Mungkin sebagian di antara kita ada yang sering merasakan di posisi ini, “aku merasa kasihan kepada tunawisma itu, tapi kondisiku saat ini juga sedang memprihatinkan. Jika aku berbagi, apakah sisanya cukup bagi diriku sendiri?” Memang tak ada salahnya berpikiran seperti itu, tapi pernah gak sih kita mencoba untuk keluar dari pikiran kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi?
Kira-kira sekitar dua Minggu yang lalu, ketika aku memperhatikan pasangan kakek nenek renta yang selalu menggelar tikar lusuh di sekitar belakang kampus di Kota Malang. Mereka berada di dekat bahu jalan terpanggang panas sepanjang hari. Aku jadi teringat dengan keluhanku kepada seorang teman tempo hari ketika lupa menggunakan sunscreen saat akan pulang dari kantor, aku takut terbakar sengatan matahari. Berbeda dengan mereka yang tidak tidak mengeluh perihal tidak punya sunscreen. Kulitnya yang keriput semakin legam tapi tak dihiraukannya.
Terlepas dari balada sunscreen, ada satu hal lain yang masih aku pertanyakan. Dari mana mereka memperoleh makan jika tempat tinggal pun masih dipertanyakan. Mungkin hal ini lebih mendesak untuk mereka karena menjadi kebutuhan paling mendasar bagi manusia.
Berangkat dari rasa penasaran, maka timbullah keresahan di hati kecilku. Sekarang sudah memasuki akhir bulan, uang di dompet tinggal recehan. Setelah ditakar-takar hanya cukup untuk bertahan hidup seminggu ke depan. Maka setiap melewati mereka dalam perjalanan menuju kantor, aku pun memalingkan wajah karena malu. Malu sebab hanya dengan berbagi sedikit saja titipan rezeki dari Tuhan untuk mereka, aku masih ragu-ragu.
Hari telah berganti hari, tetapi perihal kakek nenek tua masih menjadi keresahan bagiku. Hingga aku curhat ke teman dekat apa yang harus aku lakukan agar tidak memikirkan mereka melulu.
“Ya sudah, lakukan apa yang kamu inginkan. Jangan menahan diri agar tidak membebani,” sarannya.
“Tapi keuanganku sedang krisis,” sanggahku.
“Jangan menunggu kaya untuk berbagi, karena kita memiliki Yang Maha Kaya untuk berserah diri,” satu tamparan dari kalimat yang membuatku bisa mengambil hikmahnya.
Maka keesokan harinya aku mempersiapkan diri lebih awal karena ada satu tempat yang harus dituju, rumah makan tempat biasanya aku membeli bekal untuk makan siang. Dua bungkus nasi pecel tanpa wadah kotak makan. Tidak seperti biasanya, ujar sang pembeli. Aku pun hanya tersenyum lalu bergegas membeli dua air mineral dan sebungkus roti sebagai pengganjal perut. Entah mengapa hanya dengan membayangkan akan bertemu kakek nenek itu yang mengingatkanku pada almarhum dan almarhumah simbah membuat hatiku berbunga-bunga.
Di tengah perjalanan, aku meminta driver ojol untuk menepi sebentar untuk menyerahkan bungkusan makanan yang telah kupersiapkan sebelum berangkat ke kantor. Mereka merapal doa-doa baik untukku meskipun mereka tidak mengenalku secara personal. Aku mengamininya lalu berpamitan melanjutkan perjalanan menuju kantor yang tidak terlalu jauh letaknya dari keberadaan mereka.
Selepas memosisikan tempat duduk ternyaman sebelum memulai kerja, gawaiku berdering. Satu panggilan video masuk dari ibu. Ternyata sekadar memastikan putri kecilnya baik-baik saja di perantauan. Satu kalimat yang ditunggu-tunggu dari Ibu tetapi tak berani kuutarakan, akhirnya terucap di penghujung salam, “Adek masih ada pegangan? Kalau tinggal dikit bilang ya, jangan sampai kehabisan uang di sana.”
Aku kehabisan kata-kata, rupanya Yang Maha Kaya tidak main-main dalam menunjukkan kekuasaan-Nya. Ternyata benar ungkapan “jangan menunggu kaya untuk berbagi, sama halnya dengan jangan takut miskin setelah berbagi.”
Karena sesungguhnya Allah telah menjanjikan rezeki bagi kita semua sebagaimana firman-Nya yang artinya, dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya (QS. Hud 11: Ayat 6).