Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Timotius 2;13. Adam lebih dahulu, kemudian Adam merasakan kesepian, Elokhim lalu menciptakan Hawa. Dari sana lalu mereka mengenal Pohon Pengetahuan. Dalam tradisi Kristiani, pohon ini diletakkan di tengah Taman Eden. Sayang ular menggoda mereka, memberi tahu mereka cara mengambil rumus hidup abadi dan membuat Elokhim marah. Lalu mereka diusir dari Taman Eden. Dari sini dosa asal dimulai, dari sini kisah pertama manusia berjalan.
Dalam tradisi Islam, pohon pengetahuan yang dimaksud adalah pohon rindang yang menyimpan banyak rahasia. Rahasia pengetahuan kehidupan. Pengetahuan ini berisi nama, barangkali semacam arsip perpustakaan. Salah satu nama dari buah itu adalah buah keabadian. Allah melarang Adam dan Hawa mendekati pohon ini, tetapi Iblis menggoda. Sehingga akhrinya mereka diusir turun dari tempat pohon itu berada. Barangkali juga taman Eden.
Keduanya mulai hidup di Bumi, terlepas dari kepastian yang semula telah dijamin Tuhan. Mereka harus mencari cara sendiri bagaimana caranya hidup, mengelola bumi, dan berbagi dengan perangkat pengetahuan yang telah diberikan Tuhan di kehidupan sebelumnya. Kebingungan ini hadir menjadi pelengkap kehidupan manusia, dan kita yang belajar pada kisah Adam dan Hawa. Bukan pada ketakutan kita berdosa, atau masuk dalam kutukan dosa asal manusia, melainkan karena kita pada akhirnya menghayati peranan kisah itu dalam kehidupan sebagai manusia.
Kisah penciptaan inilah yang diangkat oleh Giocondo Belli dalam novel Ketakberhinggaan Di Telapak Tangannya. Belli barangkali yakin ingin menulis ini, saat setelah ia melihat himpunan teks berisi kitab suci yang bukan kanon. Kitab suci yang bukan rujukan utama. Adapun himpunan itu Belli lihat di perpustakaan milik Ayah Mertuanya, dalam empat belas jilid buku berjudul Kitab-kitab Wasiat dan Kesustraan Awal dari Timur. Belli merasa ada yang perlu dinarasikan, selain dari kisah rujukan utama (kanonik), yang berisi kitab nabi-nabi terdahulu. Seperti dugaan Kitab Henokh yang sebelumnya lama dibawa oleh, Idris, nabi kedua dalam keyakinan Islam. Belli bahkan rela berangkat ke Nag Hammadi, perpustakaan tua yang ada di Mesir untuk mencari naskah Kristen Gnostik petama yang berasal dari sekitaran gua Mesir pada tahun 1944.
Di tengah-tengah penelitiannya dari ragam kitab suci, banyak kisah-kisah penciptaan, yang barangkali membuat Belli semakin bingung. Seolah kisah itu cacah dalam gugus hujan yang turun ke bumi, tanpa bisa menerka air mana yang jatuh lebih dulu. Interpretasi, penulisan ulang kembali kisah penciptaan terasa pugar dan segar. Kebingungan itu yang justru ia terjemahkan dalam cerita novelnya. Persoalan yang ia angkat, bukan lagi berada di seputar seorang Adam yang menyalahkan Hawa, atau Elokhim yang menyalahkan Hawa, karena hasratnya mereka diturunkan ke dunia non-eden. Karena dalam kanon utama, Hawa terasa marjinal akibat perilakunya memakan buah sehingga mereka dihukum, abadi, dan anak-anak mereka juga mengalami dosa turunan. Anak-anak mereka, barangkali kita?
Kita yang diwariskan dosa asal dari moyang Adam dan Hawa justru kebingungan. Sejak sekolah dasar, bayangkan seorang guru agama, atau tokoh agama bercerita tentang kisah kejatuhan Adam dan Hawa. Sementara bayangan kita terjebak pada dosa asal yang berasal dari Perempuan. Sosok perempuan yang diciptakan oleh Tuhan untuk menopang rasa kesepian Adam, sosok ciptaan yang indah, tetapi justru dari keindahan itu keduanya di hukum turun dari Eden..
Kemampuan Belli menarasikan kebingungan, barangkali keterbukaan hatinya yang luas untuk kembali menarasikan kisah Hawa. Dalam Ketakberhinggaan di Telapak Tangannya, tak ada satupun narasi yang saling menjatuhkan antara Adam dan Hawa, kendati Belli adalah seorang penulis perempuan. Apa yang dilihat oleh Belli, adalah kebingungan Manusia sebagai ciptaan yang seolah setelah hadir, sang penciptanya lepas dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di dunia manusia.
Natal menjadi momentum pas untuk bicara “Kebertanggungjawaban Tuhan”. Menikmati masalah seputar teodisi, dan berpikir kembali, jika Tuhan maka kuasa dan menghendaki kebaikan, mengapa kejahatan tidak segera sirna saja dari muka bumi. Sementara itu, kita tahu, di belahan natal Negara lain, penganut Kristiani yang berada di Gaza misalnya, Natal bukan peristiwa menunggu Santa turun dari Kereta Kencana dan memberikan hadiah sesuai kehendak hati. Natal di Gaza, adalah peristiwa kado bukanlah barang mewah, melainkan bom dan roket yang siap siaga meledeak kapan saja ketika para serdadu itu merasa kalah.
Barangkali benar, dalam kisah penciptaan, seperti yang dinarasikan Belli juga membuat penulis lain bingung. Seperti sajak-sajak yang ditulis oleh Ahmad Nurullah. Penyair asal Madura yang menuliskan gambaran Tuhan yang lepas dari Tanggungjawab, setelah Hari Keenam. Atawa dalam tradisi penciptaan, setelah hari keenam adalah hari semesta lengkap tercipta, hari dimana nafas Adam mulai terasa hidup. Pada natal kali ini, dalam momen yang paling intim, nikmatilah kebingungan diri seorang manusia, sama seperti dalam puisi Nurullah, kita tercipta dari keisengan yang beku. Yang beku dan entah, dari anak-anak Adam yang terus bertanya dan bingung kepada siapa waktu dan sejarah akan berlabuh. Apakah seperti potret lukisan Michel Angelo dalam The Creation Of Adam?.