saya!.
The Peal adalah grup musik yang lahir pada tahun 2021, di sisi selatan Kota Yogyakarta. Pada acara kali ini, karena debut albumnya belum jadi , The Peal hanya membawakan single “Berbahagialah”, Meskipun hanya membawa satu, pengalaman belia band ini tampil di panggung yang sempit telah membuat siapapun tergerak untuk menikmati lebih dekat, dan merasakan nikmatnya ruh band tersebut. Lagu ini sekaligus menjadi aksi penutup mereka.
Kursi dan meja panjang kayu, serta mini amphitheater yang menghadap ke pohon beringin menjadi tempat para penonton kembali duduk sembari menunggu persiapan The Ring. Sisi depan panggung tampil lenggang, tak ada penonton yang berdiri di sana. Namun, saat pattern march sang drummer yang disambut gemuruh distorsi, menyala, penonton kembali melaju ke arah panggung.
Gaya bermusik The Ring mengarah pada musik hard rock dengan vokal agresif, riff gitar yang terdistorsi, bass yang berjodoh dengan drum, dan terkadang bermain riff dibantu bising simbal.
Di sisi kiri panggung, saya melihat om bule dengan topi koboi, celana jogger pendek yg dilengkapi baju batik ungu, terlihat asik menganggukkan kepala dan bergoyang badan, menikmati suara bising dari speaker yang tepat berada di sisi kirinya. Pecah!
Masih di tengah pertunjukan The Ring, ada tiga abang-abang bertegur sapa dengan rekannya di tengah jalanan arena depan panggung yang membuat saya ingin berkata “bukan muka kalian yang ingin saya tonton, Bang”. Haha.
The Ring tampil percaya diri. Mereka menunjukkan taringnya melalui vokal yang teriak dengan efek reverb delay, bass yang menantang, genjrengan yang garang, serta beat drum yang berisik tapi asik. Permainan tutti sextuplet mereka sangat serasi. Apik!
Semakin malam, semakin seru. Para kawanan terlihat meneguk minuman yang langsung menghantam tenggorokan. Ada yang beneran minum air, ada pula yang minum air beneran. Perairan di kancah musik underground memang tak pernah kehilangan eksistensinya.
Di bawah sorot lampu biru, kehadiran grup musik Lost Stroom menyihir setiap sudut ruangan. Kalau para band di awal cenderung memainkan distorsi yang bising, Lost Stroom membawa suasana ramah dengan musik ska mereka yang menggoyangkan tubuh siapapun yang sedang duduk, bercakap dengan kawan, membeli kopi, hingga yang di kamar mandi — semua berlarian menuju panggung, ada juga yang datang sambil berjoget ala-ala ska. Akhirnya, penampilan mereka berhasil membuka aksi crowd surf.
Ditutup dengan lagu andalan, “Jogjakarta”. Penampilan keempat ini sangat pecah. Antusias penonton yang menyala-nyala dengan aksi crowd surf, membuat seorang bapak keamanan turun gunung mengamankan sisi depan panggung yang terlanjur berlumur penonton. Ya, memang sudah risiko panggung tanpa barricade akan dirusuhi penonton. Walaupun demikian, inilah yang membuat rasa intim itu terjadi. Mereka menjadi lebih dekat. Tapi tenang, semua aman terkendali di bawah kendali si bapak. Hormat!
Sambil menikmati persembahan lagu, sebagian pengunjung juga terlihat meluncurkan langkahnya menuju garasi makanan dan minuman seperti eighteen coffee, filosofi kopi, kedai pizza, sampai lapak tato temporer juga terlihat sibuk melayani kanvas kulit pelanggannya. Di antara mini amphitheater dan panggung pertunjukan, para bomber – sebutan pelaku grafiti – telah usai menuntaskan pekerjaannya. Hasilnya? rancak bana!
Usainya kegiatan menyemprot pilox ke dinding bak kanvas, menandakan pertunjukan akan segera berakhir. Di atas panggung, The Backdoor Hours sudah bersiap. Band ini terdiri dari tiga puan yang berbasis pada aliran indie pop. Di tengah pertunjukan yang sedari tadi penuh dengan teriakan dan crowd surf, arena panggung milik The Backdoor Hours tampil dengan banyak ruang kosong, tak banyak aksi, dan terlihat tenang. Saya rasa itu bukan masalah. Di tengah gempuran para musisi aliran berisik, justru mereka punya keberanian itu. Unsur pop dan girly tetap nikmat dan melekat di tengah arus pertunjukan yang penuh energi maskulin, dan penuh tekanan distorsi.
Malam itu, trio imut ini hanya membawakan tiga nomor dari album perdana mereka yang rilis pada semester dua tahun 2023. Melalui vokal yang merdu dan syahdu, gitar yang dipadukan synthesizer, serta suara beat drum yang gemuk ala-ala 80-an, cukup untuk mentoleransi durasi mereka yang direnggut oleh hujan, saat senja di hari itu.
Satu hal yang menarik, ketika melihat bahwa band beserta crew mereka diperankan oleh para puan. Tak terlihat ada kaum Adam. Kerjasama mereka tampil serasi. Di beberapa waktu, mereka terlihat saling melempar senyum. Girl gang!
Selanjutnya, penampil pamungkas yang ditunggu-tunggu, The Kick. Bahkan sebelum nama mereka dipanggil sang MC, kerumunan sudah menghinggapi area panggung. Apakah ini pertanda bahwa musik mereka semakin meluas, menjaring, dan menjangkiti anak-anak muda? Entahlah. Saya hanya tahu, “usaha tak pernah khianati hasil”. Tos!
Penampilan The Kick saat itu adalah kali ketiga saya menyaksikan mereka. Malam itu mereka didaulat menjadi band penutup, setelah melalui masa-masa sebagai band pembuka. The kick mencondongkan pandangannya pada musik The Clash, Sex Pistols, Misfith, dan RAMONES, yang membuatnya mantap sebagai band punk rock dari sisi selatan Yogyakarta, Kawasan Pasar Kotagede.
Dalam pertunjukan di malam yang semakin dingin itu, saya melihat bahwa dua penampil terakhir (The Backdoor Hours dan The Kick) terdesak oleh durasi yang sudah melebihi waktu yang diberikan penyedia tempat. Hal ini membuat The Kick pun harus memangkas set list mereka. Sehingga membuat para penonton banyak menagih lagu-lagu hits dari dua album mereka, seperti “Raya”, “Tak Jelas”, “UFO”, “Terbakar Di Lampu Merah”. Akhirnya, hanya lagu “UFO” yang tak bisa dilunasi.
Panggung Serentak Bergerak itu menjadi aksi untuk mempertemukan penikmat dengan musik-musik baru yang belum mereka ketahui, memperkenalkan band kepada para penonton barunya, dan sekaligus menjadi acara untuk menikmati malam minggu dan bersenang-senang bersama, apalagi karena gratis.