Santri
Sumber foto: Kompasiana.com

Suatu waktu, dalam mata kuliah Tafsir Hadis Akidah dan Akhlak pada Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir, membahas bab keimanan. Secara etimologis iman diartikan sebagai sikap yang membenarkan sesuatu atau mempercayai sesuatu yang benar. Sedangkan orang yang beriman disebut mukmin yang artinya orang yang percaya atau beriman (Shodiq, 2014).

Adapun menurut istilah, iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkanya dengan lisan, dan mengamalkannya dengan perbuatan. Hal ini berarti membenarkan dalam hati adalah dengan menerima ajaran Rasulullah saw. mengucapkan dengan lisan berarti mengucapkan dua kaliat syahadat sebagai persaksian keimanan, lalu mengamalkan dengan perbuatan yang berarti hati meyakini dan anggota badang mengamalkan dengan cara beribadah sebagiamana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (Idrus Habsyi, 2010).

Dalam kelas tersebut, seorang dosen pengajar menceritakan sebuah kisah pada mahasiswanya, tentang kaitan antara keimanan seseorang dan kelapangan hati dalam menghadapi segala permasalahan. Sebuah kisah tentang seorang santri yang sedang patah hati.

Di sudut masjid sebuah pondok pesantren seorang santri dengan baju koko putih yang dikenakannya menunduk lesu menatap lantai masjid. Ia baru saja mengerjakan shalat dhuha, namun nampaknya itu tak berpengaruh apapun terhadap suasana hatinya.

Tak lama kemudia pak Kyai masuk kedalam masjid dan menemukan santrinya yang Nampak lesu tersebut. pak Kyai pun menghampirinya, namun karena saking dalam terdiam santri tersebut terkaget-kaget dengan kedatangan pak Kyai. Melihat itu pak Kyai hanya pakgup menahan tawa terhadap kelakuan santrinya.

Pak kyai bertanya pada santri tersebut, mengapa dirinya terlihat tak bersemangat dan bersedih. Ternyata santri tersebut sedang galau, karena sebentar lagi gadis yang menjadi tambatan hatinya akan menikah dengan orang lain. ia bersedih akan hal itu, hatinya sudah patah bahkan sebelum berjuang untuk menemui wali gadis itu.

Pak Kyai hanya tertawa. Lalu mengajak santri tersebut jalan-jalan keluar pondok. Santri tersebut bingung dan heran, mau kemana? Ia hanya pasrah saja menuruti apa kata pak kyai, namun sebelum pergi ia disuruh membawa setoples garam dan sebotol aqua. Jadilah keheranan dan tanda tanya itu semakin menjadi. Kenapa harus bawa garam segala sih? Santri itu hanya mengikut saja apa kata pak kyai.

Mereka berjalan menyusuri jalanan desa, rindang nan sejuk benar-benar membuat hari terasa damai, begitulah suasan pedesaan yang sangat berbeda dengan kota yang ramai sesak dan berpolusi. Pak kyai berhenti sejenak lalu bertanya pada santrinya.

“masih kamu bawa air dan garamnya?”

Santri tersebut mengiyakan pertanyaan sang kyai, kemudian pak kyai kemudian menyuruh santri tersebut untuk memasukkan sesendok garam kedalam sebotol air yang dibawanya.

“sudah pak Kyai” kata santri setelah selelsai melaksanakan tugas pak kyai.

“minumlah” sahut pak kyai seketika

Santri tersebut bingung, serius ini, suruh minum air yang sudah dicampur garam? Sudahlah ikut kata pak kyai saja. Pikir santri tersebut dalam hati.

Santri tersebut meminum sedikit air bercampur garam, namun tetap saja rasa asin tersebut tetap terasa. Bahkan guratan didahinya tercetak jelas merespon rasa asin yang dirasakan oleh lidahnya.

“gimana rasanya?” tanya pak kyai pada santrinya

“ya asin pak kyai, kan sudah saya campur garam” kata santri tersebut. bahkan rasa asin dilidahnya masih enggan hilang.

Pak kyai pun melanjutkan perjalanan hingga kemudian bertemu di sebuah danau yang airnya cukup jernih. Pak kyai dan santri terdiam sejenak menatap pemandangan dihadapannya, sungguh menenangkan melihat riak air dan hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa.

“garamnya masih banyak?” tanya pak kyai kepada santrinya memcah keheningan yang ada.

“masih banyak pak kyai, tadi Cuma berkurang sesendok saja.” Jawab santri tersebut. dalam hatinya bertanya-tanya, mau disuruh apa lagi ini?

“coba tumpahkan semua garam tersebut ke danau ini” titah pak kyai kepada santri.

Santri tersebut mengikuti instruksi pak kyai, meski tanya itu masih belum hilang juga. Namun tak berselang lama, lagi-lagi pak kyai memberikan instruksi yang membuat alisnya berkerut bingung.

“minumlah air danau itu”

Santri tersebut pun melakukannya, lalu kemudian pak kyai bertanya bagaimana rasanya. Santri tersebut pun menjawab.

“rasanya hambar pak kyai”

“kenapa bisa hambar, kan tadi sudah dikasih garam?” sahut pak kyai kemudian.

“kan air di danau ini banyak pak kyai, mau dikasih garam seember juga tetap hambar” sambil menahan tawa ia menjawab pertanyaan pak kyainya. Karena menurutnya itu aneh, ya jelaslah rasanya hambar, masa itu pun pak kyai tidak tahu.

“nah itu dia” santri tersebut terbengong dengan perkataan pak kyai, tidak mengerti apa maksudnya. “kamu pun harus punya hati yang luas, sehingga tidak akan mudah bersempit hati karena kegalauan. Hanya karena hal kecil yang yang seharusnya tak perlu dipikirkan, ibadahmu, bejalarmu, bahkan imanmu menjadi terganggu. Maka dari itu, milikilah hati yang lapang. Maka semua masalah yang kamu hadapi tidak akan terasa berat” lanjut pak kyai menerangkan maksudnya.

Sang santri terdiam merenung, ditatapnya danau tersebut dan meresapi apa yang disampaikan pak kyai. Benar memang, karena masalah perempuan ibadahnya tak khuyuk, belajarnya terganggu, bahkan ia tak bisa tidur, mungkin iman juga terganggu, seolah tak percaya bahwa jodoh sudah ditakdirkan olehNya.

Boleh jadi kita pun demikian. Seringkali terusik dengan hal-hal kecil, mengeluh tiada henti sebab beberapa nikmat yang hilang, padahal semua itu tidak pernah sebanding sedikit pun dengan segala kenikmatan yang telah Allah berikan kepada kita.

Ketika kita sadar bahwa nikmat yang Allah berikan layaknya air di danau itu bahkan mungkin layaknya luas samudra atau mungkin juga lebih. Maka mau masalah atau ujian sebanyak apapun yang menimpa maka itu tidak akan menjadi masalah. Ini juga sebagaimana sabda Rasulullah tentang betapa ajaibnya keadaan orang yang beriman:

Menakjubkan sekali urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya baik baginya, dan hal ini tidak terjadi kecuali pada seorang beriman, jika ia tertimpa sesuatu yang menyenangkan, maka ia bersyukur, maka hal ini terbaik baginya, dan jika ia tertimba sesuatu yang menyulitkan, maka ia bersabar,maka hal ini terbaik baginya (H.R. Muslim, no. 2999).

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here