Cerpen Hiromy

Keduanya hidup bahagia selamanya.

Tampaknya, kamu tertidur lelap setelah menyelesaikan novelmu dengan kata-kata yang terdengar abadi dan indah.

Selimut yang hangat dan tebal membungkus tubuhmu seperti kepompong. 

Cahaya bulan yang masuk lewat celah-celah ventilasi menyorot sebagian wajahmu. 

Jika diperhatikan dengan saksama, ada raut kepuasan dari wajahmu yang terpejam. Apa kamu bermimpi indah karena tidak lagi dibebani tanggung jawab menyelesaikan nasib para karakter yang sudah kamu ciptakan?

Di atas meja, di samping komputermu, ada tumpukan minuman berenergi dan gelas sisa kopi. Tampaknya kamu begadang selama berhari-hari karena dikejar deadline. Tidak heran, sekarang kamu tidur menyerupai mayat dan sepertinya tidak akan bangun lagi, kecuali kasurmu bergoyang akibat gempa bumi atau ada api yang melalapmu hingga hangus.

Layar ponselmu tiba-tiba menyala dan bergetar. Ada tulisan “Editor” yang tertera di sana. Setelah serangkaian telepon yang tidak mendapat respons, Editor mengirimimu pesan.

Kamu yang tidak mengunci layar ponsel—karena mungkin beranggapan itu merepotkan—membuat riwayat percakapanmu sangat mudah untuk diintai oleh orang lain, termasuk oleh diriku.

 

Editor: Riska, saya sudah membaca naskah yang kamu kirim. Sangat memuaskan! 

Hanya ada beberapa saran dari saya. Setelah karakter Bianka mengalami kecelakaan dan cacat, saya rasa kamu perlu menceritakan kehidupan Bianka yang putus asa ini di bagian side story. Banyak pembaca yang ingin melihat bagaimana sang antagonis mendapatkan karma setelah berusaha menyakiti pasangan protagonis.

Kamu tahu, kan, sebagai penulis, kamu harus memberi makan pembaca yang kelaparan dengan apa yang mereka inginkan untuk mendobrak popularitas novelmu. Saya harap, kamu bisa memenuhi ekspektasi mereka!

 

Setelah membaca isi pesan tersebut, aku melangkah ke kamar mandi yang ada di samping kamarmu. Kemudian melemparkan ponselmu ke dalam kloset. Menekan tombol penyiram hingga benda persegi itu lenyap sepenuhnya.

Namun, kekesalanku tak kunjung reda. Rasanya seperti ada bola berduri yang tersangkut di tenggorokanku. Mengganjal sekaligus menyakitkan.

Setelah naskah tamat pun, kamu dan editormu masih ingin mengatur-atur hidupku? Sungguh lelucon.

Apa semua penderitaanku masih belum cukup untuk mengenyangkan keserakahan kalian? Katanya, aku pantas mendapatkan karma, lalu bagaimana denganmu, wahai pencipta tidak bertanggung jawab yang sangat pilih kasih?

Tidak tahukah kamu, sebaris kalimat di akhir naskah yang kamu anggap sepele, nyatanya mematikan kesempatanku untuk memperjuangkan orang yang kucintai.

Hanya karena mereka berdua tokoh utama, lantas mereka berdua berhak bersama. Tapi bagaimana denganku?

Aku sudah mengenal dan menyukai Teo selama sepuluh tahun. Di masa-masa tersulit Teo, akulah yang berada di sisinya. Berbagi suka dan duka. Menamani dia di hari pemakaman ibunya, membantu dia mengobati luka akibat siksaan ibu tiri, menyemangati dia agar kami bisa masuk universitas yang sama. Dan masih banyak lagi—tidak cukup untuk ditulis satu per satu.

Sampai akhirnya, kehadiranku menjadi bukan apa-apa hanya karena seorang Liya yang masuk ke dalam hidup Teo.

Dan dalam sekejap, di mata orang-orang, aku adalah gadis jahat pencemburu yang layak menerima semua kebencian.

Awalnya, aku pikir tidak apa-apa mengalah saat Teo berpacaran dengan Liya, karena mereka pasti akan putus untuk sebuah ketertarikan yang dangkal.

Tapi, pikiranku terlalu naif. Setelah kamu menjadikanku sebagai batu sandungan dari hubungan mereka, kamu menulis takdir mereka agar menjadi tidak terpisahkan.

Kamu bahkan tidak tahu, apakah Teo maupun Liya memang ingin menjadi pasangan seumur hidup.

Jika ujung-ujungnya yang kamu tulis bergerak sesuai kemauanmu dan pembacamu—tanpa mempertimbangkan perasaan kami sebagai karakter yang benar-benar hidup di dunia fiksi—sebaiknya kamu berhenti menjadi novelis.

Kamu tidak lebih dari seorang sosiopat yang menari-nari di atas penderitaan kami.

Sesenang itukah kamu mendapatkan perhatian dan pujian dari orang-orang dengan memeras penderitaanku?

Biar kuceritakan sedikit, bagaimana hidupku—yang kamu rusak—berjalan. Setelah kecelakaan itu, tahukah kamu, duniaku mendadak sunyi. Aku tidak bisa lagi bermain piano. Setiap malam, aku hanya bisa bermimpi buruk sambil menghitung hari pernikahan Teo dan Liya yang makin mendekat.

Sampai akhirnya, aku yang sudah tidak tahan lagi, sengaja menenggak banyak obat tidur. Begitu terbangun, voila, aku berada di sini. 

Tampaknya iblislah yang mendengarkan doaku yang penuh kebencian terhadap ketidakadilan dalam hidup. 

Meski aku kebingungan karena berada di tempat yang asing, dokumen di layar komputermu yang menyala menarikku untuk membacanya seperti sebuah magnet.

Setelah membacanya hingga habis, aku mendapatkan sebuah pemahaman bahwa diriku tidak lebih dari karakter fiksi yang selama ini hidupnya dikendalikan olehmu.

Aku menatap ujung pisau mengilat yang baru saja kuambil dari dapurmu. Saat membelai ujung pisau dengan jari telunjukku, aku bisa merasakan sisi tajam yang membelah kulit. Rasa dingin dari pisau menyelinap ke dalam daging, hingga tetes demi tetes darah hangat jatuh ke lantai.

Sekarang aku dapat yakin bahwa benda ini sangat tajam.

Hidupmu akan terlalu indah jika kamu mendapatkan banyak uang dari rasa sakit yang seperti memotong tiap inci tubuhku. Kamu juga harus membayar harga dari tindakanmu yang keterlaluan, bukan?

Berdiri di depan pintu kamar yang terbuka, aku meraba dinding dan menekan sakelar lampu.

Lampu kamarmu menyala. Aku mendekat langkah demi langkah hingga berdiri tepat di samping tempat tidurmu.

Kamu yang sepertinya merasa silau saat mengubah posisi tidur menjadi telentang, dengan enggan membuka kelopak mata.

Tatapan kita berserobok.

Aku pun menyeringai. Mengangkat pisau tinggi-tinggi dan tidak lupa menyapa, “Selamat malam, Author. Kamu bisa kembali tidur untuk selamanya.”[]

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here