(Hamzah Muhammad) Ada cukup banyak pemabuk di Rawamangun. Sebagian kecil dari mereka itu temanku. Waktu itu, masa-masa tugas akhir. Di tengah kesibukanku yang pusing, tiba-tiba seorang teman datang dengan buku On Drinking Bukowski. Lalu aku membaca itu, kata Hamzah Muhammad dalam diskusi Chales Bukowski minggu lalu (27/11) yang diadakan oleh Endnote Press. Hamzah yang sedang mengerjakan skripsi, dengan konsentrasi kesusastraan, terhenyak ketika melihat puisi Bukowski yang terlihat seperti bukan puisi. Seperti sekedar curhatan serapah saja, kata salah satu peserta yang menanggapi.
Bukowski dalam kesusastraan Amerika. Demikian dialog puisi itu dimulai. Bukowski, berdasarkan catatan Hamzah, pernah digolongkan dalam kelompok Beat Generation. Kelompok sub-kultur Puisi yang berada di New York pada tahun 1920-an. Salah seorang yang masyhur dari kalangan mereka, antara lain Allen Ginsberg. Corak perpuisian mereka, seperti karya-karya Bukowski. Hanya saja, Bukowski tak ada di New York. Bukowski, berada di pemukiman kumuh Los Angeles, di belakang pamplet besar Hollywood, sedang kesehariannya diisi dengan aktivitas kantor pos. Pusat kesenian Amerika, New York. Sementara Bukowski yang jauh, tetap menulis, terus menulis, karena ia hanya ingin menulis. Sampai waktu menghampiri Bukowski, namanya terangkat, lalu dibawa keliling kampus untuk membacakan puisi-puisinya, dan tentu dengan sebotol bir sebagai laku tarekatnya.
Bagaimana mungkin, Bukowski, katakanlah yang meggunakan diksi kotor, umpatan serapah, dan banyak metrum yang melenceng dari konvensi dianggap sebagai Penyair besar, yang pada masa itu, sekian lama menggelandang, ia mendapat julukan King Of The Underground. Persis ini pertanyaan Hamzah, dengan kesal, ia menanggapi, bagaimana mungkin, saya belajar kesusastraan cukup lama, melihat dan meneliti banyak sekali karya Sastra, karya semacam ini dianggap karya. Pertanyaan Hamzah kepada Bukowski, jatuh dan terjawab ketika berkumpul bersama teman-temannya di Atelir Ceremai, ruang kolektif di Rawamangun berisi komunitas pegiat seni. Iya karena itu, barangkali, karena Bukowski menulis terus, hingga naskah tercatat yang ia miliki hari ini, berjumlah 5000-an. Suatu waktu, lalu Hamzah memberi buku kumpulan sajak Bukowski kepada temannya. Dengan cara konvensional, meng-indonesia-kan puisi Bukowski, jawaban temannya pada terjemah Hamzah yang kaku, hanya berkata, bukan begitu, begini terjemahan yang baik.
Terjemah yang baik. Terjemah yang baik, Hamzah peroleh rasanya ketika membayangkan Bukowski tengah duduk bersama di Rawamangun. Di Atelir Ceremai, sambil membaca puisi dan menuang seloki bir bersama. Dari sana terjemah Hamzah bermula. Misal memang, Bukowski dianggap melenceng dari Konvensi, barangkali bisa Bukowski diterjemahkan sesuai konteks. Maksudnya sesuai keinginan bahasa sasaran. Meskipun, dalam stensil puisi Mabuk dan Yaudahlah, Hamzah sadar bentuk puisinya tidak lagi bentuk terjemah, melainkan saduran. Kendati memilih menyadur puisi ini, Hamzah sadari juga, bahwa keputusannya tepat. Ada banyak batas, dalam bahasa Indonesia yang membuatnya tersekat dalam proses menerjemahkan puisi. Seperti misalnya penerjamahan kata I kedalam Aku. Seringkali dalam kesantunan Bahasa Indonesia, sulit menggunakan kata itu, dan cenderung mengurangi rasa dari hasil terjemahan itu.
Jadilah puisi yang seperti ini:
bisa kabur dari temen lu yang ribet, itu mukjizat, gokil, seni bangetlah
(Love Is A Dog From Hell – 1977)
Alih-bahasa yang digunakan Hamzah menggunakan kata gua-lu. Dalam puisi lain, Hamzah menggunakan istilah bokin. Istilah, yang menurut Hamzah sengaja ia alih bahasa kan, dalam bahasa Rawamangunan. Sementara penggunaan kalimat serta istilah pun, Hamzah tidak menggunakan bahasa Jakarta keseluruhan. Maksudnya, ia sampirkan Jakarta yang cenderung dianggap glamor. Ia ingin, dalam konteks diksi dan kebahasaan menggunakan istilah, yang sebagaimana Bukowski diklasifikasikan sebagai genre realisme lusuh. Realimse yang berisi kata dan kalimat lugas, dan cenderung asal jeplak.
Dialog ini cukup variatif. Dalam konteks pembahasan masalah kebahasaan misalnya, mungkinkah menerjemahkan Bukowski dalam bahasa Indonesia, yang lebih termasuk konvensi. Masalah ini, berangkat dari perhitungan, sebenarnya Bukowski memerhatikan skema konvensi yang terjadi dalam dunia perpuisian Amerika. Ada banyak puisinya yang teratur, dan terlihat skema konvensi itu diperhitungkan. Hanya saja, Hamzah terbatas bahasa-bahasa santun, yang sering lekat dalam Bahasa Indonesia. Apalagi, bagi Hamzah, Bahasa Indonesia, kurang menyediakan ruang dalam pembagian klasifikasi kebahasaan, seperti Bahasa Slang, dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Tanggapan cukup semarak. Seorang penanya lain, bertanya tentang polemik serta kritik Saut Situmorang kepada Hamzah misalnya. Salah satunya, berasal dari utas netizen yang menyinggung, Saut berkata kepada Hamzah Muhammad si-paling Bukowski. Hamzah menanggapi, sebenarnya mereka sudah bertemu, dan menyelesaikan permasalahan ini dengan jabat tangan, juga tentu kepala dingin berisi bir. Seperti kata Saut, itu harus dicoba oleh Bukowski-nya Rawamangun.