Ada banyak Pemkot dan Pemda tingkat kabupaten dan Provinsi yang membangun gedung kesenian sebagai sarana kebudayaan yang konon untuk menunjang perwujudan ekspresi warganya. Gedung – gedung yang dibangun itu banyak yang nampak mewah, dan bahkan terasa melampaui kapasitas yang sesungguhnya di dalam mewujudkan sarana bagi kehidupan seni-budaya. Sebelum kita bicara tentang banyak gosip kenapa Gedung itu dibangun mewah dengan biaya puluhan miliar bahkan ratusan miliar, yang utama perli dibicarakan dulu adalah sisi teknikal gedung. Banyak dari gedung itu tak cukup memenuhi syarat sebagai suatu gedung pertunjukan. Gedung yang biasa dibangun dengan tanpa pertimbangan untuk menyertakan pakar seni pertunjukan, dan jikapun ada kesertaan seniman hanya sekedar formalitas. Maka Ketika gedung itu berdiri dan diresmikan, kita mendapatkan suatu sarana kesenian yang jauh dari persyaratan seni pertunjukan: plafon lampu yang terlalu rendah, back drop yang sempit dan rendah, sayap samping kiri-kanan yang sempit, dan yang paling parah, akustik gedung jauh dari memadai.
Jika Pemkot-Pemda membangun gedung sarana kesenian secara semberono karena ketiadaan pengetahuan dan motivasi proyek yang asal jadi betapapun biaya proyek itu demikian besar dan menghabiskan dana pembangunan, yang paling ironis adalah justeru banyak gedung kesenian yang juga tak memadai di lingkungan kampus kesenian. Di Kampus ISBI Bandung, di kampus ISI Solo, ISI Padang Panjang, dan kampus ISI Yogyakarta, hampir semua gedung seni pertunjukannya mengalami masalah dalam soal akustik, di samping pilihan kursi yang tak cukup nyaman ditambah oleh struktur deretan kursi yang membuat penonton tak jenak dalam menyaksikan sajian pertunjukan.
Terakhir, pada bulan November 2023 yang lalu pada acara Borobudur Writer & Cultural Festival (BWCF) saya memasuki dua gedung di kampus Universitas Malang (UM). Saya kurang tahu apakah
untuk seni pertunjukan. Nampaknya ruang di lantai Gedung A-19 dan A-20 disiapkan bukan untuk seni pertunjukan. Yang menarik, di Gedung A-20 akustiknya bagus dan kursi yang ditata sangat nyaman. Berbeda dengan kondisi di Gedung A- 19 dengan lantai yang datar dan kursi yang sama, sangat menyulitkan bagi pengunjung untuk menikmati, apakah itu ceramah atau pertunjukan misalnya pembacaan puisi. Kedua ruang di lantai 7 itu memang disiapkan untuk kuliah umum dengan kapasitas 3-4 ratus pengunjung.
Berbeda dengan Gedung A-19 dan Gedung A-20 di kampus UM Malang, di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) di Gunung Sari, Makassar, Gedung Phinisi yang menjulang yang memiliki dua ruang pertunjukan yang juga dipakai untuk kuliah terdapat dua ruang, yang sayangnya akustiknya tak cukup memadai, ditimpali oleh panggung yang terlalu kecil, hanya cukup untuk pembacaan puisi atau monolog. Sedangkan jika untuk pementasan teater atau tari yang mengusung grup besar, sangat sulit. Apalagi, seperti juga Gedung A-19 dan A-20 di UM Malang, di Gedung Phinisi pun tak disediakan buton untuk tata lampu.
Dua kasus Gedung di dua kampus ini membuktikan bahwa ketika suatu disain dibikin nampaknya memang hanya untuk satu tujuan, ruangan perkuliahan yang bisa menampung 4- 5 ratus mahasiswa. Padahal, secara teknikal, bisa digunakan untuk gedung pertunjukan, dan sekaligus juga sebagai ruang studi dalam kaitannya dengan adanya Fakultas Seni Pertunjukan di kedua kampus itu.
Dalam kaitan pembangunan dan kehadiran gedung sebagai sarana kesenian yang terasa mewah itu, kita bisa bertanya-tanya, kenapa pula tidak didukung oleh suatu studi yang mendalam berkaitan dengan multi fungsi saran itu. Di antara keterbatasan sarana kesenian yang ada di kota Malang dan Makassar, mungkin ada baiknya pihak kampus memikirkan
secara komprehensif kebutuhan berekspresi kesenian bagi para mahasiswa yang sekaligus juga bisa menjadi penunjang bagi perkembangan kehidupan kesenian di kampus tersebut sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, disamping sebagai ekspresi kebudayaan. Dalam konteks inilah kita selalu mengalami masalah. Pada satu sisi pembangunan dengan biaya yang sangat besar disediakan untuk menciptakan sarana, pada sisi lainnya proses pembangunan tak cukup memperhitungkan hal-hal teknikal yang berkaitan dengan kebutuhan kesenian. Sementara itu, pada sisi lainnya, kita juga dihadapkan kepada pengelolaan, manajemen gedung yang cenderung birokratis yang biasanya dilandasi alasan ketiadaan biaya untuk memelihara. Jenis ironi ini selalu muncul, yang sesungguhnya jauh sangat kita sayangkan karena sesungguhnya ketika rencana pembangunan suatu sarana semestinya sudah juga ikut diperhitungkan biaya pemeliharaan dan pengelolaan.
Di suatu kota dengan begitu banyak kampus, saya sering bertanya-tanya, di mana kaum muda dan para mahasiswa bisa mengekspresikan diri melalui keseniannya, khususnya seni pertnjukan seperti tari, teater dan musik, atau suatu kolaborasi yang bisa dinikmati dengan nyaman. Jawaban untuk hal itu tak mudah. Bukan karena ketiadaan sarana, tapi karena sarana yang ada dikelola dengan birokrasi yang rumit yang membuat pelaku kesenian menjadi frustrasi. Ironisnya, misalnya kasus mahasiswa UNM di Makassar, kenapa pula mereka harus menyewa Gedung Societeit de Harmonie yang kian kumuh dan jauh memadai seni pertunjukan.
Mungkin ada baiknya UNM di Makassar dan UM di Malang mencoba merumuskan suatu tata kelola sarana kesenian yang lebih luwes dan akomodatif bagi kaum muda dan para mahasiswanya, agar ekspresi seni pertunjukan teater, tari dan musik dalam ragam tradisi, modern dan kontemporer bisa diwujudkan. Bukankah kampus sebagai Lembaga Pendidikan dan kebudayaan mengemban misi untuk ikut menciptakan pembentukan watak kreatif bagi
kaum muda. Dan mereka membutuhkan ruang di antara kesemrawutan tata ruang kota yang kian rusak oleh kesewenang-wenangan kebijakan pembangunan yang tak memperhitungkan ekosistem kebudayaan.
-o0o-
Tejakula, Bali Utara, 2 Januari 2024