mental helath

“Tidak apa. Kamu butuh istirahat. Bukan hanya orang lain, kamu juga berhak bahagia” barangkali menjadi kalimat senada yang kerap kita jumpai di dunia maya, terlebih platform instagram. Saya tidak membenci, atau ingin “terlalu” nyinyir perkara ini. Akan tetapi terkadang saya heran, mengapa postingan bertemakan “istirahat” tarik napas dalam-dalam lalu embuskan, atau pertanyaan retoris seperti “buru-buru amat, apa sih yang mau dikejar?” ini tersebar secara sporadis melalui akun-akun dengan konten inti “tulisan”. Jumlah suka-nya pun tak kira-kira, bisa tembus 100 ribuan.

Salah satu alasan mengapa postingan dengan tema serupa ini menggema di mana-mana adalah trend kesehatan mental yang dewasa ini melejit ke angkasa. Dari buku-buku, tema webinar, atau berasal dari segala platform media sosial yang ada. Merupakan hal yang positif? Atau kebalikannya?

Beberapa dekade lalu, seperti yang saya nyatakan di awal, “virus baik” awareness terhadap kesehatan mental ini menginvasi khalayak maya, hingga merembet ke dunia nyata. Akibatnya, netizen terkena dampaknya. Saya ulangi pertanyaan ini sambil berkontemplasi, apakah ini adalah hal yang positif? Atau malah didominasi oleh celah kenegatifan?

“Kamu tahu generasi stroberi? Ya, zaman sekarang dikit-dikit dikata “kena mental”, dikit-dikit ngebahas kesehatan mental. Perasaan zaman ibuk bapakku tak pernah ada yang meromantisir kesehatan mental, tapi bisa baik-baik saja tuh

Generasi stroberi juga istilah yang baru-baru ini terkenal. Sebuah generasi dengan tampilan luar amat menarik, tetapi jika disenggol dikit gampang benyek. Lalu bagaimana dengan generasi masa lalu dan masa sekarang yang sering dibanding-bandingkan?

Kita harus bersyukur karena kepopuleran tema kesehatan mental ini kerap dibahas di mana-mana. Bukannya seratus persen mendukung, tapi dari beberapa ahli yang menyatakan bahwa tidak sedikit konflik yang merenggut kejiwaan seorang anak adalah berasal dari orang tua yang tak sadar bahwa dirinya memiliki masalah mental.

Dari poin ini, tentu saja menggeloranya topik-topik kesehatan mental memberi ombak yang positif bagi generasi masa kini. Agar anak muda sadar bahwa masalah kejiwaan bukan merupakan perkara mistis atau karena kurangnya taat dalam beragama.

Lalu bagaimana dengan ke-benyek-an yang sering kali disematkan kepada generasi dengan tahun kelahiran 97 sampai 2002-an? Banyaknya terpapar kalimat dengan esensi “tidak apa-apa…” atau “istirahat…” dari akun yang berkedok fokus kesehatan mental boleh jadi merupakan awal mula generasi stroberi menjadi generasi yang paling lemah sekaligus diremehkan. Kenapa demikian?

Tidak perlu jauh-jauh, mari memandang sedikit ke belakang, saat wabah covid merebak di segala penjuru dunia. Dari instansi pemerintahan, lingkup pendidikan, rumah sakit, hingga tiap individu dibikin gempar dengan limbungnya keadaan jagat raya. Semua orang panik tak terperi. Tagar di rumah saja digaungkan oleh influencer maya hingga melalui corong yang ada di atas rumah kepala desa. Berita-berita seputar jumlah kematian banyak kita telan. Dampaknya, individu yang tak terjangkit covid pun dipenuhi kalut, terserang stres, dan mereaksikan tanda-tanda bahwa virus telah masuk ke dalam tubuhnya (padahal nyatanya tidak).

Annie Miller, seorang psikolog menyatakan bahwa banyaknya informasi yang terpapar atau kita telan dalam jangka panjang bisa memengaruhi kerja otak dan cara kita menyikapi suatu keadaan.

Bayangkan, jika kita diserang kata-kata “istirahat”, “tidak perlu buru-buru”, “tidak apa-apa” dan segala kalimat sejenis. Dari sini, saya kemudian beranggapan bahwa, yang berlebihan memang tidak pernah baik. Kata secukupnya harus diterapkan dalam segala situasi.

“Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah.” Kutipan Buya Hamka barangkali bisa menjadi pengingat bagi kita, bahwa “sesekali” tidak istirahat dan terus melakukan segala aktivitas yang bermanfaat merupakan hal yang penting.

Selera merupakan hak tiap individu, dalam hal apapun, termasuk membaca apa yang kita senangi. Akan tetapi, kita juga harus melek teknologi dan tahu bahwa di zaman teknologi yang pesat ini, apa yang kita like (baca: senangi) berjalan beriring bersama dengan algoritma.

Semakin banyak kita menyukai beberapa tipe konten, maka semakin tinggi pula intensitas konten serupa itu muncul ke permukaan. Semakin seringnya informasi berbalut konten itu terpampang, maka tingkat kemungkinan informasi tersebut memengaruhi otak dan sikap kita juga kian besar. 

Pada akhirnya, saya mau ngopi dulu, santai, apa sih yang mau dikejar?

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here