Azman H. Bahbereh

 

Jean Epstein, Sergei Eisenstein, Lev Kuleshov, sampai Vsevold Pudovkin adalah orang-orang yang terpesona oleh gambar bergerak dan meletak harap padanya akan kelahiran seni yang baru. Mereka mulai menginterpretasi segala kekuatan medium film, melihat transformasi artistik yang bergerak di dalamnya. Mereka menganggap bahwa ada sesuatu yang sangat utopis sekaligus magis—sesuatu yang dapat menyamarkan kengerian, kecekaman, dan kesuraman yang telah diwarisi oleh segala perang—segala kecamuk.

Bagi mereka gambar bergerak adalah sesuatu yang unik untuk melihat dunia dari arah yang sama sekali berbeda waktu itu, mengungkapkan kesadaran, melihat rentetan momen-momen yang tak terjangkau, sekaligus merestorasi lagi ingatan yang telah mengabu.

Itu kemudian menjadi titik mula betapa pentingnya nama Jean Epstein dalam pergulatan-pergulatan film sebagai sebuah “seni baru”, kemunculan avant-garde, dan art house. Bahkan sineas-sineas sekaliber Jean Renoir, Rene Clair, Visconti, Eisenstein, telah bersaksi dengan lantang menyoal dampak yang mendalam dari kerja-kerja serta ide Epstein mengenai sinema bagi film-film mereka.

- Poster Iklan -

Keterpengaruhan konsep Epstein dalam film juga merasuk dan tercemar ke arah yang lebih jauh; ke lubuk-lubuk Ekspresionisme Jerman, Impresionisme Prancis, Neorealisme Italia, eksperimental dadais-surealis, dan secara tidak langsung Nouvelle Vague.

Gambar: mubi.com

Lahir dari keluarga keturunan Yahudi di Warsawa, Polandia, pada 25 Maret 1987. Jean Epstein adalah penulis, esais, kritikus sastra, sutradara, dan teoritis perfilman. Ia menghabiskan masa remajanya di Swiss, di atas rumput-rumput hijau, di antara deretan pohon-pohon palem, di antara ngarai batu dan bukit kapur. Epstein bermain di kawasan yang setiap pekannya adalah musim semi—sambil mendengarkan komposisi Debussy yang kecil-kecil beriak sampai pada telinganya.

Saat itu ia masih menempuh pendidikan atas di Swiss, sebelum akhirnya sekeluarga boyong ke Prancis. Di Prancis, setelah menamatkan pendidikan kedokterannya di Lyon, Epstein mulai bekerja dengan Lumierre Bersaudara; menjadi penerjemah. Dan barangkali, itulah masa-masa kedekatan benar antara dirinya dan sebuah sinema.

Epstein, sebelum jauh meneropong kemungkinan-kemungkinan yang dapat dibangun dalam film bersama sineas-sineas angkatan pertama, ia adalah seorang yang tekun mengembarai teks, bertempur dengan gagasan-gagasan pada lektur. Ia produktif menulis kritik-kritik sastra. Ia giat menulis persoalan-persoalan modernisme puisi Prancis di salah satu majalah sastra ternama, yaitu Éditions de la Sirène.

Baru kemudian hari, tepatnya pada tahun 1921 Epstein menerbitkan tulisan esai film pertamanya yang berjudul Bonjour Cinema—sebuah tulisan teoritis mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sinematik. Dari tulisan itu Epstein tak cuma dikenal sebagai selebritas intelek sastra, tapi juga selebritas intelek sinema. Ia menjadi yang kontroversial karena terkait dengan konsepnya, yakni photogénie.

Sebelum penyempurnaan konsep photogénie oleh Epstein, film masihlah dipandang sebagai serangkaian peristiwa tonil atau babak-babak teater yang terekam. Ia tak sepenuhnya berbeda. Sebab segala struktur naratif, sampai dengan lini manipulatif latarnya, sedikit banyak dicuil dari seni pertunjukkan.

Ini yang mengikat film untuk kukuh tak terlepas dari cengkraman seni pertunjukkan. Ia tak bisa menjadi seni—yang terpisah. Gampangnya, ia tak bisa menjadi seni yang—berdiri sendiri. Bagi saya penyempurnaan photogénie hadir sebagai titik akhir ketegangan itu, sebagai identitas akan eksistensi sebuah film dapat independen. Dari sana Epstein menyekat tinggi-tinggi—menciptakan batas jelas antara mana yang film dan mana yang teater—juga secara langsung mana yang ‘film’ dan mana yang bukan ‘film’.

The Fall of the House of Usher, adalah satu film Epstein yang paling fenomenal. Diadaptasi dari cerpen karya Edgar Allan Poe.

Semenjak itu juga photogénie menjadi konsep teoritis sinema paling kompleks. Di samping ia merupakan asbab kelahiran atau pemaksaan atas legitimasi, ia juga sebetulnya masih terbata-bata diselami oleh para sineas masa itu. Photogénie masih berupa esensi mutlak sinema yang sebetulnya kabur dan tidaklah terbentuk dengan sendirinya, dan belum sepenuhnya sempurna.

Apalagi kejelasan darinya oleh Epstein tak menemukan titik terang, semisal standar dari film dalam pemanfaatannya pada bahasa-bahasa visualistik, semesta simbolik, dan semacamnya dan semacamnya—Epstein belum selesai dan tak kunjung selesai. Alasan yang paling mencolok hanya datang dari 2 wilayah saja, yakni kebudayaan dan estetika.

Photogénie dalam artian wilayah kebudayaan, adalah apa yang sebelumnya saya singgung; melegitimasi film sebagai sebuah seni yang dapat berdiri sendiri—dengan alasan yang mengekor bahwa film, adalah media yang selain baru dan modern—juga dapat melampaui apapun, lukisan, sastra, patung, dan semacamnya. Sekaligus membedakan mana yang film sebagai seni dan film sebagai barang dagangan—yang justru akan otomatis keluar dari konvensi seni pada umumnya. Tak terkecuali dikotomi pembuat/sineas dan masyarakat/penikmat. Photogénie secara tidak langsung membagi sineasi photogénie dan yang tidak; auteurs dan metteurs-en-scène. Masyarakat/penikmat yang dapat mengapresiasi ‘seni’ film dan yang tidak.

Sementara estetika, walau sebatas berkutat pada bagian teknis—namun ini noktah krusialnya—satu parameter paling primer tentang film sebagai ‘film’ adalah kekuatan estetika yang dibangun itu. Perihal estetika adalah menyangkut kelahiran seni dari rahim sinema itu sendiri. Teknis di tangan yang salah adalah kedunguan, begitupun sebaliknya. Ini pun yang kemudian disebut Epstein sebagai keluwesan dalam ‘memobilisasi’. Film dapat memenuhi berahi photogénie-nya hanya dengan keterampilan memobilisasi segala aspek pendukung film. Mobilisasi bahasa gambar, misalnya, bila di tangan sineas yang tepat, selain memunculkan keindahan, ia otomatis nyeni, dan otomatis photogénie.

Itulah intinya, itulah esensial sinema yang dimaksud oleh Epstein; permainan bahasa dan peleburan kembali sebuah bahasa. Namun konsepsi yang dibikin Epstein bukan berarti hanya berlaku bagi film-film yang berjalan pada garis bisu dan avant-garde. Tentu mayoritas film era bisu diuntungkan dan eksperimental adalah penyulingan darinya. Namun sekali lagi tidak demikian. Tidak semua film berhasil memunculkan photogénie sekalipun ia eksis di era bisu dan jenis eksperimental.

Epstein berpandangan bahwa photogénie tidak semata permainan sinematik—mengandalkan daya guna gambar. Dan pandangan tersebut saya kira ada benarnya. Sebab di sisi lain ia secara tidak langsung menyinggung posisi photogénie berada pada titik tengah persimpangan. Terbukti dalam esainya yang berjudul The Senses; Epstein berpandangan kalau sinema bakal kehilangan kemurniannya ketika pergerakannya didorong oleh narasi.

Artinya, gagasan-gagasan yang terselip dalam dialog (film-film di luar era bisu) mesti dibuang jauh-jauh ke pinggiran medium film. Ini unik, sekaligus sedikit paradoksal. Sebab sekalipun Epstein, dan seluruh film yang pernah dibuat di dunia ini tak pernah bisa membuang mentah-mentah narasi dari dalam film. Semua film Epstein seperti Pasteur, Coeur Fidle, hingga The Fall of the House of Usher menggunakan narasi untuk mengatur tensi dramatis setiap filmnya.

Maka di situasi inilah kita paham bahwa konsep photogénie benar adanya berdiri tepat di tengah persimpangan. Ia tak semata gambar dengan dialog yang nihil. Tetapi ia juga tak sekadar kata-kata yang tak memiliki permainan gambar yang inovatif.

Photogénie bakal sempurna bila pada setiap unsur pendukung film mengikis ke-redudansi-an. Ia harus ekuivalen—atau simultan dalam kerja-kerja mobilisasi ragam unsur pada sinema. Inilah yang dimaksud Epstein. Inilah esensi sinema—inilah kesenian dari sinema. Photogénie bukan bekerja sepenuhnya tanpa plot, namun juga tak bekerja sepenuhnya dengan plot.

Konsep photogénie Epstein yang menolak narasi sebagai sentralisasi dalam film dan ketidak-proporsional-nya bahasa sinematik menjadi penting sekaligus kontroversial pada dekade-dekade perkembangannya. Kendati ia yang mempengaruhi gerakan avant-garde sampai Nouvelle Vague.

Dari sini, saya berpikir bahwa ada peran menonjol Epstein pada kemunculan film-film artsy yang berkembang sekarang—mereka adalah ragam wujud dari buah pikir Epstein mengenai photogénie, kenyataannya. Dan dari sini juga saya berpikir bahwa jangan-jangan—kalau kita menimbang lagi pengaruhnya yang besar; Epstein-lah Bapak Sinema itu. Ialah penemu seni film itu. Ialah yang memahami kemurnian dari sebuah sinema. Ialah yang menjawab apa itu esensi dalam sinema. Entahlah.

Jean Epstein meninggal di Paris, Prancis, pada 2 April 1953. Ia mangkat pada usia 56 tahun akibat pendarahan otak.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here