Gombloh-Muhamad Fahrizal Leo
Gombloh-Muhamad Fahrizal Leo

Udara pagi menyelinap lubang jendela kayu rumah itu. Menggigilkan sepasang suami-istri yang pulas di atas ambin beralaskan tanah. Mungkin kata rumah tidak terlalu tepat untuk menyebut bangunan yang barangkali lebih reyot dari sebuah pagupon. Ketiban ndaru, pagi itu tak seperti biasanya. Gombloh yang saban hari selalu sigap ketika akan berangkat kerja, kali ini ia duduk termangu. 

Suara kutut manggung dan tonggeret turut mengkhidmatkan perenungan Gombloh akan keputusannya. Sejujurnya, ia belum begitu yakin akan hal ini. Tetepi mimpi semalam sungguh-sungguh membulatkan tekadnya. 

Dalam mimpinya, ia sedang berada di sebuah peternakan kuda. Kuda-kuda itu tampak sehat dan gemuk. secara tiba-tiba, kuda itu memancurkan susu ke dalam ember yang berada di depannya. Tanpa ada yang menyuruh, ia minum susu itu dengan rakus, seperti orang yang tidak minum air tiga hari berturut-turut.  

Dalam kitab primbon Jawa, mimpi meminum susu kuda mengisyaratkan keberuntungan. Ia sangat percaya dengan mimpi. Di waktu tertentu, ia pernah berhasil menebak nomor togel sebab bermimpi melihat pocong gingsul. 

- Poster Iklan -

Perenungan Gombloh terhenti ketika istrinya Pongge datang dengan secangkir kopi panas dan pisang goreng yang baru selesai diangkat dari wajan. “Sudah yakin betul Pak?”. Tidak merespons, Gombloh langsung menyambar kopi dengan gesit. 

“Hahhahhasemmm, hanass!!!!”

 “Mbok ya ditiup dulu pak!”. 

Lidahnya setengah kebas dan menyisakan ampas kopi di muka bibir. Ia mengamati muka istrinya betul-betul. Paras ayu Pongge istrinya, yang telah ia nikahi selama 15 tahun itu penuh lekukkan penderitaan. Lekukkan itu adalah tanda, tanda dari hutang rentenir pasar yang tak terbayar dan terus beranak pinak, suara token listrik yang lebih berisik tetangga yang nyinyir sebab mereka tak kunjung punya anak. “Sudah Buk, aku mau berangkat! kamu juga ndang siap-siap ke rumah Pak Broto.” 

Dinaikinya sepeda jengki merek Phoenix dan tak lupa dibawanya sebuah surat penting. Surat yang ia tandatangani dengan permenungan yang tak cukup barang semalam. Gombloh mengundurkan diri dari tempat kerjanya, Pabrik Gula Madukusuma. Sebuah pabrik gula yang cukup besar di Kabupaten Trubus.  Sudah sepuluh tahun Gombloh mengabdi di pabrik, dan selama itu pula ia dibayar di bawah standar. 

Tiga tahun lalu, Gombloh secara terang-terangan meminta gajinya dinaikkan, tetapi Pak Broto atasannya bersikukuh. “Tidak bisa Mbloh, banyak pegawai yang harus diberi upah. Sudah untung lulusan sd bisa bekerja di pabrik, jangan mengada-ada Mbloh!” Alih-alih memenuhi permintaannya, Pak Broto justru menawarkan pekerjaan kepada istrinya, Pongge. “Istrimu itu siapa mbloh namanya, aduhh cantik betul. Kalau mau, dia bisa kerja di rumah, jadi babysitter. Kebetulan saya lagi butuh, paras cantik begitu saya yakin telaten. Mengurus orang sebesar kamu  saja bisa, apalagi mengurus anak kecil.” Rumah atasan Gombloh itu kebetulan memang saling berdekatan. 

Sesampainya di pabrik, Gombloh langsung menuju kantor Pak Broto. Diberikannya surat sakti itu dengan wajah yang teguh. “Apa ini Mbloh? Jangan mengada-ada lagi kamu. Mau kerja apa setelah ini. Kasian istrimu itu, cantik-cantik kok suaminya jadi penganggur!” Keputusan Gombloh sudah bulat. Ia mengaku mendapat tawaran pekerjaan dari kawan lamanya, jadi kurir paket. “Aiihh, jangan bergurau kamu Mbloh! Mana ada kurir paket pakai sepeda butut,” kelakar pak Broto heran dan kebingungan.

Seminggu sebelumnya, Gombloh memang bertemu dengan kawan lamanya di sebuah angkringan dekat pasar. Mereka berbincang lama sekali, laiknya saudara yang lama tak bertemu. Di akhir pembicaraan, Gombloh ditawari sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang bahkan ia sendiri kesulitan membayangkannya. Jadi kurir paket. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah menerima kiriman paket. Beberapa kurir paket memang pernah tandang ke rumahnya, bukan untuk mengantar kiriman, tapi hanya untuk bertanya alamat penerima sebenarnya.

Dengan sepeda jengki butut, ia merasa tidak sekuat itu jika melakoni perjalanan yang jauh. “Tenang saja mbloh, kurir paket ini beda dengan yang sering kamu lihat. Wes, pokoknya kamu ngikut aja. Yang jelas, upahnya sekali antar setara dengan separuh gajimu sebulan!” Tandas kawannya itu. 

Seketika Gombloh teringat istrinya. Diingatnya wajah penuh lekukan itu, dirasakannya betul wajah ketakutan ketika rentenir pasar mengetuk pintu rumahnya. Dan ruangan seketika menjadi gelap sebab token listrik berhenti berbunyi. “Aku mau, tapi tunggu aku keluar pabrik dulu.”

Selepas keluar pabrik, Gombloh menerima tugas pertama. Ia diperintahkan untuk mengantar paket ke sebuah tiang listrik di sebelah kantor pos. “Tinggalkan saja di sana, Mbloh. Dan ingat, kamu harus berhati-hati. Lihat sekeliling, jika tampak orang mencurigakan, jangan keluarkan paketmu! Ingat, mereka kadang menyamar menjadi penjual bakso!”

Antara bingung dan paham, Gombloh manggut-manggut saja. Ia juga diberi gawai bekas untuk berkomunikasi dengan kawannya itu. Meski sedikit gagap teknologi, Gombloh tak begitu bodoh untuk mengoperasikan gawai. Ia mula-mula diajari  membaca google maps untuk menemukan titik antar. Setelahnya, Gombloh dilatih untuk menghapus setiap pesan, baik yang ia kirim maupun pesan dari kawannya.

Di hari pertama kerja, Gombloh mempersiapkan betul-betul. Tak lupa ia berpamitan kepada istrinya. Wajahnya diciumi dengan rakus, bibirnya yang ranum disapu bersih hingga tubuh Pongge menggeliat dan hangat. “Sudah-sudah pak, nanti disambung pas kamu pulang, bisa-bisa kamu terlambat!”

Gombloh mengayuh sepedanya kuat-kuat. Udara malam membuat keringatnya yang sebutir jagung menjadi dingin. Lampu dinamo sepedanya semakin terang tatkala kayuhannya mengencang. Ia sudah sampai di depan kantor pos. Mata Gombloh menyeringai ke segala penjuru. Jalanan kala itu sungguh sepi. Maklum saja, semenjak kejahatan klitih meningkat di kota, masyarakat jadi khawatir keluar malam-malam. Gombloh meninggalkan paket itu tepat dibawah tiang listrik. 

Keesokan harinya, gawai Gombloh berdering. Ia diminta datang ke angkringan dekat pasar. Di sana, kawannya itu sudah ngangkring sembari menyesap kreteknya yang tinggal separuh. “Ini Mbloh untuk semalam, besok akan saya tambah lagi jika hantaranmu semakin banyak.” Amplop coklat itu terasa tebal. Mungkin bisa dua sampai tiga kali lipat dari gajinya. Ketika dibuka, ia melihat tumpukan uang pecahan ratusan banyak sekali. Ia tak bisa menahan lagi, lumbung air matanya bocor. Belum selesai mengusap ingus dan air matanya, instruksi kedua datang. Gombloh diminta untuk mengantar paket lagi.

Kali ini, kamu harus ekstra hati-hati Mbloh. Banyak anak-anak tertangkap di sini. Meski jaraknya hanya beberapa petak dari halamanmu, tapi nyaris setiap orang yang ku utus ke sana, selalu gagal. Mereka ceroboh Mbloh! Bukan tukang bakso, mereka tertangkap oleh penjual balon keliling!

Gombloh kebingungan, tapi yang jelas, ia paham betul kalau tugas kali ini lebih menyulitkan. Ketika ia melihat alamat tujuan, rasa-rasanya ia tak perlu membuka google maps. Lokasinya ia tahu persis, sebab saban hari ia melewati jalan itu ketika mengantar istrinya bekerja di rumah Pak Broto, bekas atasannya itu.

Dengan hati-hati Gombloh bertindak laiknya intel yang sedang mengincar buronan. Ia mengendap-endap di balik semak perdu, memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang melihat. Terutama penjual bakso dan balon keliling. Hanya dua profesi itu yang ia curigai. Setengah jam berlalu, matanya masih awas berkeliling. Gombloh menghitung kancing bajunya, “Sekarang-belum-sekarang-belum-sekarang!”

Gombloh melangkah kecil dan berjinjit, berharap ia dapat mengurangi suara berisik dari gesekan sandal jepitnya. Dalam posisi membungkuk, ia merasa sepasang tangan hangat hinggap di bahunya. Dada Gombloh kembang-kempis, seketika keringatnya mengalir melalui sela-sela hidungnya. Gigi dalam mulutnya gemeretak. Ketika ia membalikkan wajah, Gombloh menghela napas. Tepat di hadapannya saat ini, adalah seorang bertubuh besar, kumis lebat, dan bekas codet di pipi kiri. Gombloh lega, ia mengenal pria besar itu, pria bekas atasannya di pabrik, Pak Broto.

“Ngapain malam-malam begini mengendap-endap Mbloh! Mau nyolong ya! Lebih baik kamu mengaku, sebelum aku teriak maling dan kamu digebuki sampai remuk!”

“Bukan, bukan pak, saya lagi cari anu, ini pak, cari jangkrik buat mancing hehehe,” jawab Gombloh gagap dengan alasan sekenanya karena ia masih ketakutan.

“Apa kubilang Mbloh, mau apa jadinya kamu kalau keluar dari Pabrik. Kerjaanmu sekarang cuma mancing saja. Lihat istrimu itu, kerjanya bagus. Saya jadi kepikiran buat ngangkat Pongge jadi sekretarisku, itupun kalau kamu legawa Mbloh!”

Mereka berdua masih berbincang, meskipun Gombloh tak menggeser sedikit pun posisinya. Pak Broto pamit pulang, dan sesegera mungkin Gombloh meninggalkan paketnya. Ia bergegas pulang dan langsung tertidur di samping istrinya. Tidurnya sangat nyenyak hingga alam bawah sadarnya membawanya ke peternakan kuda. Ia melihat kuda hitam yang sungguh kurus dan reyot. Tiba-tiba saja kuda itu ambruk, dirasakannya denyut nadinya, nahas kuda itu mati. 

Dengan posisi terlentang dan keringat yang bercucuran, pintu rumahnya digedor. Berkali-kali dengan gebrakan yang begitu kencang sembari meneriakkan namanya “Gombloh!!!, Mblohh!!!, Gombloh!!!” Gombloh keluar kamar diikuti istrinya yang ketakutan. Dibukakan pintu lebar-lebar, masuklah sekompi orang-orang berseragam coklat dengan sepatu lars panjang, helm, dan senapan yang diacungkan kepadanya. “Mana Gombloh?” Tanya orang besar itu dengan gertakan. Mimpi buruk itu membangunkan tidurnya.

Ia tak mendapati istrinya di sebelah ambin. Gombloh bergegas keluar dan memanggil-manggil istrinya. Hening. Ia mencari di dapur, tidak ada, di ruang tamu, tidak ada pula. Gombloh memutuskan keluar rumah. Jalanan tiba-tiba penuh orang, beberapa mobil polisi parkir rapi di seberang rumahnya. Ia lantas berlari menuju kerumunan. “Pak Broto ditangkap polisi, rumahnya digeledah, tanganya diborgol!” ujar seorang lain tanpa ada yang bertanya. Area pelataran hingga bagian menuju garasi rumah Pak Broto sudah dikelilingi tali kuning. Gombloh tercenung. Ia melihat istrinya sedang dimintai keterangan oleh beberapa polisi.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here