Gagas tertegun. Sebatang tubuhnya lemas manakala sang dokter di hadapannya membacakan diagnosanya. Awalnya Gagas tercengang, selanjutnya terguncang. Usianya hanya tinggal sekitar 9 hari. Padahal dia merasa baik-baik saja. Dia memang sakit, tapi tak mungkin separah yang dikatakan oleh dokter tua itu. Dokter tua itu secara langsung telah membacakan surat kematiannya.
Ini pasti sebuah kesalahan. Ia memaksa dokter untuk memeriksa ulang hasil yang sama sekali tidak dia harapkan itu. Tetapi dokter tua itu tak mengubah ucapannya. Hasilnya sudah pasti, begitu ucap sang dokter. Kembali Gagas terdiam. Wajahnya yang tadi pucat kini seperti mayat. Diam, kaku, tak berdarah, tak bersuara. Dia sulit mempercayainya. Selama ini dia mengira sakit perut yang dia derita hanyalah sakit perut biasa. Bukan akibat kanker yang semakin mengganas karena terlambat ditangani.
Gagas memang menunda-nunda pemeriksaan sakit di perutnya itu. Dia merasa sayang dengan uang yang harus keluar untuk biaya berobat, menurutnya sangat mahal. Bahkan semua yang kenal maupun yang tidak kenal dengan Gagas, sangat tahu akan tabiatnya yang sangat pelit. Gagas adalah bujangan paruh baya yang kaya raya. Banyak orang bilang jika dia memilih membujang karena tabiat pelitnya itu. Dia tidak mau kekayaannya nanti habis untuk membiayai kehidupan keluarganya nanti.
Entah benar entah tidak. Begitulah kabar yang beredar. Bahkan peminta sumbangan tak ada yang mau datang untuk meminta sumbangan kepadanya. Karena ia akan diam saja di dalam rumahnya tanpa menyahut meski semua tahu Gagas ada di dalam. Dia akan membiarkan orang itu pergi dengan sendirinya karena lelah dan bosan mengetuk pintu.
Meskipun pelit, dia bukanlah seorang pemalas. Bisa dilihat dari kekayaannya yang begitu banyak. Hasil ketekunannya dalam menjalankan usaha di sebuah pasar. Tetapi hutangnya di warung sekitar rumahnya juga banyak. Tidak hanya di satu warung, tetapi dua, tiga, bahkan mungkin empat atau lima.
Dia seperti tidak mau mengeluarkan uang untuk keperluannya sendiri. Dan apabila pemilik warung menagih ke rumahnya, maka nasibnya akan sama dengan peminta sumbangan, pergi karena lelah mengetuk pintu yang sebenarnya ada penghuninya.
Jika ada tamu berjumlah enam orang, Gagas akan menyuguhkan kue yang berjumlah tiga buah. Itu semua demi penghematan. Jadi jatah untuk masing-masing tamu hanya setengah dari kue yang ada. Kabar ini pun sama, masih simpang siur. Bisa benar, tapi bisa juga tidak. Yang jelas, banyak cerita-cerita olok-olok yang kesemuanya bercerita tentang betapa pelitnya Gagas.
Gagas mencoba pulang. Memaksakan sebuah langkah dengan gontai. Di arah pintu keluar, ada sederet bangku yang kosong. Ia duduk. Ia merasa lelah. Merasa tak adil. Dia masih ingin menimang kekayaannya yang tidak sedikit. Mengelus mereka. Bahkan kalau bisa memandikan mereka setiap harinya. Dalam suasana kalut itu duduk seseorang, yang dari tampilannya, terlihat sangat berwibawa.
Lelaki itu memiliki aura yang begitu berbeda, kombinasi tegas dan berpengetahuan luas. Gagas bergeser sedikit, sekedar sopan santun. “Bapak berobat?” orang tersebut memulai percakapan. Gagas mengangguk mengiyakan. “Sakit apa, pak? Dilihat dari kondisi bapak yang lemas sekali, sepertinya parah.” Gagas pun menceritakan dari awal hingga akhir kepada orang yang baru ditemuinya tersebut. Singkat cerita, orang yang baru ditemuinya itu memberikan saran yang membuat goncangnya bertambah berlipat-lipat. Setidaknya bagi Gagas.
Lelaki tersebut mengatakan bahwa jika dia ingin sembuh, maka dia harus menyedekahkan seluruh harta yang selama ini ia pendam. Ada penyembuhan di balik kebaikan yang kita lakukan. Gagas mendengarkan, tetapi dia merasa berat. Memberikan hartanya yang banyak itu sama saja menyia-nyiakan kerja kerasnya selama ini. Ia sudah banting tulang, bahkan lebih dari sekadar banting tulang untuk mengumpulkan semua kekayaan itu.
Gagas benar-benar bingung. Dilema. Jika benar memasrahkan semua kekayaannya bisa menyembuhkan, maka ia bisa melanjutkan kehidupan. Tapi hartanya yang begitu berharga hilang. Artinya dia harus memulai dari nol lagi untuk mengumpulkan semuanya.
Tapi jika tidak ia berikan kepada kaum miskin, sakit yang menggerogotinya akan mematikan nyawanya yang kian hari akan semakin tipis. Setipis kertas. Artinya ia akan tetap kehilangan semua kekayaan hasil jerih payahnya. Ahhh… Sakit kepalanya kian membuncah dengan semua kebingungan itu. Dua pilihan yang baginya sama-sama sulit. Sama-sama berat. Hidup tanpa limpahan kekayaan baginya sama saja dengan kematian.
Tetapi Gagas akhirnya memutuskan memberikan seluruh kekayaannya kepada kaum miskin. Ia masih ingin hidup. Maka rumah besarnya ia jual, dia memilih tinggal di rumah yang sangat kecil. kekayaan tanah ia sumbangkan untuk dibangun masjid, yayasan panti asuhan, dan juga siapa saja yang masih belum berkecukupan, ia beri. Uang tabungannya yang sangat banyak ia salurkan untuk beberapa lembaga sosial. Emas simpanannya ia jual, kemudian hasilnya ia berikan lagi kepada orang yang tidak mampu.
Termasuk usaha di pasar yang menjadi ladang tempat ia memanen kekayaannya selama ini, Ia jual. Delapan hari sejak vonis dokter dan pertemuannya dengan lelaki misterius itu, Gagas hanya berkonsentrasi membagikan kekayaan untuk kesembuhannya. Hingga hartanya benar-benar ludes. Tandas. Yang tersisa hanya rumah kecil satu-satunya dan helai-helai pakaian termasuk yang melekat di badan.
Satu malam menjelang batas waktu vonis kematiannya, Gagas tak mau tidur. Dia tak berani. Khawatir malaikat maut datang jika ia pejamkan mata. Tetapi ia tetap tak sanggup melawan rasa lelahnya. Kantuknya menyergap melebihi kesanggupannya untuk bertahan. Dia tertidur.
Ketika terbangun, dia membuka mata. Gagas merasa sehat. Bahkan sakit di perutnya seperti hilang tak berbekas. Jadi benar apa yang dikatakan lelaki di rumah sakit itu, dia akan sembuh total, dan dia merasa memang sudah sembuh total. Tetapi dia telah kehilangan kekayaannya yang menurutnya lebih berharga dari apa pun. Ah, sudahlah, pikirnya, mencoba menghibur diri. Dan besok dia memutuskan untuk kembali mendatangi dokter yang telah menjatuhkan vonis itu.
“Apa!? jadi itu semua sebuah kesalahan!?” Gagas berteriak antara bertanya dan mengungkapkan kekagetannya pada dokter itu. “Benar, Pak. Diagnosa bapak tertukar dengan diagnosa yang satunya lagi. Karena ada sedikit kemiripan nama.” Sang dokter menjelaskan dengan wajah senyum, karena menganggap kesalahan itu akan menjadi kabar yang menggembirakan bagi Gagas. Dokter itu tidak tahu bahwa dari kesalahan itu, Gagas telah kehilangan segala-galanya. Tanah, uang, emas, dan kekayaan-kekayaan lain yang selama ini ia miliki dan sayangi lebih dari apa pun.
Gagas begitu kesal. Begitu marah. Tak dihiraukan olehnya Dokter yang bingung dengan kabar gembira ini. Dia beranjak dari kursi dan pergi membawa murka. Dia ingin menemui laki-laki yang memberinya saran yang baginya penuh tipu daya ini. Dalam pandangannya saat ini semua begitu buram, begitu kelam, begitu menyiksa. Dalam keadaan yang tak tentu seperti itu, amarahnya semakin membuncah seperti bisul matang yang sudah waktunya untuk pecah tapi tak juga kunjung pecah.
Di tengah usahanya untuk menemukan sosok yang dia anggap telah membohonginya itu, Gagas melihat seorang perempuan tua yang dari penampilannya terlihat seperti gelandangan. Nenek itu terlihat begitu senang dan bahagia dengan sebungkus nasi beserta lauk yang sangat sederhana dalam tampungan tangannya yang keriput.
Pandangan mata nenek tua tersebut begitu terlihat teduh memberi rasa sejuk. Bermula dari mata, ke jantung, dan terus menjalar ke pori-pori pada setiap titik kulit tubuh Gagas. Keinginan untuk menemukan dan mencabik-cabik orang yang dia anggap telah menipunya lenyap.
Dia jadi begitu iri dengan sosok tua yang bahagia tanpa memiliki apa-apa. Berbanding jauh dengan dirinya. Begitu merasa sangat sengsara dengan status barunya sebagai orang miskin hanya karena kesalahan bodoh pihak rumah sakit.
Gagas menghampiri sosok tua itu tanpa ragu. “Nek, ajari saya bagaimana menjadi bahagia tanpa beban!” Tiba-tiba kata-kata itu meluncur seakan mendahului perintah dari otaknya. “Kamu sudah mendapatkannya.”
Ajaib, sosok di hadapannya menjawab seakan sudah tahu apa yang telah menimpa Gagas selama ini, apa yang sudah menjadi pandangannya tentang uang dan harta selama ini. Seketika beban yang selama ini, tanpa Gagas sadari, bersarang cukup lama di jantungnya hilang menguap entah kemana.