Siapapun yang mengenyam Pendidikan Dasar dengan kurikulum Negara akan membaca sejarah Fasisme. Murid-murid biasanya takjub pada cerita Guru Sejarah. Si guru, di depan kelas akan menggambar peta Perang Dunia II. Ini Kawasan perang Blok Sekutu, maksudnya adalah Eropa dan sekutunya termasuk merika. Blok sekutu teEtnisa kurang menarik, karena tak ada tokoh agung yang sering diceritakan dalam narasi guru. Sementara Blok lainnya adalah Fasis, lalu si Guru mulai menyebut tokoh-tokoh macam Benito Musollini, Kaisar Hirohito dan tentu tidak lupa si kumis kotak Adolf Hitler.
Adolf Hitler. Nama yang mudah disebut, terdengar besar dan nyentrik. Murid-murid mulai bertanya, siapa dia, dengan wajah dingin dan kumis kotak terlihat cocok dan keren. Saya menyukainya, waktu itu, terlebih setelah guru sejarah menggambarkan lambang Nazi. Saya ingat, bukan seorang diri saya menyukai lambang itu. Setelah keluar kelas, kami mulai menggambar lambang itu di berbagai media. Mereka yang iseng, membuat lambang itu di tembok-tembok, di lengan tempat suntik imunisasi, bahkan di sendal jepit. Sementara yang niat akan mencetak lambang itu lalu menempelkannya dalam dinding kamar.
Entah saya atau teman sekelas saya juga ikut tertarik. Saya tak mengetahui masalah ini, karena masalahnya semacam rahasia keimanan. Masalah seputar kadar kecintaan seseorang terhadap tanah airnya, masalah kadar kepercayaan seseorang terhadap Nasionalisme. Tentu bagi seorang bocah yang sering mengikuti upacara hari Senin, apalagi menjelang Agustus berlangsung Nasionalisme terasa dekat di tempat saya sekolah. Sementara Fasisme, kata Guru Sejarah merupakan akibat dari rasa cinta terhadap Tanah Air secara berlebihan. Dalam istilah lain, Ultranasionalisme. Memang guru sejarah itu, setelahnya menjelaskan dampak buruk Ultranasionalisme yang berakhir Fasis. Hanya dalam hati kecil saya, mengapa harus disalahkan orang yang ingin melindungi tanah airnya secara penuh seluruh?.
Percayalah, kata seorang teman saya hari ini seorang Mahasiswa Ilmu Politik. Seni berpidato Hitler, berikut teks yang disusun oleh kawanan partainya termasuk seni yang cakap. Jika anda hadir di Jerman dalam masa kuasa Hitler, bukan tidak mungkin anda akan termasuk orang yang menganggap Hitler seperti Messiah pengganti Kristus. Saya hanya mengiyakan, tapi argumen ini menarik, meskipun belakangan hari saya baru menyadari bahwa Etnisa kagum saya terhadap Hitler di masa Sekolah Dasar bukan karena perangainya, akan tetapi karena wajahnya yang mirip pelawak yang saya suka, Charlie Chaplin. Setidaknya bagi saya kedua orang itu hampir mirip.
Baru belakangan saya meyadari, setelah belajar banyak belantara pemikiran politik di masa kuliah. Sementara saya masih menyampingkan saya pernah kagum terhadap Hitler. Hanya itu sebagian dari cerita hidup, seorang anak yang memiliki kekaguman pada idolanya masing-masing. Tentu kita tahu, seorang anak kecil juga banyak yang mengidolakan Superhero pada masa kecilnya. Superman contoh kasusnya. Saya mengerti pada akhirnya, setiap orang yang memiliki kecenderungan pemikiran politik pada Fasisme lebih baik enyah dari muka bumi. Kalimat ini berasal dari lagu Ucok Homicide dalam judul Puritan sebetulnya, “Fasis yang baik adalah Fasis yang mati”.
Barangkali ini yang diambil oleh Jojo si Kelinci. Kisah seorang anak kecil yang takjub pada sosok seorang Hitler. Nama lengkapnya, Johannes Bletzer, seorang anak yang mengikuti wajib Militer yang dipersiapkan untuk menyisir potensi anak yang akan menjadi tentara suci pembela Jerman. Jerman sebagai Negara atau tempat tinggal penduduk Etnis unggulan Bumi, tentara suci dari Etnis Arya. Etnisa takjub Jojo bukan semata sebagai Hitler sosok pemimpin agung, tapi Hitler sebagai sahabat anak-anak kecil yang baik.
Sepanjang film, kita diperlihatkan bagaimana konstruk karakter Hitler dibuat sangat bersahabat dengan anak kecil. Setiap perkara yang datang pada Jojo, ia akan berdialog dengan Hitler untuk memutuskan langkah apa yang harus diambil. Pada masa wajib militer misalnya, Jojo seorang anak yang tak memiliki tubuh sesuai dengan keinginan para pelatih karena tubuhnya yang lemah jatuh ketika harus berlari melintasi rintangan yang dibuat oleh kelompok militer ini. Jojo diejek, dihina, dan diragukan kapasitasnya sebagai calon tentara suci Nazi. Para tetua Militer di sana, menganggap Jojo bocah ingusan yang tidak mungkin menjadi Nazi.
Jojo tidak menangis, Jojo yakin kesempatan tetap ada sebagai anak yang bercita-cita sebagaimana Hitler yang tak pernah patah memimpin Nazi. Bukan lekas kecewa meninggalkan medan seleksi, Jojo malh berkonsultasi dengan Hitler. Hitler menanggapinya dengan baik, dan dengan cara itu Jojo mendapat semangat dari Hitler agar tetap terus berjuang. Hitler dalam dialognya bersama Jojo, bukan Hitler dalam pidato yang biasa dilakukan. Hitler di sana, adalah sosok Ayah penyayang pada anaknya.
Ini ironi. Seorang sosok agung yang memilik citra jahat, berubah 360 derajat. Seorang penuh kekonyolan. Selain itu, konstruk yang lahir dari Hitler sebagai pembeci dan propagandis Etnis Yahudi sebagai Etnis yang menjijikkan. Jojo menyembunyikan seorang perempuan, meski tidak jelas asalnya dari mana, di dalam loteng rumah Jojo. Suatu waktu, kelompok intelijen Hitler melakukan Inspeksi ke rumah Jojo untuk mencari segala hal yang berbau Yahudi. Ketua dari kelompok Intelijen itu menemukan Elsa Korr keluar dari lotengnya. Ketua itu bertanya, siapa dirinya, perempuan itu menjawab Kaka dari Jojo. Yang bermasalah adalah, setelah inspeksi selesai, Hitler bertanya pada Jojo bagaimana nasib perempuan Yahudi itu. Ironi kedua.
Ironi yang menyitir komedi, barangkali bagi pelaku sejarah, film ini dianggap sebagai Dark Jokes, terus menerus ada di setiap transisi adegan film. Segala hal yang menjadi program politik Nazi hadir dalam film ini. Termasuk bagaimana eksplorasi politisasi Yahudi yang dimain-mainkan. Kita dalam film ini, bagi seorang pembaca atau pelaku sejarah akan merasa betapa lucu, sakit dan getirnya film Drama Komedi ini. Ironis dan lucu yang tidak lucu.