cantik itu luka

Sejak tadi malam saya jalan-jalan ke dalam puisi dan esainya M. Rifdal Ais Annafis, yang sudah jauh-jauh hari saya kagumi. Kemudian saya merasa asik bertemu esai yang membahas mengenai “Apakah untuk menulis sastra yang baik harus mengalami patah hati dahulu?” Ini menarik. Mas Ais tidak langsung menanggapi pertanyaan (yang sekaligus pernyataan) bahwa itu benar, tetapi ia mengatakan bahwa “menulis lahir dari segala kegelisahan yang hadir dan menekan diri kita”, dan tidak ada kontradiksi antar jawaban dari pertanyaan tersebut. Karena kemungkinan besar mas Ais secara tidak langsung setuju akan hal itu.

Dengan mengambil contoh dari novel Eka Kurniawan berjudul “Cantik Itu Luka” dan puisi Jokpin yang berjudul “Celana”, menurut Mas Ais, keduanya lahir tidak lain berangkat dari kegelisahan penulisnya. 

Jika kemudian benar bahwa untuk menulis puisi harus mengalami patah hati terlebih dahulu, maka saya merasa sia-sia sejauh ini menemani teman-teman sanggar yang hampir setiap pertemuan selalu saya isi dengan materi tentang kepenulisan, sekaligus berusaha mendoktrin teman-teman untuk bisa menulis. Padahal melihat dari usianya, saya rasa hampir semua dari mereka belum pernah mengalami jatuh cinta apalagi untuk merasakan patah hati.

Setelah membaca esai mas Ais, saya menjadi berpikir dan merasa bersalah karena terlalu memaksakan teman-teman untuk bisa menulis. Padahal tidak semua orang suka di bidang itu. Dan tidak semua orang harus menjadi penulis.

Jika semua orang menjadi penulis, lalu siapa yang akan menjadi apresiator? Tapi paling tidak untuk menjadi apresiator, harus mampu menciptakan puisi yang baik terlebih dahulu. 

Tapi di sisi lain, saya berpikir, bila untuk menulis itu harus mengalami patah hati, maka seluruh puisi yang lahir di muka bumi ini tentu cenderung melankolis semua. Tapi mas Ais lebih meluaskan paparannya bahwa “tulisan itu lahir dari kegelisahan dan penekanan”.

Hal ini benar adanya. Saya kira hampir setiap penulis berangkat dari kegelisahan itu sendiri. Namun ketika melihat puisi Raedu Basha, saya menjadi kembali berpikir, terutama pada bukunya yang berjudul “Wisata Desa Billapora dalam Sajak” (yang pernah saya baca). Puisi tersebut dominan berbicara tentang muasal desa Billapora, permainan Madura, tokoh, adat, kemudian nama-nama tempat yang ada di Madura, khususnya Billapora. Puisi-puisi tersebut menurut saya tidak berangkat dari patah hati atau kegelisahan, akan tetapi dari dorongan kecintaannya terhadap tanah kelahiran, sehingga Raedu Basha mengabadikan adanya sesuatu yang beragam di desa tersebut, yaitu desa Billapora.  

Kemudian dalam buku esai “Puisi dan Bulu Kuduk”-nya Acep Zamzan Noor, salah satu subbab memaparkan mengenai 3 langkah sederhana untuk membantu proses pembelajaran puisi. Berikut saya akan menampilkan secara singkat saja dari penjelasan tersebut.

“Langkah pertama, bawalah siswa ke suatu ruangan atau perpustakaan agar ia bisa mengenal dan mengakrabi bahasa puisi. Langkah kedua, ajaklah siswa ke alam terbuka untuk mengamati lingkungan sekitar kemudian suruhlah untuk menuliskan hasil pengamatannya dalam bentuk kata atau frasa. Kemudian langkah terakhir ketika siswa tersebut sudah dianggap bisa mengakrabi bahasa puisi dan mencoba menuliskannya dalam rancang bangun puisi, maka sedikit banyak siswa tersebut telah melalui proses pembelajaran menulis puisi dengan baik.”

Proses ini tidak dimulai dari patah hati. Karena AZN menyebutkan “para siswa” di dalam contoh uraiannya tersebut. Pada lingkup ini, usia tersebut mungkin belum mengenal cinta apalagi patah hati. 

Terakhir yang saya ketahui tentang seorang penyair bernama Titan Sadewo penulis buku “Celakalah Orang-Orang yang Jatuh Cinta”. Selain berproses untuk dirinya sendiri, Titan juga menemani proses anak-anak SD sebagai muridnya dalam dunia kepenulisan. Saya lumayan sering mantengin aktivitasnya di media sosial yang sangat menginspirasi banyak kalangan.

Dari sini timbul lagi pertanyaan saya, “Apakah seusia anak SD untuk berangkat menulis puisi juga harus mengenal patah hati?” Apa yang membuat Titan berhasil mendorong nak-anak SD untuk sekadar (bisa menyukai) puisi? Ketika ujar mas Ais tadi tulisan itu berangkat dari “kegelisahan”, jelas ini lebih kompleks, karena bayi pun pasti bisa merasakan kegelisahan, yaitu ketika ingin popoknya diganti, ketika sedang sakit, dan lain sebagainya. Barangkali untuk usia anak SD kegelisahan tersebut dominan merujuk pada masalah keluarga atau teman sebaya.

Setelah beberapa asumsi terkumpul dan saya mencoba mencari celah untuk menemukan pencerahan dari “kenapa” dan “kok bisa?”-nya saya tadi, maka saya memiliki persepsi bahwa tidak semua penulis sastra harus merasakan patah hati dahulu untuk bisa melahirkan karya sastra yang baik, meskipun sebenarnya kebanyakan (termasuk saya sendiri) memang berangkat dari pengalaman patah hati itu sendiri.

Tapi proses menulis dewasa ini sudah beragam, dan banyak seseorang yang memang dididik dari kecil untuk membangun effort yang baik dalam kepenulisan, guna merangsang jiwa dan pikirannya untuk senantiasa mencintai dunia kepenulisan mulai sejak dini.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here