identitas

Sore yang mendung. Saya duduk di bawah gazebo yang terbuat dari bambu ditemani sajian kopi hangat dan kudapan singkong rebus yang dimakan dengan garam dan lombok uleg jadi satu. Semua terasa nikmat diselingi tawa renyah beberapa kolega dengan tema pembahasan tahun politik yang rupanya telah mulai hiruk pikuk.

Perbincangan tema politik seolah tak ada habisnya. Mulai dari soal yang remeh temeh hingga yang terasa berat. Bermacam-macam hal dibicarakan hingga akhirnya bermuara pada perbincangan tentang politik identitas.

Tidak tahu asal muasalnya, saat ini ruang publik seolah penuh, sesak dengan pembahasan politik yang dikaitkan dengan identitas. Dan tak sedikit pula orang menyudutkan orang lain jika membawa identitasnya ke tengah-tengah panggung politik dan dianggap sebagai ancaman. Demikian pula sebaliknya bagi yang dianggap mendukung atau pengusung politik identitas, akan berucap bahwa identitas adalah hal yang biasa dan lumrah, tidak perlu ditakuti.

Perbincangan politik identitas saat ini bahkan telah mengarah kepada situasi sosiologis yang tidak sehat. Kenapa? Karena mulai banyak orang saling menuduh bahwa seseorang atau sekelompok orang membawa identitasnya untuk kepentingan politik, demikian pula sebaliknya. Orang yang dituduh pun menuduh bahwa yang menuduh adalah orang yang menggunakan identitasnya untuk kepentingan politik. Mereka menuduh bahwa kelompok tersebut pun menggunakan identitasnya untuk menyerang orang yang mereka anggap menggunakan politik identitas.

Jadi, lengkaplah bahwa yang menuduh dan yang dituduh ternyata sama-sama menggunakan identitas masing-masing untuk saling menjatuhkan. Akhirnya, ruang publik tidak menjadi sebuah diskursus yang sehat dan konstruktif untuk membangun dialog yang beradab, yang terjadi adalah sebaliknya yaitu saling menihilkan satu sama lainnya.

Dalam sebuah diskusi yang pernah saya ikuti, tidak sedikit orang menghujat satu sama lain terkait identitas primordial, agama atau pun basis profesi lainnya. Bahkan ada yang menabalkan bahwa dalam sebuah komunitas sosial maupun politik informal dan formal, telah mengemuka tentang pentingnya pemimpin yang asli dan yang tidak asli. Ini menjadi runyam jika ukuran kadar kebangsaan setiap orang atau kelompok hanya diukur lewat identitas. Padahal sudah sangat jelas bahwa kebangsaan Indonesia merupakan beragam “bangsa” yaitu ragam budaya menjadi satu kesatuan yang disebut kebangsaan Indonesia.

Jika situasi ini terus-menerus direproduksi oleh kelompok-kelompok tertentu dalam mengarungi tahun politik ini, pikiran dan jiwa kita akan terus menerus “tersandera” oleh pemikiran yang perspektifnya hanya sebatas diameter baskom, jika diibaratkan pada sebuah benda. Mestinya perspektifnya luas jika dianalogikan pada benda seperti ember atau timba. Mungkin akan beratus-ratus timba atau bahkan lebih yang dibutuhkan. Karena seperti apa yang pernah disampaikan oleh proklamator kita yaitu Bung Karno bahwa Indonesia ini adalah semua buat semua.

Keriuhan di tahun politik kadangkala menghilangkan nalar dan akal sehat kalau sudah berkaitan dengan persoalan dukung mendukung. Bahkan tak sedikit yang bersumbu pendek alias cepat marah menanggapi kusamnya ruang publik yang memang terlalu noise dalam setiap menjelang perhelatan politik, baik lokal maupun nasional.

Sebenarnya yang dikhawatirkan dalam asimetrisnya isu identitas ini adalah pertengkaran kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Jika terjadi demikian maka untuk menyembuhkannya butuh waktu dan tenaga yang effortnya lumayan besar.

Andaikata pertengkaran ini terus terjadi dan saya analogikan dengan benda lagi misalnya sebuah gelas keramik yang bagus dan harganya lumayan mahal. Maka tatkala gelas keramik tersebut jatuh dan pecah, ia dapat disatukan kembali dengan teknologi masa kini misalnya dengan lem perekat pecahan keramik, bahkan mungkin bisa menyatu utuh dan bisa disebut lagi sebagai gelas keramik. Namun meski gelas keramik tersebut telah utuh kembali dan tetap terlihat dari jauh baik dan bagus, tapi manakala didekati dan dilihat secara seksama akan tampak bekas sambungan berupa goresan yang tidak bisa dihilangkan.  Gelas itu terlihat bagus dan indah tapi tetap akan merupakan gelas yang pernah pecah.

Untuk itu, persoalan identitas tak perlu dikhawatirkan karena satu dengan yang lainnya sama-sama  membawa identitas masing-masing. Itulah sejatinya identitas, memang tidak bisa dihilangkan.

Oleh karena itu, hidup itu janganlah berlebihan. Secukupnya saja, sebagaimana peribahasa Jawa yaitu ngono yo ngono nig ojo ngono. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Maknanya kira-kira adalah janganlah berbuat berlebihan, karena cenderung menimbulkan masalah baru yang tak diduga-duga. Imbasnya akan merugikan orang lain.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here