Di toko yang tampak rongsok, orang tua itu tidur sambil berdiri. Hugo Cabret meredam bunyi sepatu, menyamarkan suaranya agar tak terdengar lelaki tua itu. Hugo mengulurkan tangan siap menggamit boneka mesin tikus yang berada kurang lebih dua jengkal dari tangan si lelaki tua. Ia apit, meneloh ke kanan, lalu dengan cepat melecutkan badannya sebelum berlari ke arah barat. Tapi sayang, tangannya tertahan di atas meja—oleh lelaki tua itu yang ternyata cuma menipunya. “Kena kau bocah bajingan. Ini bukan pertama kalinya kau mencuri dariku.” Emosi lelaki tua—yang pada kemudian kita mengetahui ia adalah mantan seniman besar—dari seni ketujuh; George Méliès.
Hugo Cabret barangkali memang tokoh fiktif pada buku, pada film; hidup serupa gelandangan di stasiun di mana orang-orang menempur waktu, di mana orang-orang menjalin pertemuan, di mana orang-orang menemukan kisah cintanya. Namun George Méliès, yang berdiri saban hari di bingkai toko manisan-mainannya di Montparnasse, yang melarikan diri dari keterpurukan masa lampau, yang diberangus-hanguskan karya-karyanya, adalah sosok yang nyata di bumi ini. Ia pernah hidup sebagai pelaku utama revolusi sinema. Orang pertama yang yakin akan potensi dari sinema. Seorang pesulap-pantomim pertama yang menggabungkan seluruh unsur seni pada sinema yang masih bayi.
Martin Scorsese mewartakan sedikit banyaknya sejarah yang akurat pada fiksi Hugo, filmnya itu. Di sana ia sedapat mungkin membabarkan tentang pertemuan antara Méliès dan sinema. Ini berawal dari adegan montase. Scorsese menempatkan tokoh kita, George Méliès, bersama sang istri tercinta d’Arcy—sedang berkeliling pasar malam. Lalu dengan heran melihat papan nama ‘Cinematographe’ yang betul tampak asing namun mengundang. Mereka tanpa sengaja menemukan pemutaran rekaman perdana Lumière itu. Méliès merasa terpanggil, ia ajak d’Arcy masuk, dan tiba-tiba saja kereta seakan menyambar maju. Seketika semua orang menundukkan kepala dan bergerak menghindar, sementara tidak dengan Méliès yang takjub dan melongo. Sesungguhnya kereta tak bergerak maju pada mereka melainkan bergerak maju melewati kerangkeng gambar—gambar yang bergerak—gambar bergerak yang kelak disebut sebagai ruang mimpi oleh Méliès.
Apakah penggambaran di atas akurat dengan apa yang terjadi? Akurat secara psikis. Méliès memang takjub, sangat takjub malahan, dan berhasrat untuk memiliki apa yang ada pada genggaman Lumière. Tapi saya menyangkal kejadian di dalamnya; bahwa Méliès menemukan ekshibisi perdana Lumière tanpa sengaja di sebuah pasar malam. Kita tahu itu cuma pengantar fiktif belaka yang bekerja dalam batasan hiburan—yang agaknya dipakai Scorsese agar ‘kebenaraan’ sejarah tak terlalu berbobot besar untuk dikonsumsi—sesuai genrenya; ‘fantasi’ (toh jadinya terasa menghibur dan menyenangkan). Sebagaimana saat Méliès mengedepankan pembocoran historis yang riil lewat dunia fiksi fantasinya yang berhumor ala-ala tablo, dan sedikit eksentrik untuk usia sinema saat ini.
Pada masa-masa itu, tepat akhir tahun 1895, nyatanya Méliès sudah terkenal—sebagai ilusionis berbakat di Paris. Itu menjadi alasan kenapa ia diundang Lumière pada peluncuran perdana Arrival of a Train at a Station. Selepas pungkas menonton di The Salon Indien du Grand Café—tempat Lumière merayakan peluncuran, Méliès menawar Cinematographe dengan bayaran yang cukup tinggi. Lumière menolak mentah-mentah, alih-alih yakin menyutujui. Lumière menyebut mantap bahwa Cinematographe adalah keberadaan yang cuma lewat tok, “penemuan ini tak memiliki prospek di masa depan,” ujarnya. Tapi siapa yang hebat mengira dan meramalkan kehidupan masa depan? Konyol. Méliès lari ke Inggris, mencari-cari perangkat yang serupa, dan dapat.
Adalah kepunyaan Robert William Paul, seorang ahli instrumen ilmiah pada masanya. Méliès ambil tanpa menimbang, membawanya ke Paris, merekonstruksinya lagi (untungnya ia pandai soal mesin), dan menciptakan jendela-jendela imajinasi, pintu-pintu mimpi yang sebelumnya tak pernah terpintas pada benak manusia sekalipun.
Georges Méliès lahir dari keluarga yang berada di Paris, Prancis, pada tanggal 8 Desember 1861. Ayahnya pemilik pabrik sepatu di Boulevard Saint-Martin. Menginjak 10 tahun, wajah seni yang penuh ambisi sudah mulai terbentuk, Méliès menjajaki kardus dengan ide inovatifnya. Ia menggubah puluhan kardus jadi boneka bercorak puppet. Ia juga bocah yang pandai melukis. Karikatural jadi lahan perdananya menciptakan lukisan-lukisan yang kreatif.
Tetapi seakan dengan cuek, ayahnya tetap memutuskan bahwa Méliès adalah penerus dari bisnis keluarga. Ia diberi pendidikan klasik, dan sering ditugasi mereparasi mesin-mesin perusahaan. Dilarikan juga ia ke London pada tahun 1884 untuk belajar betul. Di London, Méliès nyaman, entah ia belajar akademiknya ataupun tidak. Nyaris saban malam Méliès mendudukkan dirinya di sebuah teater. Di sana ia menyukai bahasanya—bahasa di luar bahasa primer. Ia mencintai momen-momen di mana bahasa sekunder merintang lepas di lengkung dahinya; pantomim, sulap, balet. Méliès tertarik dengan yang kedua. Ia berguru kepada Venile Maskelyne, pesulap yang berdedikasi tinggi di Inggris. Ini tak butuh waktu lama berkat kejeniusan dan alamiah seni dalam dirinya. Saat itu, ia mantap jadi ilusionis.
Méliès kembali ke Paris seiring ayahnya ingin pensiun dari dunia kerja. Ia menjalankan bisnis keluarga sangat sebentar sebelum akhirnya menjual setengahnya kepada saudaranya untuk modal beli Teater Robert Hodin (Méliès tampak kurang ajar rupanya). Teater Robert Houdin adalah teater yang orientasi utamanya untuk pertunjukkan ilusi panggung. Di sanalah Méliès mengabarkan kebolehannya. Ia menjadi yang teratas, mendulang nama besar di Paris sebagai seorang ilusionis terampil.
Maka semenjak itulah, seperti yang sebelumnya saya sampaikan, koneksi antara Méliès dan ‘hidup matinya, gairahnya, belahan jiwanya’ terjalin. Cinematographe tak lagi sekadar dokumenter dalam sentuhan tangannya. Ada penawaran yang lebih fantastis, suguhan imajinatif akan dimensi waktu dan ruang, yang mengawang dan yang kasat mata. Olehnya, cerita-cerita dongeng diberlakukan, fiksi tak ubahnya kenyataan, ia kerap jadi devil, jadi penguasa laut, sampai mephistopheles yang menakutkan.
Percobaannya yang pertama memang mencomot formula Lumière; sebatas berfungsi sebagai arsip, sebuah dokumentasi akan pementasan ilusinya di Robert Houdin. Seiring waktu ia mulai bereksperimen, memadukan berbagai unsur seni ke dalam satu tubuh, khususnya kerja-kerja ilusi pada sinema. Narasi dipanggul oleh ilusi, segalanya adalah permainan ilusi optik oleh Méliès. Ini dilautkan ke dalam ratusan two-reelers-nya (sebutan untuk film-film pendek era bisu). Bila kita lihat The Vanishing Lady dan The Haunted Castle yang sama-sama digarap pada tahun 1896—kita akan lihat awal mula keajaiban dari seorang individu yang cerdas, yang menuangkan seluruh idenya hanya untuk sinema.
The Vanishing Lady berdurasi 1 menit lebih 18 detik, dan membikin kesamaran pada identitas film ini. Sebab gambar bergerak menampilkan Méliès sebagai pesulap dan d’Arcy sebagai apa yang disulap. Ini menandakan sebuah dilema akan persoalan apakah itu film atau sebuah pertunjukkan yang direkam. Namun detik-detik berjalan, dan seketika itu d’Arcy menghilang dari tampilan gambar. Dari sini, ilusi optik mengelabui penikmatnya lewat kekuatan transisi crossfading dan cutting oleh Méliès—teknik yang (barangkali) paling tua yang masih digunakan hingga saat ini.
Itu pula yang kelak kita temui dalam The Haunted Castle; cutting, cutting, dan cutting. Memang masih sangat kasar bila dipandang era sekarang, namun untuk penemuan pada masa itu, cutting adalah bentuk kegemilangan. Tahun 1901 menjadi tahun yang menegaskan lagi betapa visionernya Méliès. Yakni dari The Man with the Rubber Head. Ia mengembungkan kepala hidup lewat pompa badutnya. Kepala hidup yang semula mengecil berubah menjadi besar. Ini tak lain datang dari trik filmnya yang jenius. Untuk situasi itu, di belakang layar ia memanfaatkan trek dolly sebagai pendorong kepalanya ke hadapan bidikan cinematographe yang diam, senada dengan pompa yang diembuskan. Ini tentu melahirkan sebuah efek zoom in—yang belum pernah terlihat pada zamannya. Bila saya ada pada masa film tersebut diedarkan, saya akan memutuskan untuk menjadi muridnya sepanjang hidup.
Studio kaca Montreuil-sous-Bois miliknya tentu membantunya leluasa menemukan gaya dan kebaharuan, dari yang terlihat normal, bahkan tak lazim sekalipun pada masanya; seperti pendekatan stop motion photograph, superimposisi, montase, close-up pada slider, overlapping dissolve, sampai double exposure. Secara bersamaan, Méliès juga mendirikan label produksinya bernama ‘Méliès Star Films’ untuk menghindari aktivitas pembajakan di luar sana.
Tahun 1897 ia membangun studio itu dari hasil jerih payahnya dalam sinema. Berbahan dasarkan kaca keseluruhannya, untuk memungkinkan mendapatkan akses sinar matahari. Montreuil lengkap dengan alat, latar, perabot pendukung produksi film. Di sana Méliès membangun ruang, mengambil gambar, menyuntingnya, dan mengedarkannya. Ia menjadi auteur paling awal di dunia ini, yang mana tak seorangpun dapat menandinginya saat itu. Montreuil berjaya-jaya bersama penciptanya. Dan nama Méliès, film-filmnya, ilusinya, dinanti-nanti semua manusia.
Adalah tepat tahun 1902, penanda Méliès disebut-sebut sebagai pelopor special effect. Le Voyage dans la Lune, film panjangnya yang berdurasi kurang lebih 14 menit menunjukkan bahwa film adalah memang tempatnya bermimpi (ini terlepas dari dampak dan efek negatif yang terkandung dalam cerita). Film tersebut berkisah tentang ekspedisi manusia ke bulan. Dikabarkan ketika mereka sampai di bulan, ada sekumpulan makhluk yang hidup di sana, dan para ekspedisi memilih pergi dengan meninggalkan beberapa luka bagi para makhluk termasuk raja mereka. Film ini jelas melahirkan ironi. Tapi saya merasa tak berkewajibann membahas itu.
Le Voyage dans la Lune menjadi fiksi ilmiah yang mengherankan semua orang sebab efek, teknik, dan narasinya yang benar-benar terjadi 60 tahun mendatang. Manusia ke bulan, latar bulan, sampai teknik menampilkan visual outer space tak cuma mengagumkan pada masanya, tapi juga terjadi pada masa-masa berikutnya. Sekuens roket yang menancap tepat di mata bulan yang aneh menjadi babak paling menakjubkan dalam film tersebut, yang selau abadi dan dikenang. Dan fade in-fade out, tampak menjadi angin segar ketika cutting-cutting tak lagi mendominasi. Ini jelas menandakan bahwa Méliès bukan seorang sineas yang memenjarakan diri pada satu kebutuhan khusus. Ia mencari elemen baru, kekuatan baru, dan potensi yang bagaimana bisa terjadinya di kemudian hari.
Selain itu, Méliès bahkan tak segan-segan mengotak-atik seluloidnya dengan pancaran warna-warna. Ia mewarnai sendiri seluloidnya yang monokrom itu sehingga menampilkan film yang tak lagi hitam-putih—ini sebuah usaha melampaui apa yang masih ortodoks di eranya. Andai saja ia sempat terpikir untuk mempermainkan cutting-nya pada siklus gerak yang tak sama yang memperlihatkan transisi diskontinuitas, maka saya berani mengatakan bahwa Godard tak lebih sekadar sineas plagiator.