pemilik

Pemilikku berubah jadi kucing; badannya perlahan menciut dan tumbuh bulu-bulu, telinga keluar seperti bangkit dari dalam kepala, kumis panjang tumbuh di sekitar hidung, ekor juga perlahan muncul dari sela-sela pantatnya, memanjang, tumbuh begitu cepat. Perubahan itu selesai ketika dia sudah menjadi kucing seutuhnya.

Perawakannya mirip kucing kampung yang terawat, beberapa temanku seperti itu. Mungkin karena pemilikku asli orang sini. Berbeda denganku yang berhidung pesek dan kaki pendek, bulu-buluku lebih lebat dari kucing lain, hal itulah yang dapat kubanggakan dari diriku.

Bagaimana bisa pemilikku menjadi kucing? Kamu bertanya padaku? Aku lihat tadi dia memakan makananku, lucu sekali, dia menjilat-jilat dan menggigit-gigit, meniru caraku makan. Mungkin karena itu dia berubah jadi kucing. Coba lihat gambar wadah itu, ada gambar kucing, makanan itu untukku, bukan untuk pemilikku.

Pemilikku di atas tumpukan baju yang tadi dipakainya, dia menatapku dengan mata tajam, pupilnya seperti garis lurus tipis. Aku mendekat, dia agak lebih tinggi dari ukuranku.

- Poster Iklan -

“Kenapa ukuranku sama denganmu?” tanyanya.

“Tidak, kurasa kamu sedikit lebih tinggi dariku.”

“Apa yang terjadi padaku?” nadanya tinggi, pemilik melihat baju yang dipakainya tergeletak di lantai. “Kenapa aku punya kumis? Sejak kapan aku punya ekor?” pemilik mengamati tubuhnya, berguling-guling. “Sejak kapan aku punya bulu?” ucapnya tambah panik.

“Kamu jadi kucing, tuanku, sama sepertiku.”

“Kucing?” pemilik melihat keempat kakinya. “Kucing! Yahahah! Sudah sejak lama aku memang ingin jadi kucing!” ucapnya bersemangat, dia berlari-lari, mencakar segala hal yang bergerak-gerak. Kuku-kuku tajamnya merobek barang-barangnya sendiri.

Aku pergi ke atas lemari, membiarkan pemilikku yang telah menjadi kucing bersenang ria. Bukannya aku ikut bersenang, aku justru kecewa. Siapa yang akan memberiku makanan jika bukan pemilikku? Mencari makan sendiri? Itu tidak berlaku untuk kucing bangsawan, biasanya selalu ada yang memberiku makanan. Mungkin sedari awal pemilik tahu cara menjadi kucing, mungkin sudah beribuan cara yang telah dia lakukan agar menjadi kucing, mungkin, tapi kemungkinan itu tak akan kutanyakan. Aku tak mau ikut mencampuri urusannya.

Pemilikku mendekat, dia naik ke atas lemari, kakinya penuh dengan sisa sobekan. Dia bersandar pada lenganku, merebahkan diri di samping. “Bagaimana perasaanmu ketika melihatku berubah?”

“Biasa saja,” jawabku.

“Ayolah, jangan cuek begitu. Biasanya jam segini kamu suka kubelai-belai,” godanya.

“Aku sedikit kaget.”

Pemilikku tertawa, baru kali ini aku melihat dan mendengar kucing tertawa.

Ruangan senyap, hanya aku dan dia yang berada di sini. Aku jarang keluar karena rungan ini selalu tertutup, namun kulihat kali ini pintu sedikit terbuka, mungkin pemilik lupa atau memang sengaja dibuka sedikit sebelum dia berubah jadi kucing.

“Aku tidak mau lagi mengerjakan skripsi, aku ingin jadi kucing saja. Itu doaku tadi malam,” ucapnya.

“Skripsi?” aku tidak pernah mendengar kata sesusah itu.

“Ya, yang tiap pagi dan malam kukerjakan. Kamu lihat aku mengetik, menencet tombol di alat itu? Aku mengerjakan skripsi, memencet tombol demi tombol untuk membuat kata-kata, membuat kalimat, paragraf, memperbaiki yang disuruh dosen.”

“Dosen?” kata apa lagi itu, terdengar susah dan menyeramkan.

“Ya, dosen itu manusia terbangsat yang pernah kukenal. Tidak semua dosen bangsat, tapi ada beberapa, salah satunya dosen yang membimbing skripsiku. Dia bilang skripsiku plagiat, padahal dia belum baca semuanya. Dosen kok malas membaca.”

“Plagiat?” haduh, banyak sekali ucapannya yang tak kumengerti.

“Plagiat, tulisan orang yang diambil tapi dicap jadi milik sendiri. Itu namanya plagiat. Ah, enak sekali jadi kucing jika tidak mengerti hal semacam itu. Dan, aku yakin tinggal selangkah lagi bakal sempro. Tapi dosen satu ini, mengata-ngatain aku. Aku berani jamin yang kutulis ini bukan plagiat, susah payah aku kerjakan. Enak sekali dia ngomong begitu.”

“Sempro?”

“Seminar proposal, jadi skripsi yang dari bab satu sampai tiga yang bakal dipresentasikan agar dapat dikerjakan ke bab selanjutnya. Bakal diuji dulu sebelum penelitian, pun itu belum tentu lulus. Capek sekali, aku mau tidur-tiduran tidak memikirkan apapun, jadi kucing saja. Bukankah begitu? Bagaimana rasanya jadi kucing?”

Pikiranku terbawa ke masa lalu. Ketika umur lima bulan, aku sudah dijual di toko hewan, dikurung di kandang tak begitu lama, pemilik mengadopsiku, membawaku ke ruangannya, merawatku, memberiku makan, kadang aku keluar untuk kawin dan ngobrol bersama kucing lain. Tidak ada yang istimewa.“Biasa saja,” jawabku.

“Ya, kehidupan biasa kucing memang pantas buat manusia putus asa, seperti aku. Hahaha!” tawanya keras sekali. Baru kali ini aku mendengar kucing bisa tertawa dengan suara sekeras itu. Tawanya bercampur dengan perasaan senang dan menderita.

“Kucing Putih!” terdengar suara tak asing, kurasa itu adalah suara Kucing Oren. “Dengarkan suaraku ini, aku siap menghadapi masa susahku bersamamu, senang bersamamu, semua tantangan dunia ini pasti akan berlalu dengan indah bersamamu. Kucing Putih! Apa kamu mendengarku?” suaranya kian mendekat. Dia sudah berada di depan pintu, ekor panjangnya meliuk. Diintipnya rungan ini, biasanya pemilik langsung mengusirnya.

“Oh, jadi ini kata-kata gombal yang diucapkan kucing jantan ke kucing betina?”

“Gombal?” tanyaku.

“Semacam rayuan, agar dia mau  sama kamu.”

“Aku baru tahu namanya gombal. Hampir semua kucing jantan yang ingin kawin melontarkan kata-kata seperti itu.”

Kucing Oren masih di depan pintu, dia ingin masuk, tapi aku yakin dia takut jika pemilik langsung mengusirnya. Tak lama setelah bergelut dengan pilihan—tetap di sana atau masuk. Dia menengok ke sekitar, berjalan masuk, dia pasti penasaran siapa yang sedang berbicara denganku, mungkin dia kira ada pejantan lain. Memang pemilik bersuara keras, mirip kucing jantan.

“Astaga, sejak kapan kamu berteman dengan kucing sejelek itu?” tanya Kucing Oren.

“Jelek? Lihat badanmu sendiri. Bangsat kamu! Mirip seperti dosenku,” umpat pemilikku. Bulu-bulu Kucing Oren bergidik, kuku tajamnya timbul, merasa akan ada ancaman.

Badan Kucing Oren kurus, dia jarang makan karena jarang diberi makan, mungkin karena dia jelek. Banyak bekas luka cakaran berkelahi dengan kucing lain, berjamur, tidak terawat. Para manusia tak pernah melihatnya terlalu lama, mungkin karena jijik, risih, atau memang tidak mau lihat. Aku juga tidak mau dia terlalu lama di hadapanku.

“Aku tidak jelek, aku hanya…” Kucing Oren terdiam, memikirkan kata-kata selanjutnya.

“Pergi kamu!” pemilikku melambaikan cakarnya, taringnya terlihat tajam dan siap menggigit Kucing Oren. Bulu Kucing Oren berhamburan terkena cakar, luka di kepalanya muncul. Bulu-bulu berdiri, badan mereka bergetar. Manusia-manusia keluar dari ruangan mereka mengusir pemilik yang menjadi kucing dan Kucing Oren dengan sapu. Sekarang dua kucing itu bertengkar di halaman belakang, badan mereka sama-sama melengkung, mengumpat satu sama lain.

Pemilik tertawa lagi, tawanya seperti berhasil menciutkan nyali Kucing Oren. “Hari pertama menjadi kucing sungguh menyenangkan, aku tak mau lagi mengerjakan skripsi!”

Kucing Oren lari, sedangkan pemilikku mengejarnya. Mereka terlihat mengecil, kemudian menghilang seperti debu.

Alat yang biasa pemilik tekan-tekan masih menyala, cahayanya berwarna putih bercampur biru, aku sudah lupa kata-kata susah yang disebutkannya tadi. Kurebahkan diri di alat itu, rasanya begitu hangat. Semoga pemilikku lekas kembali, aku tak mau mencari makanan sendiri.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here