Kajian ini berangkat dari tanggapan Arief Budiman setelah majalah sastra Horison memberikan anugerah cerpen terbaik bagi Danarto untuk cerpen “Panah Menembus Jantung” pada tahun 1986 dan saya mencomot tanggapan tersebut untuk kepentingan pengantar kajian Diskusi sastra Gergasi:
“…Cerita ini dalam keseluruhannya membawakan suasana mistis, yang membawa pembaca merasakan dirinya berhubungan dengan suatu dunia yang ada di luar dunia yang nyata yang kita jalani sehari-hari…”
Dalam pernyataan tersebut, Arief seperti halnya kita, setelah bersentuhan dengan karangan Danarto akan sepakat bahwa upaya Danarto dalam menciptakan prosanya memiliki dua kemungkinan dasar, seperti: (1) Betapa dekatnya Danarto dengan semangat religiusitas baik dalam diri atau lingkungan, (2) Kejelian Danarto dalam menggarap ruang prosa yang (dulunya) sama sekali belum terjamah secara utuh oleh pengarang prosa Indonesia.
Tetapi yang menarik, pengakuan Arief Budiman bukan hanya sampai di situ, ia menyebutkan kerja kreatif Danarto lahir dari satu keadaan yang tidak sadar. Seperti cerpen di kumpulan “Adam Ma’rifat” yang dimulai dengan penggunaan not lagu berupa kata yang tidak memiliki arti dan terus diulang-ulang. Dan upaya demikian ternyata masih terlihat dalam kumpulan cerpen “Gergasi” ini, dalam judul “Gaharu” saya menemukan kata yang terus terulang tetapi dalam kasus “Gaharu” pelafalan tersebut diciptakan oleh katak-katak di pagelaran yang diciptakan seperti pentas simfoni untuk pangeran. kata (yang dalam cerita digambarkan sebagai nyanyian) sebagai berikut:
King
Kong kung
K k k
Kung kong I kung kong I kung kong i
King n n n
Temuan ini setidaknya lebih memperkokoh corak penulisan yang dikembangkan Danarto untuk ‘berusaha lebih dekat’ kepada pembaca. Upaya Danarto ini, adalah realitas prosa yang coba didobrak seperti contoh kasus Sutardji dengan puisi mantranya. Tetapi dalam penelusuran karangan Danarto, akademisi kita telah menemukan bahwa ia bertumpu pada Tasawuf Kejawen. Sehingga karena ia bertumpu pada hal tersebut, ada pengaruh gaya bercerita perwayangan yang melampaui batas-batas normatif prosa Indonesia sebelumnya.
Pengaruh dari tasawuf kejawen ini setidaknya terlihat juga dalam penggunaan objek-objek yang dipakai sebagai komponen penyusunan cerita. Seperti latar pegunungan, awan-gemawan, pohon-pohon dst. Saya menemukan dalam kumpulan ‘Gergasi’ ini, elemen-elemen tasawuf yang dipelintir dari beberapa kisah utusan Tuhan yang fenomenal dan kita kenal diputarbalikkan dan digunakan sebagai bagian cerita yang disusun Danarto. Dalam cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah. Lusa.” Proses kreatif dalam penulisan cerita pendek ini saya berani duga terpengaruh kisah Musa ketika ingin menemui Tuhan.
Cerita tersebut dibuka dengan gaya bercerita realism magis, “Pohon-pohon itu lalu beranjak setelah dipanggilnya.” Anatomi pohon ‘yang beranjak’ dengan akar menjuntai, menghampiri tokoh aku, terseret sambil mencengkram gumpalan-gumpalan tanah dst. Tumbuhan yang pada kenyataannya tidak dapat bergerak sendiri, dalam dunia ciptaan Danarto dapat bergerak, berbicara, berkomunikasi selayaknya manusia. Seakan-akan pembuka cerpen tersebut menggiring kita masuk ke dalam dunia fantasi Danarto dan menegaskan kembali bagaimana corak yang ditempuh pengarang. Dan akhirnya, kita tergiring pada dunia fantasi religiusisme-panteis.
Meski begitu, yang menarik dari Danarto bagaimana ia menjadikan plot-plot menarik. Misalnya dalam cerpen “Allah Berkenan Mengejewantah. Lusa” ia menggunakan plot kausalitas, membentuk cerita dalam rangkaian kejadian yang membiak dan berkembang. Tetapi cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ia malah menggunakan plot dramatik dengan alur flashback dan menjadikan struktur eksposisi sebagai kalimat pembuka. Dampaknya terhadap pembaca adalah adanya sisipan cerita yang masuk secara “tidak sadar” tetapi memiliki peran penting dalam penggambaran cerita. Saya kutip untuk lebih memudahkan:
“Kamu memata-matai saya.” Terdengar bentakan Ayah. Suara kemarahan itu merangkum seisi kamar tidur. Saya seperti melihat cermin dan peralatan kecantikan, vas dengan bunga gloxinia, dan gelas air putih yang disediakan sejak malam hari…”
Persoalan yang Diangkat
Seperti yang saya singgung di awal, kumpulan cerpen “Gergasi” ini pada dasarnya memiliki garapan kreatif yang serupa dengan kumpulan cerpen “Berhala” akan tetapi, dalam jabaran kasus yang diangkat, kumpulan cerpen “Gergasi” lebih luas ketimbang kumpulan sebelumnya. Temuan S.E, Peni Adji dalam telaahnya terhadap cerpen-cerpen Danarto memberikan kita gambaran lain dan sikap-sikap tertentu bagi perhatian pengarang ini khususnya cerpen yang diciptakan kisaran waktu 1980-an.
Mengenai pandangan tentang patriarki. Dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” misalnya yang menggambarkan bagaimana sikap dan posisi perempuan dalam masyarakat. Posisi tersebut cukup riskan pada masa itu, hingga sekarang. Mengenai bagaimana seorang istri harus berperilaku patuh, tidak membantah, curiga dst. Meskipun, dalam penceritaannya, narator yang diperankan sang anak cukup terganggu dengan persoalan yang terjadi. Dalam cerita tersebut, sang Ayah menjadi peselingkuh dan sang Ibu tetap sabar dalam merespon hal tersebut. Kisah ini menjadi ironi sebab kemarahan Ibu sampai kepuncak, ia hanya dapat membiarkan ruang makan menjadi senyap.
Nah, apakah gaya semacam ini masih memiliki daya kuat untuk dipakai dalam prosa kita?