Judul Buku: Al-Fatihah: Bangkitlah Gerakan Islam
Penulis: Eko Prasetyo
Penerbit/Tahun: Intrans Publishing/2021
Halaman: xvi+350 hlm
Ukuran: 16,5 x 24 cm
ISBN: 978-623-6709-23-8
Harga Pulau Jawa: Rp 130.000
Beberapa waktu lalu, lama sebelum membaca buku ini saya sempat beberapa kali berdiskusi dengan seorang kawan. Diskusi ini sering dilakukan, hanya saja tidak pasti waktunya. Hanya ketika ada satu isu yang secara spesifik menjurus pada satu topik, yaitu gerakan islam.
Topik ini rajin kami bicarakan, karena nampaknya dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, gerakan islam seperti terkooptasi oleh kepentingan modal.
Politik islam muncul dalam wujudnya yang “menghamba” pada populisme dengan mengambil garis keislaman hanya di permukaan. Banyak tokoh agama yang bukannya meluruskan kembali dan memberikan analisis secara ilmiah, justru terjebak dalam jargon-jargon yang sarat akan kekerasan. Situasi seperti ini membuat saya cukup pesimis, atau bahkan dalam titik tertentu, tidak percaya dengan gerakan islam.
Tokoh agama yang memiliki jumlah massa yang teramat banyak justru memainkan ayat-ayat suci sesuai kehendaknya, ditafsirkan secara sepihak asal sejalan dengan kepentingannya. Lebih lucunya lagi, umat islam menjadi sangat mudah terbawa oleh kepentingan ini. Hanya dengan balutan jargon sederhana, semua kepentingan sang tokoh diamini oleh barisan massanya.
Dalam posisi ini, saya menganggap tafsiran tokoh agama tersebut sebagai semacam kesadaran palsu yang justru melegitimasi kekuasaan yang eksis, yang bau penindasannya sangat pekat sekali—Neoliberalisme.
Menanggapi argumen itu, kawan saya cukup sengit mendebat. Ia menjelaskan bahwa ada kelompok islam lain yang mengambil wujud gerakan lebih progresif. Nilai-nilai islam dikombinasikan dengan teori ilmiah untuk menggoyang kekuasaan Neolib (singkatan dari Neoliberalisme). Kelompok islam ini juga menyematkan fokus “anti-kapitalisme” dalam garis perjuangannya. Sayangnya, garis kelompok ini kemudian berubah. Gerakannya justru terjebak dalam persoalan antar individu.
Alih-alih lebih keras dalam menggoyang kekuasaan Neolib sebagai sebuah struktur, mereka justru lebih sering memberikan stigma buruk pada individu per individu. Kalaupun ada kritik terhadap struktur yang eksis, ia lebih bersifat jargonik dan kehilangan wujud ilmiahnya. Hal ini, di kemudian hari, menggiring gerakan itu menuju jurang kehancurannya.
Sayangnya, jawaban yang diberikan kawan ini kurang meyakinkan saya. Fakta sejarah bahwa di masa lalu ada gerakan yang cukup progresif tetapi berubah di kemudian hari, tidak bisa membantah fakta lain bahwa hari ini, gerakan islam lebih banyak mengambil wujud yang mempertahankan status quo. Di wujud yang lain, bahkan ada yang turut serta melakukan penindasan.
Dalam keraguan itulah saya menemukan satu buku yang berjudul “Al Fatihah: Bangkitlah Gerakan Islam”. Yang membuat saya tertarik adalah buku ini ditulis oleh salah satu penulis dan aktivis yang cukup saya kagumi, Eko Prasetyo.
Buku ini, bahkan di bagian awalannya, seolah-olah melegitimasi keraguan saya. Tentu saja ini membuat saya semakin bersemangat untuk membaca. Eko Prasetyo cukup banyak memaparkan kondisi gerakan islam yang saat ini semakin tumpul.
Bahkan, dengan gamblang ia menyebut tokoh agama yang sering menjadi acuan umat saat ini sebagai “dramatik dan berlebihan”. Bagi Eko Prasetyo, hal itu menjadikan tampilan islam yang mengambil wujud arogan tetapi tidak dengan dasar ilmu pengetahuan.
Dalam konteks ini, ada salah satu kalimat favorit saya yang berbunyi, “Agamawan lebih percaya terkait teori konspirasi ketimbang memahami cahaya ilahi yang berlimpah kasih sayang […] saya menamainya dengan hilangnya pesona pengetahuan”. [hlm. 12] Kondisi saat ini cukup bertolak belakang dengan fakta sejarah dari gerakan islam itu sendiri.
Di masa lalu, gerakan islam kaya dengan para pemikir, intelektual yang dapat menafsirkan dunia secara ilmiah. Para pemikir inilah yang menjadi tokoh penggerak peradaban islam. Hanya saja, di saat ini terjadi kemunduran yang teramat sangat.
Analisis ilmiah, begitupun dengan peran pemikirnya, digantikan dengan “Juru dakwah”, yaitu “orang yang terus menerus membangun doktrin yang berusaha menciptakan rintangan, menegakkan tapal batas dan memisahkan mereka yang beriman dalam sebuah tempat terpisah yang suci di mana hukum dengan keras diperlakukan.” [hlm 17]
Hal ini mengakibatkan gerakan islam untuk kesekian kalinya kehilangan momentum dalam mengambil peran untuk menjawab persoalan masyarakat. Eko Prasetyo mencontohkan dengan kasus pasca keruntuhan Orde Baru. Orde Baru yang meninggalkan sekelumit permasalahan, yang bersimpul pada struktur ekonomi-politik oligarki di bawah pimpinan Soeharto, tidak mampu dijawab secara tuntas oleh gerakan islam.
Oligarki pada akhirnya kembali muncul ke permukaan dan—sekali lagi—mengubah struktur politik di Indonesia. Dalam konteks gerakan islam, struktur yang kembali berubah menjadi oligarkis ini memaksa gerakan islam yang mengambil wujud politik formal untuk terus mendekatkan diri dengan kekuasaan modal. Untuk mendapatkan posisi di parlemen, misalnya, partai islam harus mengikuti praktik yang umum di kancah perpolitikan, yaitu melalui kroni, money politics, hingga kompromi. [hlm. 19].
Alhasil, tidak ada kritik yang lugas terhadap Neoliberalisme. Umat islam saat ini, terutama yang berasal dari kelas menengah, justru semakin terjebak dalam lingkaran setan kapitalisme.
Eko Prasetyo mencontohkan beberapa kasus. Salah satunya adalah kegandrungan ummat islam kelas menengah untuk membeli produk-produk islami. Fesyen busana muslim, misalnya. Dengan menyematkan kategori “muslim” atau “islami” seolah-olah mengaburkan kenyataan eksploitasi pekerja yang terjadi di belakang layar. [hlm. 25]
Membaca bagian ini, saya teringat dengan salah satu artikel yang ditulis oleh Annisa R. Beta melalui kanal media theconversation.com pada awal Maret tahun ini. Untuk melengkapi bangunan argumentasi yang dibangun oleh Eko Prasetyo, saya menyarankan pembaca untuk menuntaskan artikel itu, judulnya “Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Busana Muslim”. Singkatnya, di balik kategori “muslimin” yang melekat pada produk busana, terdapat eksploitasi yang dilakukan pengusaha terhadap buruhnya, terutama dalam hal ini adalah buruh perempuan.
Menanggapi hal ini, Eko Prasetyo menuliskan satu bab khusus untuk memperlihatkan kekalahan umat islam akibat—untuk saat ini—gempuran Neoliberalisme. Nilai-nilai islam, baik yang tercantum di dalam Al-Qur’an ataupun yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, hancur lebur digantikan dengan nilai baru yang sejalan dengan kepentingan kapitalisme. Sebelum menunjukkan itu, Eko Prasetyo juga merunutkan kehancuran manusia di era pasca wafatnya Nabi Muhammad.
Sebagai contoh, politik patrimonialisme, yaitu praktik pewarisan kekuasaan secara turun menurun, yang tumbuh subur di kerajaan islam waktu itu, disebut sebagai pengaruh dari daerah-daerah yang sebelumnya ditaklukan (contoh: Persia) alih-alih hasil dari pemahaman agama. [hlm. 84]. Eko Prasetyo membedah “kehancuran manusia” secara ilmiah dengan menggunakan alat analisis kesejarahan. Membantah struktur politik yang banyak dibayangkan oleh umat islam saat ini sebagai bentuk yang bersumber pada ajaran agama.
Eko Prasetyo melihat hal ini sebagai akibat dari semakin terkikisnya nilai transenden dalam agama, yang malah semakin menunjukkan keserakahan mutlak milik manusia. Nilai-nilai seperti keadilan, kebersamaan, dan perdamaian sebagai jalan menuju tuhan, kemudian ditolak, baik sebagian ataupun sepenuhnya. Dengan struktur yang ada, keputusan mutlak kemudian ada pada kehendak penguasa struktur. Tak peduli bagaimana nasib ummat nya.
Terkait itu, saya teringat kalimat pendek, “Kenalilah tuhanmu terlebih dahulu untuk mengenali siapa dirimu.” Mungkin yang dimaksud oleh Eko Prasetyo sebagai kehilangan nilai transenden berkaitan dengan kalimat ini. Yang pasti, argumen itu mengantarkan analisis Eko Prasetyo kepada Surah Al-Fatihah.
Pada awalnya saya cukup bingung melihat judul buku ini. Bagaimana bisa Surah Al-Fatihah yang sependek pengetahuan saya banyak bermuatan ketuhanan (dan juga sebagian kemanusiaan) bisa dihubungkan dengan gerakan islam. Akan tetapi, setelah membacanya saya menemukan dasar argumen itu sebagai penjelas.
Eko Prasetyo seperti mengekstraksi nilai yang terkandung di dalam Surah ini, Ayat per Ayat, dan dihubungkan dengan Ayat dari Surah lain untuk menjelaskan bagaimana seharusnya manusia bersikap pada Ayat itu. Membaca bagian ini seperti pengalaman baru bagi saya. Ini seperti menegaskan Surah Al-Fatihah sebagai ummul quran dan tak terlepas dari keseluruhan isi Al-Qur’an sendiri.
Berdasarkan itu, Eko Prasetyo meyakini bahwa Al-Fatihah dapat menjadi pembimbing gerakan islam menuju perubahan yang lebih baik.
Di bagian akhir, Eko Prasetyo kembali menunjukkan kondisi saat ini yang penuh dengan penyelewengan. Islam, dengan begitu, harus segera mengambil peran, tentu dengan kembali menanamkan nilai “ilmiah” dan “transenden yang utuh” sebagai pedoman.
Ia juga menunjukkan budaya perlawanan yang terkandung di dalam nilai Islam. Eko Prasetyo mengajak umat islam saat ini untuk bangkit dan mengubah kondisi yang ada, salah satunya, yang sekali lagi membuat saya sangat tertarik, dengan turut menjadi aktivis. [hlm. 327]
Secara keseluruhan, buku ini bisa menjadi semacam pedoman gerakan bagi ummat islam yang ingin bangkit mengubah keadaan. Paling tidak sebagai dasar ideologis. Kecakapan Eko Prasetyo dalam membedah nilai transenden Surah Al Fatihah untuk menjawab persoalan yang sebelumnya telah dianalisis secara ilmiah, sungguh sangat baik. Oleh karena itu, saya merekomendasikan buku ini sebagai bahan bacaan bersama, baik bagi umat islam secara umum, orang yang pesimis seperti saya, maupun partai politik islam.
Gerakan islam harus segera kembali kepada trah ilmiah dan perlawanannya. A luta continua!